Sepuluh

1818 Kata
"Itu ngapain sih Papa disini?" Aku langsung memberondong Elang yang baru masuk kamar. Alisnya terangkat sebelah, mungkin tidak menyangka pertanyaan itu akan keluar dari mulutku. "Mau nginep, masa aku larang." Jawabnya santai, menepuk - nepuk bantal dan membaringkan dirinya di atas kasur. "Ya tujuannya nginep apa? Rumah deket, enggak sampe dua jam perjalanan. Terus nginepnya di apartement kecil begini. Bukan papa banget. Pasti mau mata - matain kita." Aku melipat tangan di d**a, berspekulasi tentang tujuan menginap papa. "Kamu tuh, Py, positif thinking sehari aja sakit kepala ya? Itu papamu lho." "Ya habis mencurigakan sih!" Jawabku sewot. "Sepertinya, habis berantem dengan mama. Karena kalau nginep di hotel, bisa memperkeruh suasana. Kalau nginep di tempat kita kan masih dianggap wajar. Kamu anaknya." Aku menyipitkan mata menatap Elang dan berpikir, bisa jadi sih papa mama berantem. Aku memang sering dengar mereka adu mulut, cekcok dan ribut - ribut. Tapi kalau papa sampai keluar rumah, baru kali ini sih. Atau mungkin, merasa punya tempat selain rumah untuk pulang ya? Makanya Papa kesini. Aku keluar kamar dan menghampiri papa yang masih berkutat dengan laptop di depan tv. Memeluk tubuhnya dari samping dan bergelayut manja di bahunya. "Katanya mau bikin adegan berisik, Papa siap pake headset lho ini." Papa menggodaku. Aku memajukan bibir, cemberut "Papa lagi sedih ya?" Aku menopang dagu di bahunya. "Kata siapa?" Papa membuka halaman email sambil membaca satu - satu email masuk untuknya. "Aku kan nanya, Papa lagi sedih sampai - sampai lari dari rumah?" Papa mengenakan kacamatanya, menoleh kecil padaku. "Siapa bilang Papa lari dari rumah?" "Jadi?" "Papa mau nginep di tempat anak dan menantu." Aku mencibir, "enggak ada hujan enggak ada angin, nginep disini. Sendiri lagi, ga ajak Mama." "Hooaamm, Papa ngantuk. Tidur ah, sana masuk! Katanya mau berisik. Harus berisik yang bermanfaat ya, Papa udah enggak sabar mau gendong cucu." Aku menatap papa setengah jengkel. "Ya nanti aku bikin berisik, aku mau karaokean sampai pagi. Sama Elang." Papa tertawa kecil dan membawa laptop-nya ke kamar yang sudah aku siapkan. *** Dua pria di hadapanku cemberut saat kuberitahukan tentang sarapan dengan mie instan. "Kopi deh, Kak. Papa sarapan di kantor saja." Aku menggeleng pelan, Papa dan Elang mendesah berat secara kompak. Aku nyengir kuda. Mana aku tahu mereka berdua akan sarapan, eh maksudku, Elang masa minum kopi? Kulitnya kan putih, dia pasti suka s**u. "Aku beli ini kok." Kukeluarkan sekotak s**u low fat berukuran satu liter dari kulkas. Papa dan Elang menatap ngeri, seolah - olah aku baru saja mengeluarkan rudal untuk memborbardir mereka. "s**u?" Aku bertanya pada mereka berdua, yang dijawab gelengan kepala. Sekali lagi, dengan kompak. Aku mendesah, "yaudah. Minum teh aja ya?" "Ya ampun, Lang. Maafin Papa ya, enggak tahu Happy benar - benar enggak ngerti cara menyiapkan sarapan." Aku cemberut pada papa. "Enggak apa - apa. Elang ngerti kok, kita sarapan di luar aja, Pa. Nanti Elang pesanin kopi sekalian." Elang bangkit berdiri dan mengambil tas kerjanya. "Lho, ini s**u-nya enggak ada yang mau?" Tanyaku sekali lagi. "Buat kamu aja." "Iya untuk Kakak saja, kamu harus banyak minum s**u memang." Aku menandaskan gelasku dan mengikuti mereka yang sudah berjalan keluar. "Papa enggak bawa mobil? Aku berangkat sama siapa? Enggak bawa Jazzy?" Elang memencet tombol lift dan memutar tubuhnya, "berangkat bareng aku. Papa bawa mobil sendiri. Ya kan, Pa?" Papa mengangguk. "Sarapan di Mcd samping GG aja ya, Pa?" Tanya Elang lagi. "Boleh." "Aku ikut ya?" Tanyaku. Pintu lift terbuka, kami masuk dan lift membawa kami turun. "Ikut saja." Jawab Papa. *** Pintu ruanganku diketuk, Marini masuk setelah kupersilakan. "Py, eh Bu--" "Happy aja deh, Mar." Potongku. Aku enggak mau dipanggil Ibu, ketuaan. "Iya deh, Py. Ikut meeting sama orang finance kan? Sama laki lo." "Huft, iya ya. Soal budgeting Departemen kita. Jam berapa memang?" Marini berdecak, "baca di email dong, Bu." Aku terkikik dan segera membuka schedule appointment meeting. Sepuluh menit lagi, oh em ji, dan aku belum persiapan apa - apa. Minimal, amunisi untuk tempur gitu. Eh meeting budgeting apa aja sih isinya? Yah, pengalaman pertamaku nih ikut meeting sama orang Finance. Sama Elang. "Lo ikut kan, Mar?" Tanyaku Marini sebenarnya lebih tua empat atau tiga tahun dariku, tapi malas aku panggil Mbak. Dia kekanakan sih, membuat kita enggan menghormati. Hehehe, itu alasanku aja sih. Aku memang enggak sopan, kadang. "Ikut dong. Kapan lagi bisa puas memandangi muka laki lo dan semua Depthead dan manager kalau bukan di budgeting monthly meeting." Aku mencibirnya, "mau puas mandangi Elang? Gue kasih kunci Apartement gue nih." Mata Marini berbinar, "serius lo, Py?" "Serius. Tapi ada syaratnya." Bibir menor yang dibalut lipstick matte marun itu mengerucut, "firasat gue enggak enak deh." Aku memainkan alis dengan dramatis, menaik turunkannya dengan cepat. "Mau enggak?" "Gila lo! Laki sendiri mau dikasih orang." "Siapa yang ngasih? Gue cuma nawarin kunci, lo bisa masuk kapan aja. Syaratnya dulu nih, mau kaenggak?" "Ck ck ck, gue masih curiga lo bukan anak kandung pak Latief deh, Py." Aku berdecak kesal, "iya iya deh. Apa syaratnya?" Aku menyeringai, merasa menang. "Kerjain monthly report gue." "Sialan! Ogah! Dah ah, gue mau ke ruangan Swiss." Marini beranjak sementara aku terbahak - bahak. Puas sudah aku mengerjainya. "Baru gue suruh ngerjain monthly report, belum aja gue suruh bersihin toilet seluruh lantai lo, Mar!" Decakku sambil membawa notes dan peralatan perang. Bersiap ke ruangan meeting Swiss. Di kantor ini, semua ruangan dinamakan dengan nama - nama Negara. Ada Swiss, Amerika, Inggris, Prancis. Aku memasuki ruangan Swiss yang baru berisi Raja, Dennis, Marini, Teguh dan satu lagi aku enggak tahu, sepertinya orang lapangan. Mereka sedang asyik mengobrol hingga tidak menyadari kehadiranku. "Eh Happy, panggil Elang dulu, Py. Lama banget." Raja yang baru melihatku, langsung melemparkan titahnya. "Baru juga nempel nih pantat." Bisikku pada Marini yang terkekeh pelan. Melewati Arya, aku mendorong pintu ruangan Elang. Terdengar suaranya yang sedang berdendang. "I love you dangerously, hiiiyy hiiyyy hiiy. I love you dangerously." Liriknya berputar disitu aja terus. Aku menertawakannya, Elang mengangkat kepala dan tersenyum malu. "Ditungguin yang lain tuh." "Oh iya. Sebentar. Kamu kenal Mirza, Py?" Aku menggeleng. Mirza? Siapa? "Enggak tahu." "Oke. Yuk." Elang bangkit dan membawa laptopnya seraya menyuruhku jalan kembali ke ruangan Swiss. *** Sepanjang pertemuan aku banyak bertanya pada Elang, dia mengajariku dengan sabar. Tentang apa - apa saja yang harus aku listing dalam belanja bulanan untuk keperluan departemen GA. Pertemuan selesai, menyisakan Raja, Elang, dan aku di ruangan Swiss. Aku masih asyik membalas pesan sampah Bowo tentang Hamish yang katanya enggak cocok sama Raisa, menurut dia. Bodo amat. Bo-WOW Gantengan gw kemana2 daripada si Amish itu. Memang, Wo! Gue akui kok. Sayangnya itu semua hanya ucapan dalam hatiku. Kubalas pesan dukanya itu. Me. Wo, se-gak ganteng-nya Hamish. Dia udh merit sm Raisa. Nah lo, cewek aja enggak punya. Malu Wo sama dongkrak yg sering lo belai2. "Mirza siapa?" Raja melayangkan pertanyaan pada Elang, aku kembali fokus pada obrolan mereka. "Enggak ngerti, Eyang mau panggil semua Dewan Direksi. Eyang merasa kebobolan." Wah, berita bagus nih. Apapun beritanya, kalau tentang membuat Eyang kesal, aku pasti bilang bagus. "Apaan sih, Mas? Eyang kenapa?" "Nah Py, kamu mulai harus mengerti deh soal ini." Raja memajukan kursinya, merapatkan tangan dan menumpukannya di atas meja. "Tentang apa?" "Saham AHA, jatuh ke orang asing. Sebesar empat puluh persen." Aku enggak mudeng. "Maksudnya? Bagus dong, kita masih punya enam puluh persen lagi." Jawabku, sambil tersenyum. Raja menyembunyikan tawanya dengan batuk kecil, Elang mendesah pasrah. Apa yang salah? "Saham kamu berapa? Tahu enggak?" "Tiga persen." Kecil sih, tapi Papa dan Eyang punya banyak. "Eyang 20%, Papa kamu 20%, sepuluh persen milik Alya, tiga persen punya kamu dan tujuh persen punya Arka. Sisanya, empat puluh persen, dikuasai orang asing." "Bule maksudnya?" Tanyaku masih tidak mengerti. "Namanya Mirza, orang Indonesia." "Masalahnya dimana?" Sekilas aku melihat layar ponsel, Bowo belum membalas lagi pesanku. Elang terlihat lelah menjelaskan. "Happy, Mirza bukan keluarga." "Ooh." "Oh?" Elang menatapku tak percaya. Emang aku harus bilang, WOW? "Kita bukannya mau digabung? Terus masalahnya apa lagi?" "Masalahnya, Happy. Ayah baru saja memberitahuku, seluruh saham yang tadinya milik asing di GG juga sudah dibeli Mirza - Mirza ini. Jika digabungkan, Mirza akan menguasai 55% saham kita. Dan sisanya, milik kita dibagi - bagi." Elang menjabarkan. "Gila, tajir banget ya dia." Raja terbahak kali ini, aku menatapnya bingung. "Py, jadi Ibu rumah tangga aja kamu." Katanya dan Raja bangkit berdiri, menepuk pundak adiknya lalu berjalan keluar. Aku masih enggak ngerti, terus kalau Mirza punya 55% saham AHA GG Express, kenapa? "Kamu ikut meeting Dewan Direksi, Py." Elang memerintah. "Enggak mau." Jawabku cepat. Aku enggak ngerti. "Kamu harus tahu problem-nya seperti apa. Semua orangtua sedang pusing, terutama Eyang." "Kenapa?" "Happy, kalau Mirza bisa memiliki 55% saham kita, artinya dia berhak menduduki kursi Komisaris Utama. Kamu lupa? Eyang tidak mau AHA GG jatuh ke tangan yang bukan keluarga. Itu kan tujuan kita menikah? Menjaga agar perusahaan tidak lari ke luar." "Terus, kalau Mirza - Mirza ini jadi Komisaris. Misi kita gagal. Gitu?" Elang menggeleng, "bukan gagal. Tapi yang kita lakukan jadi sia - sia." "Berarti, kita bisa cerai dong. Horeee." Elang menatapku dengan horor, membuatku terdiam seketika, "pernikahan kita mungkin terpaksa. Tapi bukan mainan, Happy." Tegurnya dengan pelan. Elang kadang berubah serem deh kalau mode galak begini. "Salah siapa kalau saham kita jatuh ke orang asing? Hayo?" Cibirku. "Tadinya, semua saham itu milik beberapa nama. Gunawan, Dean dan beberapa orang asing yang memang sempat membantu AHA berkembang seperti sekarang. Tapi, semua saham mereka dijual ke satu nama. Mirza. Begitu juga dengan saham di GG." "Ooh, kamuflase?" Elang menatapku dengan takjub dalam dua detik, kemudian ia memetik tangannya seolah menemukan sebuah ide brilian. "Kamuflase. Ini direncanakan. Siapapun dia, Mirza - Mirza ini, dia jelas ingin masuk ke dalam lingkaran kita." Aku mengangkat bahu, hal seperti ini harusnya kukonsultasikan dengan Bu Ami. *** Aku segera menghubungi Bu Ami begitu keluar dari ruangan pertemuan, ingin mengajaknya bertemu dan meminta pendapat. "Halo, Kak?" "Ibu dimana? Makan siang bareng yuk." Tawarku. "Yah Kak, Ibu lagi makan siang sama mas Idan." Aku mendesah kecewa. Idan adalah anak angkat Bu Ami. Beliau mengangkatnya karena Idan yatim piatu dan sempat putus sekolah. Tapi aku tidak pernah diajak bertemu Idan, Bu Ami bilang takut aku naksir. Ih! Jelek - jelek gini aku kan punya selera. Indomie, seleraku. "Yaudah, Bu. Next time aja." Setelah mendapat jawaban dari Bu Ami, aku segera mematikan sambungan telepon. Di telingaku masih terngiang soal penjelasan Elang tadi. Kalau si Mirza jadi Komisaris Utama, terus kita ditendang dari Perusahaan kita sendiri. Gimana coba? Ih ngeri. Kalau aku diberhentikan kerja, mungkin aku bisa minta uang pada Papa untuk ke salon, perawatan Jazzy, menambah koleksi tasku. Kalau Papa ikutan bangkrut, oh nooooo. Jangan sampai. Nanti aku enggak bisa bayar perawatan ke salon, nongkrong di kafe yang hits. Bencana! Aku harus menyelamatkan Perusahaan Papa. Bikin Eyang jengkel-nya lain kali saja, yang tidak merugikan dompet Papa. "Py, jam dua ikut rapat Direksi." Elang tahu - tahu nongol di ruanganku tanpa ketuk pintu. Aku menelan ludah dengan sulit dan mengangguk. Aku kan enggak ngerti apa - apa. Gimana ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN