Pertanyaan Rasyid bagai sebilah pisau tajam yang menghunus d**a Kirana. Luka tak berdarah yang diberikan pria itu nyaris melumpuhkan Kirana. Tubuhnya mendadak kehilangan tenaga dan rasa sakit yang berembus membentuk kabut bening di mata bulat wanita itu.
“M-maksud Bapak apa?” Kirana bertanya dengan gugup dan suara bergetar.
Rasyid berjalan ke sebuah meja dan berdiri di baliknya, tetapi tatapan tajam dan mencelanya masih berfokus pada Kirana. “Aku tahu apa yang dilakukan anakku kepadamu. Meskipun begitu, aku tidak akan menyalahkan anakku. Banyak gadis yang berlomba-lomba ingin menjadi kekasihnya. Mereka melakukan berbagai macam cara agar bisa menjadi pacar Arsenio, termasuk kamu juga.”
Kirana menggeleng. Seketika hinaan Rasyid mengunci mulutnya. Hanya bulir-bulir air mata yang kemudian bisa mewakili luapan perasaannya.
“Berapa uang yang kamu mau agar berhenti mengejar Arsenio?” Rasyid memberikan penawaran lagi.
“Saya tidak mau uang Bapak.” Akhirnya Kirana berani bersuara.
Rasyid tertawa mencemooh. “Aku tidak yakin gadis yang bahkan tidak punya tempat tinggal permanen bisa menolak tawaranku? Sebutkan saja nominalnya dan kamu bisa pulang dengan senyuman.”
“Harga diri saya tidak untuk diperjual-belikan. Asal Bapak tahu, saya memang miskin dan hanya tinggal di rumah kontrakan, tapi saya tidak gila uang.” Kirana terisak-isak.
Rasyid mengembus napas. Dia kemudian membuka laci meja di depannya, lalu mengambil dua gepok uang dengan nominal seratus ribuan dan melemparkannya pada Kirana. “Ambillah. Aku pikir itu cukup sepadan dengan apa yang sudah Arsenio lakukan kepadamu.”
Sekali lagi hinaan Rasyid menghujam dadanya. Kirana hanya memandangi gepokan uang yang jatuh tepat di ujung sepatunya.
“Ambil saja. Kamu tidak perlu malu. Kamu butuh itu,” cela Rasyid dengan bangga.
Setelah memikirkan masak-masak, Kirana akhirnya berjongkok. Dia memunguti gepokan uang itu lalu berdiri kembali. Tanpa berkata-kata, Kirana melemparkan kembali uang itu kepada Rasyid.
“Simpan saja lagi uangnya sama Bapak. Permisi,” tutur Kirana dengan nada tegas meskipun suaranya terdengar bergetar.
Membawa serta sakit hati yang tersemat, Kirana bergegas keluar dari dari ruangan itu. Dia kemudian berlari menuruni anak tangga. Nistaan yang baru saja dia dapatkan membuat Kirana tak lagi memikirkan etika dan sopan satun. Kirana hanya ingin segera keluar dari rumah terkutuk itu. Dengan air mata berlinang dan rasa sakit hati yang begitu dalam, Kirana terus berlari sampai dia menabrak seseorang persis di depan carport.
“Aduh!” tubuh Kirana nyaris jatuh. Untungnya, dia tertahan oleh pegangan tangan kuat seseorang yang bertabrakan dengannya.
“Rana? Kamu kenapa?” Suara familier yang memenuhi telinga Kirana membuat Kirana tak ingin melihat si pemilik suara. Tanpa melihat pun Kirana tahu itu suara Gala.
Kirana hanya menyeka air mata dengan punggung tangan, lalu berlari lagi menuju gerbang. Namun, langkah Kirana terhenti di tengah jalan. Tangan kuat Gala berhasil menahannya. Dia mencekal lengan Kirana dan membuat Kirana berhadapan dengannya.
“Rana, ada apa?!”
Kirana menunduk. Dia berusaha keras menahan air matanya agar tidak mengalir, tapi dengan sendirinya cucuran air mata itu terus membasahi pipi.
“Ada apa, Na?” tanya Gala sekali lagi.
Kirana mengangkat wajahnya dan menatap Gala. Dia merasa tidak harus menceritakan apa pun pada pria itu. Gala sudah menjadi bagian dari keluarga Fajrial dengan menjadi kekasih Lula. Kirana kemudian menggeleng.
“Gala, biarkan saja dia pergi.” Lula tiba-tiba datang dan mencegah Gala untuk bertanya pada Kirana lebih banyak.
“Tapi, Kirana—“
“Biarkan dia pergi dan aku akan menceritakan kenapa dia seperti itu.” Lula kemudian menatap penuh cela pada Kirana. “Pergilah,” usirnya kemudian.
Dada Kirana seperti baru saja diledakkan. Entah apa yang dirasakannya kali ini setelah mendengar pengusiran dan melihat tatapan mencemooh Lula. Satu yang pasti, Kirana merasa menjadi orang paling hina yang pernah hidup di muka bumi. Kirana berbalik lalu pergi dari hadapan mereka.
Keinginan terbesar Gala adalah menahan Kirana dan menanyakan langsung pada wanita itu apa yang sebenarnya sudah terjadi. Namun, Kirana pasti akan bungkam. Jelas-jelas Kirana sudah tidak mau lagi berbicara dengannya. Minimalnya, dia harus tahu cerita Kirana versi Lula sebelum mencari tahu cerita versi Kirana.
“Kita masuk,” ajak Lula sambil mengaitkan tangannya ke tangan Gala. Mereka berdua pun berjalan memasuki rumah besar milik keluarga Fajrial.
“Kita bicara di sini saja.” Gala menghentikan langkahnya di ruang utama. “Apa yang terjadi pada Kirana tadi?”
Lula mendesah kesal. Wanita itu menyipitkan mata ketika menatap Gala. “Kenapa kamu tertarik sekali dengan Kirana? Apakah dia juga berusaha menggodamu?”
Gala mengeraskan rahang tegasnya. Sorot kesal terpancar dari matanya ketika dia melayangkan kejengkelannya pada Lula. Bukan kecurigaan Lula kepadanya yang tidak bisa dia terima, melainkan tuduhan Lula pada Kirana yang seolah-olah mengatakan kalau Kirana adalah w*************a. Setidaknya, dulu Gala tahu seperti apa Kirana. Hal itu yang menjadi pertimbangan kejengkelannya.
“Apa tidak ada pertanyaan lain?” Pertanyaan bernada sinis akhirnya menjadi jawaban Gala.
Lula terdiam kaku. Dia tidak menduga reaksi Gala akan seserius itu. Sebelumnya, Gala tidak pernah peduli pada orang yang tidak dikenalnya. Aneh, pikir Lula.
“Kalau tidak ada cerita, aku akan pergi.” Gala tidak bisa menunggu lebih lama. Dia harus segera mengetahui apa yang terjadi. Dia memutuskan untuk pergi. Namun, langkahnya dihentikan oleh permohonan Lula.
Lula berlari mendekat dan berdiri di depan Gala menghalangi langkah pria itu melewati pintu. “Gala, tunggu! Jangan pergi!”
Gala mengembus napas. Gerakan di rahangnya tidak bisa menyembunyikan rasa kesal yang tengah dirasakan. “Kalau kamu tidak mau menceritakan—“
“Kirana melakukan hal paling bodoh agar bisa menjadi bagian dari keluarga Fajrial,” potong Lula, “dia menjerat Arsen dengan seks dan sekarang dia ngotot pengen ketemu Arsen. Mungkin pengen dinikahi Arsen. Padahal, dia sudah mendapatkan uang yang banyak dari kami. Dia minta dua ratus juta untuk meninggalkan Arsen. Namun, dia culas. Setelah uangnya habis, dia kembali lagi minta tambahan,” lanjut Lula berbohong.
Gala terhenyak. Separah itukah moral Kirana? Pikir Gala. “Itu saja?” tanya Gala dengan nada datar.
Lula mengangguk mengiakan.
“Kalau begitu, aku permisi.” Gala menyingkirkan tangan Lula dari tangannya. Pria itu kemudian melangkah pergi.
“Gala, kamu mau ke mana?” tanya Lula sambil berusaha menahan Gala. “Gala, cewek itu nggak penting buat Arsen, apalagi buat kamu.”
“Kirana penting buat aku,” tandas Gala.
Lula tercengang. Dia tidak menduga Gala akan melontarkan pembelaannya pada Kirana. Seharusnya dia tahu keberadaan Kirana di apartemen Gala saat itu bukanlah suatu kebetulan karena sedang mengantarkan pesanan Gala. Asumsi tentang perselingkuhan Gala dan Kirana pun dengan mudah tercipta di benaknya. “Gala, kamu tidak mengkhianati aku, ‘kan? Kamu nggak tidur sama dia, ‘kan?”
“Aku tidur dengan siapa, bukan urusanmu. Kamu bukan istriku. Permisi.” Gala yang terlanjur jengkel memilih meninggalkan Lula tanpa kata dan penjelasan. Tuduhan Lula kepadanya dan juga Kirana cukup membuat telinganya panas. Namun, tidak ada gunanya menanggapi.
“Gala, kamu nggak bisa ninggalin aku. Kirana itu perempuan murahan. Aku maafin kamu asalkan kamu tidak pergi mencarinya!” Permintaan Lula yang setengah berteriak tak menghentikan langkah Gala. Mobil yang dikendarai Gala pun menjauh dari pandangannya sampai menghilang di balik gerbang besi tinggi yang membatasi rumahnya.
Sementara itu Kirana masih terus berjalan menyusuri trotoar. Air matanya masih sulit dibendung sampai dia berhenti di pinggir trotoar. Dia bersandar di batang pohon sambil menekan d**a dengan satu tangan dan sesekali menyeka air mata. Tanpa Kirana sadari, seorang wanita paruh baya bergamis kuning yang kebetulan sedang berjalan melintasi trotoar menghampirinya.
“Kamu kenapa, Dek? Kamu sakit?” tanya wanita itu.
“T-tidak apa-apa, Bu. Hanya kelilipan,” jawab Kirana gugup.
Wanita itu memperhatikan Kirana selama beberapa saat. Dia sepertinya tidak yakin kalau Kirana hanya kelilipan. Gerakan pundak Kirana yang naik-turun dengan cepat menandakan dia sedang menangis dan bukan kelilipan.
“Kamu yang sabar ya. Perjalanan hidup kadang tidak seperti yang kita harapkan.” Wanita itu memegang dan mengusap lembut lembut lengan Kirana.
Kirana terpangah selama sesaat. Dari mana wanita itu tahu kalau dia sedang berbohong? tanyanya dalam hati. Kirana menunduk. Secara tidak langsung dia mengakui kalau pendapat wanita itu benar.
“Iya, Bu,” ucap Kirana pelan.
“Ini.” Wanita itu memberikan sepucuk sapu tangan pada Kirana.
Kirana mengangkat wajah dan memandangi wanita itu sebelum menerima saputangan putihnya. Wajah yang teduh seteduh ucapan dan perbuatannya, pikir Kirana.
“Terima kasih, Bu,” ucap Kirana.
“Sama-sama. Rumah kamu di mana? Mau saya antar pulang?” tanya wanita itu.
“Rumah saya dekat dari sini. Terima kasih tawarannya, Bu, tapi tidak perlu.”
Decit suara rem mobil mengejutkan Kirana. Pandangan Kirana tertuju pada SUV hitam yang tiba-tiba berhenti di tepi jalan. Denyut jantungnya mendadak mengencang dan membuat tubuhnya kaku meskipun dia tidak tahu siapa yang akan keluar dari mobil tersebut. Sesaat setelah si pemilik mobil keluar, Kirana justru merasa terpatri di tempatnya berdiri.
Gala berjalan menghampirinya. Tubuh tingginya menjulang berdiri di depan Kirana dan wanita paruh baya itu. Tanpa basa-basi, Gala langsung meminta Kirana menuruti titahnya.
“Kita pulang, Na,” tutur Gala.
Kirana hanya bisa memandangi Gala. Air matanya kembali meluruh dan membasahi pipi.
“Maaf, Bapak ini—“
“Saya kakaknya,” aku Gala memotong pertanyaan wanita itu.
Wanita itu mengangguk mengerti. “Sebaiknya kamu pulang, Dek. Tidak baik tangisanmu dilihat banyak orang. Saya khawatir akan ada orang yang berniat tidak baik yang memanfaatkan kesempatan ini.”
Kirana diam dan tidak bisa berkata apa-apa. Percuma saja menjelaskan apa yang sedang terjadi pada orang asing. Pikirannya benar-benar sedang kalut dan dia tidak tahu harus berbuat apa.
“Kita pulang sekarang.” Tanpa menunggu persetujuan dari Kirana, Gala langsung menarik tangan Kirana dan mengajak wanita itu mengikuti langkahnya.
“Permisi, Bu,” ucap Kirana sambil menoleh pada wanita yang baru saja berusaha berbaik hati kepadanya.
Wanita itu tak bereaksi dan hanya memperhatikan langkah Kirana dan juga Gala hingga mereka masuk ke mobil Gala dan pergi begitu saja.