Bab 5

891 Kata
Kami bertiga—berempat dengan Cinnamon—bermalam di tempat ini, memutuskan untuk melanjutkan perjalanan esok pagi. Aku menyingkir ingin menenangkan diri, kejadian sore tadi cukup membuatku enggan berdekatan dengan Ginger. Di sinilah sekarang aku berada, duduk di sebuah batu besar di tepi sungai, menatap kabut tipis di langit malam. Cahaya keperakan bulan yang bersinar penuh membuat malam di Mate Sphere terlihat lebih terang. Ada fakta baru yang kuketahui dari tempat ini, bulan di sini selalu bulat sempurna. Tidak ada bulan sabit, tak ada bulan separuh … selalu sempurna. “Hanya itulah satu-satunya yang masih sempurna di Mate Sphere.” Aku menoleh, melihat Ginger berdiri tegap menatap bulan yang menggantung. Dari tatapannya, aku mengerti bahwa bulan itulah yang dimaksud dalam ucapannya. “Sinar mentari perlahan mulai meredup—tidak seterang dulu. Bubuk cahaya mulai menghilang dari sebagian hewan di Mate Sphere, dan mereka menjadi binatang liar biasa karenanya.” Alisku terpaut. “Bubuk cahaya?” Ginger menunduk ke arahku, dari cahaya yang remang-remang, aku melihat sorot matanya yang tajam. “Ya. Awalnya seluruh hewan di sini dilindungi bubuk cahaya, mereka bersikap dan berpikir seperti manusia.” Negeri apa ini sebenarnya? “Ginger, pernahkah kau mendengar suara nyanyian yang….” Tidak tahu cara menggambarkannya aku terdiam. “Mistis?” “Ya. Mistis, seolah membuat kita berada di ruang hampa udara, merasakan kosong dan damai begitu saja.” “Kau mendengarnya?” “Aku mendengarnya beberapa ka—” “Dengar! Jangan pernah menceritakan pada siapa pun kau mendengar nyanyian itu. Untuk kebaikanmu.” Aku mengernyit, bersiap membuka mulut. “Kalau aku jadi kau, aku tidak akan menanyakan soal nyanyian itu lagi.” Kembali bibirku terkatup. Kami terdiam beberapa saat. Ginger masih berdiri, kali ini menatap permukaan sungai yang beriak, memantulkan cahaya keperakan dari rembulan yang terlihat semakin besar. Bayangan-bayangan pohon di pinggir sungai, memanjang, membentuk sulur-sulur hitam di permukaan air yang berkilau. Beautiful places…. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. “Ginger, apa rambutmu dari awal berwarna hitam?” tanyaku meraba rambutku sendiri tanpa sadar. Alis tebal pria itu terpaut. “Tentu.” “Lalu, kenapa rambutku berubah jadi kuning begitu berada di tempat ini?” Ginger mejatuhkan pandangannya pada rambut kuning menyalaku, mengangkat alis dan menyunggingkan senyum geli sebentar. Hanya sebentar. Tapi, aku masih sempat menangkapnya. Pria itu menertawakanku! “Aku pikir itu rambut aslimu,” kata Ginger. “Bukan. Rambutku hitam.” “Memangnya kenapa kalau kuning?” “Tidak apa, hanya kurang suka setiap melihat pantulannya di air,” gumamku enggan. “Biarkan saja, rambut kuning menyala itu cocok dengan kulitmu yang pucat,” kata Ginger sebelum berlalu. Aku masih sempat mendengar nada geli pada ucapannya. Haa, dia meledekku! “Tidurlah, Sugar. Besok kita melakukan perjalanan yang melelahkan.” Suara samar Ginger mengingatkanku bersamaan dengan sosoknya yang menjauh. Aku berdiri, melangkah menghampiri Salt yang sudah terlelap. Berbaring meringkuk menghadap wanita itu. Salt, sekarang teman seperjalananku bertambah satu.   ****   Kami berjalan hampir setengah hari lamanya, dan aku sedikit kesal karena tidak tahu apa yang dicari. Sepertinya, kami hanya melangkah dan melangkah terus. Saat ini kami sedang mendaki bukit dengan bebatuan yang terjal. Aku iri dengan Salt yang bisa bergerak cepat, langkahnya sigap seolah kakinya memiliki mata. Dia berjalan dengan jarak sepuluh langkah di depanku. Aku juga iri pada Cinnamon yang mempunyai sayap, bisa terbang berputar-putar tanpa susah payah menyeimbangkan tubuh di atas bebatuan yang licin. Ginger sangat dekat di belakangku, dengan sabar tetap membiarkan aku berada di depannya. Sampai di puncak bukit, aku baru tahu yang kami cari. Dua pria dan satu gadis dengan sorot mata ramah menunggu kami di bawah sebuah pohon besar dengan daun yang rindang—mengingatkanku akan beringin tua yang tumbuh di pinggir jalan dekat kantor. Salah satu pria memiliki rambut berwarna merah dengan posisi tegak lurus menghadap ke atas. Kulitnya putih, iris mata berwarna biru dengan tatapan mata yang menyelidik, seolah ingin mengetahui sampai hal terdalam si lawan bicara. Memperkenalkan dirinya sebagai Chili. Cocok sekali dengan warna rambutnya. Pria yang lain terlihat lebih ramah, berambut hitam keriting dengan kulit yang legam. Mengenakan kacamata minus yang membuatnya terlihat lebih dewasa. Dia membawa ransel besar di punggungnya, terlihat lebih besar dari tubuhnya sendiri. Namanya Clove. Sedangkan gadis berambut pirang dan lincah itu bernama Pepper. Aku langsung suka begitu melihatnya, ekspresi wajah yang selalu ceria, dan gampang tertawa. Pepper terlihat paling muda di antara kami. Kulit wajahnya jauh lebih pucat dariku, dengan bintik-bintik pink di pipi dan ujung hidungnya, mengingatkan aku akan tokoh kartun Candy-Candy. Sekarang kami berenam—bertujuh dengan Cinnamon. Bersiap menjalankan misi. Anehnya aku tidak tahu misi apa itu. “Jadi namamu Sugar?” tanya Pepper mendekat padaku. Sebenarnya Mia. “Ya, kau boleh memanggilku seperti itu.” Pepper mengerjap. “Apa kau memiliki nama lain? Sebelum memakai nama Sugar?” Aku terbelalak, bersiap membuka mulut. Namun, Pepper meletakkan telunjuknya di bibirku. “Jika iya, tetap diam. Jangan sebutkan nama lainmu pada siapa pun, percaya padaku.” Aku mengernyit. Ucapan Pepper mengingatkanku akan peringatan Ginger tentang nyanyian yang kudengar. Alam ini semakin penuh misteri. “Aku senang akhirnya bertemu denganmu dan yang lainnya, Sugar. Melakukan perjalanan hanya bersama si bahan peledak dan pemicunya sungguh membuatku lelah,” desahnya bergaya seperti orang yang memiliki beban berat, namun sorot matanya membuatku tahu dia hanya bergurau. “Siapa yang kau maksud dengan ‘bahan peledak’, Pepper?” Chili, si rambut merah duduk di sebelah Pepper dengan sorot mata tajam menatap gadis itu. Pepper menampilkan cengiran lebar. “Kau,” katanya, “dan dia pemicunya.” Pepper menunjuk Clove dengan dagu. “Kalian kalau terlalu lama bersama pasti akan meledak, benar bukan?” kekeh Pepper lagi. Dan dia mendapat jitakan keras dari Chili. Aku tersenyum geli, terhibur dengan tingkah mereka. Sudut mataku menangkap Ginger sedang berbicara dengan Salt, terlihat serius. Apa yang mereka bicarakan? Aku melihat Salt mencekal lengan Ginger, dan mereka saling menatap. Mereka tidak terlihat seperti baru saling mengenal. Memicingkan mata, keningku berkerut, sepertinya mereka membicarakan sesuatu yang penting. Tiba-tiba Ginger menoleh padaku, aku segera memalingkan wajah, menghindari tatapan pria itu. Lalu, aku melihat Ginger dan Salt menghilang di balik pepohonan.   Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN