Bab 6

1066 Kata
Sampai menjelang malam Ginger dan Salt belum kembali. Aku tidak percaya aku menunggu pria itu. Lebih dulu mengenal Ginger membuatku berpikir dia milikku. Milikku? Aku menghardik pikiran yang berani mencetuskan ide itu, sinting sekali! Tidak seharusnya berpikir gila di saat seperti ini. Memperhatikan yang lain dengan aktifitasnya masing-masing tidak bisa mengalihkan pikiranku dari Ginger dan Salt. Benakku terus bertanya ke mana mereka sebenarnya. Aku menarik napas panjang, mencoba mengamati Pepper yang asyik dengan bumerangnya, sementara Chili berkali-kali mencemooh permainan gadis itu, meski aku yakin itu hanya untuk menggoda. Pepper ahli memainkan bumerang. Lalu aku mengalihkan perhatian pada Clove yang nampak sibuk dengan benda-benda miliknya, botol-botol berisi cairan dan entah apa lagi. Cinnamon seolah mempunyai teman baru, mengikuti setiap gerak pria hitam itu dengan matanya. Semak terinjak yang kudengar membuatku menoleh ke asal suara, aku menegakkan tubuh saat melihat Ginger dan Salt yang baru kembali. Salt terlihat canggung, wajahnya merona dengan rambut yang berantakan. Dia langsung menyendiri, berbaring di bawah sebuah pohon. Entah keberanian macam apa yang membuatku berani mencekal lengan Ginger ketika dia melewatiku. Pria itu menoleh, menatapku tajam. “Dari mana kalian?” desisku. Melalui cahaya rembulan aku bisa melihat pria itu menyeringai, mendekatkan wajahnya padaku. “Kau benar-benar ingin tahu, heh?” Aku terdiam. Membeku ketika bibirnya mendekat ke telingaku, napas hangatnya menyapu sisi-sisi wajah, menimbulkan efek panas pada seluruh tubuh. “Menurutmu…” dia menggantung ucapannya, bibirnya sedikit menyentuh cuping telingaku saat berbicara, “…apa yang dilakukan pria dan wanita dewasa jika mereka berdua saja?” Aku yakin wajahku merah padam saat ini, mengerti apa maksud ucapan Ginger. “Dengan wanita secantik Salt, aku punya banyak waktu mencoba berbagai macam gaya, bukan?” lanjutnya lagi menjauhkan wajahnya dariku, tersenyum miring. Wajahku semakin memanas. Kesal dengan tingkahnya, aku menendang selangkangannya, namun bukannya kesakitan dia malah tertawa keras, sambil berlalu dari hadapanku. Tawa pertama yang aku dengar dari bibirnya, tapi suara tawanya terdengar sangat menyebalkan. Aku merebahkan tubuh ke atas batu besar yang atasnya datar. Seperti malam-malam sebelumnya, mataku menemukan labuhannya pada langit malam Mate Sphere. Kali ini sedikit terganggu dengan ucapan Ginger. Aku mendesah, pria itu benar, Salt wanita yang cantik … sangat cantik. Dengan kulit putih bersih yang terlihat segar, leher jenjang, wajah oval oriental yang dibingkai rambut lurus hitam mengkilat dengan poni depan, Salt terlihat seperti boneka Jepang. Entah kenapa aku merasa gundah memikirkan apa yang Ginger dan Salt lakukan ketika mereka hanya berdua. “Pakai ini!” Jaket kulit hitam terlempar ke atas tubuhku, Ginger berdiri di sampingku. “Tengah malam ini udara akan semakin dingin sampai menusuk tulang,” beri tahunya. “Huh, tidak perlu!” dengusku melempar kembali jaket itu pada Ginger. Ginger menangkapnya. “Terserah,” gumamnya berlalu. Aku kembali menatap langit, mencermati kerlip ribuan bintang hingga terpejam—lelah. Entah berapa lama, ketika udara dingin terasa menusuk dan membuatku menggigil. Kupikir ini mimpi, aku berada di padang rumput luas dengan angin dingin yang bertiup kencang, teramat sangat dingin hingga embun di pucuk-pucuk daun berubah menjadi kristal es, aku membeku. Seseorang mendekapku, membuatku terasa hangat. Bergelung dalam pelukannya, menghirup aroma tubuh yang sangat kukenal. Ginger!  Sesuatu yang menarik-narik rambutku membuat terbangun. Aku menggeliat, membuka mata yang masih terasa berat. Mendapati Cinnamon yang tengah mematuk-matuk rambutku. “Hentikan, Cinnamon…” erangku. Duduk dan merapikan rambut yang kusut. Cinnamon melompat ke atas kakiku, saat itulah aku melihat jaket kulit hitam milik Ginger yang hampir terjatuh. Mengambil jaket itu, benakku merangkai tanya. Jadi, dia tetap menyelimutiku dengan jaketnya, semalam? Aku tersenyum. Entah kenapa merasa perbuatannya sangat manis. Melompat dari atas batu, aku melipat jaket milik Ginger dan meletakkannya di atas batu. Lalu mengedarkan pandangan berkeliling, tapi tak menemukan pria itu. Aku hanya melihat Salt yang sedang berbincang dengan Clove, dan seperti biasa Pepper tengah asyik dengan bumerangnya, dengan Chili yang mengawasi. Omong-omong, aku tahu Ginger ahli dengan panahnya. Salt memiliki puluhan belati, jadi meski dia tidak pernah menunjukkan keahliannya, aku tahu dia pandai melempar benda itu mengenai sasaran. Sedangkan Pepper dan bumerangnya adalah satu, dan aku dengan pistolku. Bagaimana dengan Chili dan Clove?  **** Aku, Salt dan Pepper menuruni bukit untuk ke sungai, hanya sekadar ingin mencuci muka dan menyegarkan badan sebentar. Ketika kami kembali, kulihat Ginger sudah memakai lagi jaketnya, sedang memanggang ikan di atas api. Aku duduk di sampingnya. Aroma ikan yang menggoda selera langsung menyeruak menerobos indera penciuman. “Terima kasih untuk jaketmu,” bisikku. Dia hanya mengangkat bahu. Aku menggosok-gosok telapak tangan satu sama lain, kemudian menghadapkannya ke bara api, mengusir hawa dingin. Ginger tetap diam, membolak-balik ikan yang dibakarnya, sedangkan aku hanya mengamati, menikmati suara ranting kering terbakar yang bagai musik di kesunyian pagi. Terkadang embusan angin sepoi, menggoyang pucuk-pucuk dedaunan dengan kilau kristal bening di ujungnya—ikut bergoyang. “Terkadang, satu malam di Mate Sphere akan terasa sangat dingin,” gumam Ginger pelan. “Bahkan embun pun bisa berubah menjadi kristal es. Itu terjadi setiap ada satu binatang yang kehilangan bubuk cahaya.” “Dari mana kau tahu jika udara dingin akan menyerang?” “Aku sudah lama di sini, terbiasa membaca tanda alam.” “Lalu, bagaimana kau menghadapi rasa dingin itu? Bukankah sama sepertiku, kau juga hanya mempunyai pakaian yang kau kenakan?” “Sudah kubilang, aku sudah lama di sini. Begitu pun dengan yang lainnya. Kaulah Pencari Mate terakhir yang kami tunggu.” Aku mengangkat kedua alis. “Maksudmu?” “Kita akan mulai petualangan yang sebenarnya hari ini.” Aku ingin bertanya lebih jauh lagi, tapi Chili dan Pepper bergabung bersama kami, menyusul Salt dan Clove. Selanjutnya yang kami bicarakan adalah rencana perjalanan. Semula Ginger ingin kita pergi ke selatan, tapi Chili dan Clove sepakat untuk ke utara. Dan sebelum mereka memutuskan, aku memberi ide yang lain. “Kenapa kita tidak mengikuti arah matahari terbenam?” tanyaku. Mereka serentak menatapku, membuat salah tingkah. “Hei, itu cuma ide,” seruku gugup. “Kenapa harus arah matahari terbenam?” tanya Ginger. Aku terbelalak menatap mereka yang masih terfokus padaku. “Kenapa kalian jadi serius seperti itu?” “Okay, Sugar. Yang lain menyebutkan arah selatan dan utara. Lalu, kenapa kau mengusulkan arah matahari terbenam, bukannya barat atau timur? Apa alasanmu?” Astaga … kenapa sekarang semua jadi terlihat rumit. “Okay, dengar! Menurutku, arah matahari terbenam adalah tempat untuk pulang. Tahu kenapa begitu? Karena ke arah sanalah matahari selalu kembali. Dan tahu kenapa aku memberi ide arah matahari terbenam untuk perjalanan kita? Karena kita sama seperti matahari itu,” tunjukku pada mentari di ufuk timur. “Apa kau tidak memperhatikan, Ginger? Dari awal perjalanan—sejak pertama kita bertemu—aku dan kau selalu berjalan membelakangi arah matahari terbit, begitu juga ketika Salt bergabung. Tidakkah kau memperhatikan itu?” Ginger terlihat seperti berpikir. “Jadi, dugaanku, itu bisa jadi sebuah pola….” “Dia benar,” celetuk Clove. “Aku baru sadar kita juga begitu, Pepper,” katanya berpaling pada Pepper dan Chili. Ekspresi mereka terlihat seperti baru menyadari sesuatu. “Okay, kita lihat. Ada apa di arah matahari terbenam…” putus Ginger akhirnya. Sebagai penutup percakapan, kami mengisi perut dengan ikan yang dibakar Ginger, melahapnya sampai tak tersisa. Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN