Delapan

2133 Kata
Hari Minggu pagi, Bu Ami mengunjungiku di rumah Elang. Tak lupa membawa Jazzy yang kuminta serta. Karena Elang beberapa hari kemarin sering pergi untuk mengecek lokasi gedung yang baru dan aku terpaksa wara wiri ke kantor naik taksi online. Aku mengajak Bu Ami ke kamar untuk bercerita - cerita seputar keadaan di rumah. Kebetulan setiap Minggu pagi, Elang rajin lari pagi di seputaran Car Free Day bersama Merpati. Dia mengajakku tadi, tapi karena aku sudah janjian dengan Bu Ami dari pagi, aku menolak ikut. "Kakak betah disini?" Tanya Bu Ami, sembari duduk di sofa lebar yang baru kubeli dengan Elang. Mami sempat marah saat aku membeli sofa yang bisa berfungsi sebagai kasur ini, katanya, sebentar lagi kami akan pindah jadi kamar ini akan kosong, tapi tidak kupedulikan. "Enggak betah, Bu. Aku maunya apartemen mas Elang cepet selesai. Biar tidurnya bisa cepat pisah." Bu Ami tersentak, "kenapa tidurnya pisah?" "Ck, Ibu--" Aku menghela napas, "aku enggak bisa nyampur sama mas Elang. Kita enggak ada perasaan apa - apa." Jawabku. Hanya dengan Bu Ami, aku tidak bisa berbohong. Orang ini, mengenalku lebih daripada mama. Kurasakan belaian tangan bu Ami di rambutku. "Kalian kan sudah sah menjadi suami istri. Melakukan itu tidak perlu cinta, Kak. Diniatkan ibadah saja." "Haahh, Ibu mah enggak ngerti." Desahku, lirih. Bu Ami memegang daguku, membuatku memandangi wajah teduhnya, ia mengenakan kerudung coklat hadiah dariku di ulang tahunnya yang ke lima puluh lima, tahun lalu. Beliau lah orang yang mengasuhku dari bayi, pengganti mama yang lebih sibuk mengurus Alya. Aku bahkan sering menghardik Arka yang suka memerintahnya dengan tidak sopan, memperlakukannya seperti pekerja rumahan pada umumnya. Bu Ami istimewa untukku. Aku tahu dari Papa, pernikahan Bu Ami tidak bahagia karena beliau tidak bisa memberikan keturunan untuk suaminya. Dan mantan suami Bu Ami pergi menikah lagi, tanpa menceraikannya secara hukum. Meskipun Papa bilang, secara agama mereka sudah terpisah. Bu Ami dibawa Papa untuk bekerja dengan keluarga kami saat aku lahir. Papa dan Bu Ami berasal dari daerah yang sama, mereka berteman sejak muda. Bu Ami pernah bilang, mengasuhku justru membuat ia merasakan peran seorang Ibu yang selama ini diidam - idamkannya. Maka dari itu bu Ami menganggapku anaknya sendiri, memperlakukanku seperti anak kandungnya sendiri. "Kak, cinta atau tidak, kalian terikat hukum dan agama sebagai suami istri. Ada tugas - tugas istri yang harus Kakak tunaikan, salah satunya melayani suami." "Bu, melayani itu bermakna luas. Nyiapin baju, menghidangkan makanan dan membersihkan kamar juga termasuk melayani. Aku pilih melayani yang kategori babu saja, tidak mau yang itu." Aku merenggut. Bu Ami tertawa. "Tapi suami kamu punya kebutuhan, Nduk." Aku meremang mendengarnya, sumpah ini horor. "Makan, minum, mandi dan lain - lain juga kebutuhannya yang aku layani." Jawabku mantap. Bu Ami memukul bahuku. "Pura - pura enggak ngerti. Kebutuhan biologis, Kak. Kamu mau suamimu mencari kebutuhan di luar?" Aku bergidik ngeri, sekali lagi. "Yeee, enak aja. Dosa tahu, Bu." "Kamu juga dosa kalau menolak." "Aku bukannya nolak, itu kesepakatan kami." Jawabku, ngeles. "Pokoknya, jangan tidur terpisah. Semakin sulit membangun chemistry." "Iih, Ibu tahu - tahuan soal chemistry. Kayak anak muda aja." Godaku, mencolek pipi Bu Ami. "Ibu kan juga pernah muda, Kak." Jawabnya setengah mencibir. Aku tertawa dan memeluk bahunya dengan sayang. "Lagipula, Kak, sampai kapan Elang nolak? Dia kan normal, suatu waktu pasti ada keinginan menyentuh istrinya." "Enggak, enggak bakal. Aku yakin. Dia enggak nafsu ama aku, Bu. Nafsunya sama Alya doang." Sahutku cepat, sambil mengibaskan tangan. "Kamu kok--kenapa Alya lagi?" Aku mengangkat bahu tidak peduli. Suara ketukan di pintu, menyelamatkanku dari interogasi Bu Ami. Kepala mami nongol dan memicingkan mata saat melihatku duduk berdua dengan bu Ami di atas sofa. "Ck ck ck, bawa tamu ke kamar pribadi, makan minum dalam kamar. Happy, Andita enggak pernah ngajarin sopan santun ke kamu?" Cerca Mami, di depan Bu Ami yang bahunya mendadak tegang. "Bu Ami bukan tamu, Bu Ami seperti Mama untukku. Lagipula, cuma minuman ringan dan camil--" "Tetap saja bisa mengundang semut dan kecoak, ini tuh kamar kamu dan Elang. Wilayah pribadi, enggak pantas bawa orang lain dalam kamar. Kok benar yang pak Rajiman bilang, ndablek-mu keterlaluan." Kudengar bu Ami terkesiap kaget. Tangannya bergetar. "Hati - hati dengan kata - katamu, Mbak." Bu Ami berbicara dengan suara yang bergetar. Sementara hatiku seperti dipukul palu godam, sakit sekali mendengar kata - kata yang terlontar dari tante Rianti barusan. "Kamu jangan kelewat manjain anak ini, Mi. Kamu bukan Ibu kandungnya juga, biar tahu aturan dia. Sudah menikah, kelakuan masih seperti ini. Gimana punya anak nanti!" Tante Rianti meninggalkan kamar dengan membanting pintu. Kedua tanganku terkepal, hingga kuku jari - jariku sakit menusuk telapak tangan. Bu Ami mengelus lenganku, memeluk dan menenangkanku. Aku benci Tante Rianti, aku enggak akan membuatnya menjadi nenek dari anak - anakku. Tidak akan! *** Aku baru saja menemani Bu Ami naik taksi online yang kupesankan, ia tidak membawa mobilnya karena mengantarkan mobilku dan Elang baru kembali dari lari pagi, kami bertemu di pintu gerbang. "Yang barusan pergi bu Ami?" Tanyanya ramah, sambil memasukan mobilnya. Aku mengangguk. Ke area car free day kok bawa mobil, ironis enggak sih? Merpati turun dan segera berlari ke dalam, sementara Elang membuka bajunya yang basah karena keringat di dalam mobil dengan pintu yang sudah terbuka. Ia turun dengan bertelanjang d**a dan memberikan kaos basah itu padaku. "Kamu sudah sarapan, Mas?" Tanyaku, sambil berkonsentrasi menatap wajahnya bukan dadanya. Demi sempak Liam Hemsworth, mataku sialan banget, pengennya lirik - lirik d**a bidang itu. Oh Tuhan, selamatkan jiwa polos Happy. "Sudah, sama Mer. Makan bubur, tapi laper lagi, Py. Kamu masak?" Aku menggeleng dengan jujur, tiba - tiba dari arah pintu masuk kulihat Mami berjalan keluar. "Mami masak nasi goreng kok, Mas. Makan aja sana. Istrimu mana ngerti dapur sih, kuali sama panci aja dia enggak bisa bedakan." Elang memandang Mami dengan tatapan menegur. Memang dasar emak - emak judes, Mami melengos kembali masuk ke dalam rumah. "Kamu sudah sarapan?" Elang mengajakku masuk ke dalam. "Belum, tapi sudah kenyang." Sama omelan Mami lo. Jawabku, tentu saja sisanya hanya dalam hati. Biar seperti sinetron. Elang mengernyit, "kenyang makan apa? Angin? Yuk temani aku makan." "Aku mau mandi, Mas." Elang tidak memaksa, aku segera menaiki tangga menuju kamar. Aku sedang mengenakan lotion saat Elang masuk masih dengan topless-nya men-charge ponsel di meja samping kasur. "Lihat apartemen yuk, Arya telepon, sudah rapi katanya." Arya adalah sekretarisnya. Baru Elang yang kuketahui memiliki sekretaris laki - laki, uhm maksudku, sekretaris kan identik dengan perempuan. Dan Elang tidak seperti Bos - Bos pada umumnya yang ketergantungan pada sosok sekretaris, Arya benar - benar fungsional, hanya menggantikan dirinya saat dia tidak datang dalam suatu pertemuan dan sebatas mengatur jadwal. Mungkin membantunya untuk tugas - tugas yang dia tidak mau tangani, seperti tentang Apartement itu, Elang bilang dia menyerahkannya pada Arya karena malas mengurusinya langsung. "Yuk. Jalan sekarang?" Tanyaku, sambil melihat cermin. Aku harus berganti baju. "Nanti lah, mandi dulu aku." Elang masuk ke kamar mandi, dan kugunakan kesempatan ini untuk berganti baju. Baru saja aku meloloskan diri dari kaos rumahan yang kulepas, Elang berdiri di samping kasur dengan celana yang masih terpasang. Sontak, aku menutup diri dengan pakaian yang kupegang secara terburu - buru. "Sorry, aku mau taruh jam." Elang berkata gugup, ia langsung berbalik setelah meletakkan jam tangan di samping ponselnya dan kembali masuk ke dalam kamar mandi. Kakiku lemas. Ya ampun, tubuhku ternodai dengan tatapannya. Suasana di mobil menjadi canggung karena kejadian tadi. Elang menaikkan volume radionya. Entah mengapa, aku lebih suka mendengarkan musik dari radio dibanding memutarnya dari kaset, cd atau playlist seperti Alya dan Arka. Aku suka kejutan, jika mendengarnya dari radio, kita tidak bisa menebak lagu yang akan diputar selanjutnya. "Kita bisa pindah besok, kalau kamu mau." Elang baru mengeluarkan suara. "Boleh." Jawabku singkat. "Apartemennya ada tiga kamar." "Perfect!" Sahutku lagi. "Maaf soal tadi, aku enggak tahu kamu mau ganti baju." Tiba - tiba wajahku memanas, "uhm oke. Lupain aja." Yang tadi lo lihat. Oke? Kami sampai di Gedung Apartement yang akan menjadi tempat tinggal kami berdua nanti. Arya langsung bangun dari duduknya ketika melihat aku dan Elang, wajahnya tersenyum. "Mas, Mbak." Sapanya. Dan Arya memanggil Elang dengan Mas, alih - alih Bapak. Aku tersenyum ke arahnya. Arya berbincang dengan Elang seputar isi Apartement. Kami memasuki apartement Elang. Ternyata dia mendekorasinya seperti kamar di rumah, dengan wallpaper yang bermotif sama. "Ini juga nyala, kalau gelap?" Tunjukku ke arah dinding yang berbalut kertas putih dengan motif seperti ukiran batik berwarna perak. "Iya. Mau lihat kamar?" Elang menunjuk pintu kamar pertama. Arya membukakan pintu, kami pun memasuki sebuah kamar utama dengan kertas dinding bergambar pegunungan Bromo dan Semeru di sekeliling ruangan. Ada kesan eksotis dalam kamar ini, entah mengapa membuatku tersipu. Aduh. "Gunung banget, Mas?" Tanyaku pada Elang. Dia hanya tersenyum tanpa menjawab. Jarinya menelusuri kertas dinding itu. Aku curiga, jangan - jangan, lokasi itu memiliki history Elang dengan Alya. Dan untuk mengingatnya, Elang membuat wallpaper dengan pemandangan penuh kenangan mereka berdua. Hm, bisa jadi. "Aku tidur di kamar satunya lagi aja ya?" Kataku pada Elang. Dia menatapku kaku, sementara Arya terlihat kikuk dan pamit undur diri, mempersilakan kami berdua melihat - lihat. "Nggak perlu frontal gitu kali, Py. Ada Arya tadi, enggak enak kalau urusan kamar kita banyak diketahui orang lain." Elang menegurku. Tiba - tiba, aku teringat obrolan dengan Bu Ami. Beliau jadi tahu tentang tidur terpisah itu. Aku meminta maaf dengan lirih dan merutuki kecerobohanku. Elang keluar dari kamar dan kembali masuk beberapa saat kemudian. "Ayo, lihat kamar untuk kamu." Katanya. Aku mengikuti langkahnya keluar dan Arya sudah pergi. Memasuki kamar kedua, dengan kasur berukuran dua Lebih kecil dari kamar utama, ukuran ruangannya juga. Tidak ada kamar mandi, berbeda dengan kamar utama yang memiliki kamar mandi sendiri. Kertas dindingnya, berwarna putih dengan motif menara Eiffel di sebelah kiri kasur dan hanya bintik - bintik berwarna sisanya. Memiliki satu lemari baju (bukan walk in closet, hanya lemari biasa) dan satu pasang meja dan kursi untuk bekerja. "Kamar ketiga, mau lihat?" Aku mengangguk, masih merasa tidak enak soal tadi. Kamar ketiga memiliki kasur yang sama dengan kamar yang akan kutempati tadi. Dengan kertas dinding warna biru, bermotif bintang dan bulan secara abstrak. Kurang lebih sama dengan kamar kedua. Di depan antara kamar kedua dan ketiga, terdapat kamar mandi yang memiliki ruang mandi kecil dengan kaca blur sampai setinggi d**a, shower hot and cold dan kloset. Aku tidak berminat melihat kamar mandi dalam kamar Elang, pasti lebih luas. Dapurnya kecil, ada meja minibar sepanjang satu meter. Kulkas dua pintu dan dua kursi tinggi. Meja makan yang kecil berisi empat kursi. Peralatan dapur, tidak ada. Tapi ada beberapa piring besar putih dan gelas yang digantung secara terbalik di glass holder kabinet atas kepalaku. Ruang tv-nya kecil dan langsung terhubung dengan dapur dan balkon. Singkatnya, apartement ini simple. Tipikal hunian para pekerja yang mengutamakan kepraktisan untuk mencapai gedung kantor mereka. Elang menduduki sofa berwarna coklat di ruang tv, membuka ponselnya dan mengetik sesuatu. "Bisa jalan kaki ke kantor, dari sini?" Tanyaku, mengingat kantor kami lumayan dekat jika dari gedung apartement ini. "Bisa, nyebrang kali itu tapinya." Dia menjawab sambil bercanda. Aku merenggut. "Lebih praktis naik mobil, muter sekali, sampai." Elang memasukkan ponselnya ke saku celana. "Coba saluran tv-nya aah." Mengambil remote, Elang menyalakan tv flat berukuran enggak tahu berapa inch. Aku enggak ngerti ukuran tv, ukuran sepatu aja aku paham. Membedakan tv LED dengan LCD aja aku enggak tahu bagaimana. Menurutku sama saja. "Besok kita pindah, supaya mami enggak konfrontasi kamu terus." Elang berbicara tanpa mengalihkan matanya dari layar. Aku jadi teringat peristiwa tadi pagi dengan tante Rianti. "Kamu tahu, aku anak pertama mami?" Aku melihat Elang yang sekarang duduk setengah menghadap ke arahku yang berada di kursi meja makan. "Bukannyam mas Raja?" Tanyaku bingung. Elang menggeleng, "Raja dan Dara anak istri Ayah yang pertama. Meninggal saat melahirkan Dara. mami menikah dengan ayah kemudian, aku anak pertama mami dengan ayah." Info baru. Tapi, itu artinya? "Harapan mami terlampau besar padaku. Dan Alya, mengetahui hal itu. Mami merasa Alya mengerti dirinya." "Aku enggak ngerti." "Jika aku menikah dengan Alya, saham kami akan dijadikan satu. Itu membuatku bisa menduduki posisi sebagai Komisaris, menggantikan papamu." "Kalau menikah denganku?" "Saham milik kamu sedikit, Py. Mami kecewa." Hatiku seperti dicubit mendengarnya. Jadi benar - benar karena saham - saham sialan itu. "Ambil aja semua, aku enggak mau kok. Aku enggak niat ikut bekerja di AHA." "Bukan begitu, aku juga tidak mau mengambil hak kamu. Itu milik kamu. Hanya, Alya sudah menyetujui hal itu sejak pertama kali ide pernikahan dicetuskan Eyang Rajiman. Jadi, seperti memupuskan harapan mami." "Terus, kalau besok Perusahaan gabung. Mas Elang jadi apa?" Eh kok jadi apa, memang Superhero. "Tetap pegang Keuangan kok, tapi kemungkinan jadi Komisaris kecil." "Mau banget?" Elang tertawa,"siapa yang enggak mau jadi orang paling powerful?" Aku mencibir ke arahnya, "tapi bebannya berat. Jam terbangku belum setinggi itu di dunia ekspedisi." Lanjutnya lagi. Aku mengangguk - angguk sok tahu, padahal bingung. Sudahlah, bukan bidangku menelusuri organization chart.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN