9. Meragukan

2014 Kata
“Kenapa kamu menangis?” tanya Gala di tengah perjalanan. Mulut Kirana seperti dikunci. Dia hanya diam sambil menahan tangis sambil terus menatap tangannya yang tergenggam di atas pangkuan. “Apa uang yang diberikan papanya Arsen kurang?” Pertanyaan Gala sontak menohok d**a Kirana. Air mata yang ditahannya sejak tadi akhirnya meleleh lagi. Kirana terisak-isak. “Kamu menolak tawaranku untuk bekerja di perusahaan dan menjadi istriku, tapi kamu malah menjerat Arsenio dengan ....” Gala tidak meneruskan ucapannya. Pancaran matanya yang sarat akan kecewa, dia arahkan lurus ke depan. Duduk di sampingnya, isak tangis Kirana semakin jelas terdengar. Perasaan iba sedikitnya sudah terlibas oleh kecewa yang merengkuh. “Kalau kamu kesulitan uang, aku bisa bantu kamu, Na. Kamu tidak perlu menjadi murahan seperti itu,” lanjut Gala. “Ini bukan soal uang, Mas.” Suara bergetar Kirana memenuhi kabin mobil. Wanita itu tidak tahan lagi dengan semua prasangka Gala. “Kalau bukan soal uang, lantas soal apa?” “Ini soal harga diriku. Kehormatanku.” “Kalau soal harga diri dan kehormatan, kamu seharusnya tidak mengajukan dan meminta nominal untuk meninggalkan Arsen,” sambar Gala. Kirana menelan ludah. Selama beberapa saat dia mencoba mencerna apa yang diucapkan Gala. Dia merasa ada kesalahpahaman di kepala pria itu hingga akhirnya menggelontorkan kalimat-kalimat yang menyakitkan. “Maksud Mas Gala apa? Nominal apa? Aku tidak pernah meminta semua itu.” Kirana menjelaskan sambil menangis. “Kamu jangan mengelak, Kirana. Sudahlah, jangan bermimpi bisa menikah dengan Arsenio dan menjadi bagian keluarga Fajrial. Kamu tidak selevel dengan mereka.” Dada Kirana terasa seperti baru saja tertimpa crane. Sesak sekaligus sakit luar biasa. Dia tahu ending hubungan dengan Arsenio tidak akan pernah mencapai titik bahagia. Namun, dia tidak menyangka Arsenio bisa melakukan hal keji kepada dirinya. Dia seharusnya tidak pernah membiarkan dirinya dekat dengan anak orang kaya itu, tapi semuanya sudah terlanjur terjadi. Arsenio memilih mengabaikan janjinya dan pergi. “Aku tahu diri, Mas. Aku tidak pernah berharap menjadi bagian dari keluarga itu. Asal Mas tahu saja, cerita apa pun yang Mas sudah dengar dari orang lain, itu tidak benar,” ucap Kirana. “Jadi, cerita seperti apa yang benar?” Kirana diam menghimpun kekuatan. Dia tidak ingin menceritakan apa pun pada Gala, tetapi kenyataannya Gala justru menuduhnya telah menjerat Arsenio. “Arsen memperkosaku, Mas.” Air mata Kirana jatuh lagi untuk kesekian kalinya. Kirana menangkup wajah dengan kedua tangannya dan melepaskan sedihnya di sana. Gala mendesah kesal. Meskipun pandangannya tetap terarah ke depan dan terlihat tenang, tetapi dadanya bergemuruh marah. Dia tidak mempercayai cerita Lula, pun dengan pengakuan Kirana. Gala merasa Kirana sedang menyembunyikan sesuatu darinya. “Kalau kamu punya dendam padaku dan ingin membalasku karena sudah mengambil alih perusahaan yang kamu pikir milik papamu, kamu bisa melakukannya dengan prestasi. Buktikan bahwa kamu bisa mengalahkanku dengan prestasimu itu. Jangan berusaha mencari solusi cepat tapi sesat.” Sindiran bernada sarkasme yang dilayangkan Gala membuat Kirana meradang. Kirana menurunkan kedua tangan dari wajahnya. Bibirnya bergetar sementara matanya masih diliputi kabut bening. Cercaan dan cibiran yang menghantamnya cukup keras mendengungkan kesedihan yang mendalam. Dia tidak sanggup lagi menahan semua tuduhan Gala seandainya dia tetap bertahan di sana. “Berhenti di sini saja,” pinta Kirana. Gala tidak memedulikan permohonan Kirana. Dia terus melajukan mobilnya dengan kencang, bahkan berbelok ke arah pintu masuk tol dalam kota. “Mas, berhenti di sini saja.” “Mau apa kamu turun di sini? Mau menjajakan diri?” singgung Gala pedas. “Ya, Allah. Mas tega bicara seperti itu kepadaku. Aku bukan—“ “Cuma perempuan bego yang mau menjual harga diri demi bisa mencapai tujuannya. Ingat, Rana, tidak semua orang bisa kamu bego-bego-in!” “Arsen memperkosaku, Mas. Itu kenyataannya! Demi Allah, aku tidak bohong.” Kirana beringsut memosisikan duduknya sedikit menyerong ke arah Gala. “Bekas luka ini buktinya!” lanjut Kirana sambil menunjuk bekas luka di dahinya. “Aku tidak pernah meminta apa pun pada keluarga Arsen. Aku dan Arsen bahkan tidak pernah bertemu lagi setelah peristiwa itu. Aku tahu tidak akan ada yang memercayai ceritaku. Aku tahu ....” Kirana menangis tersengguk-sengguk. Gala menyalakan lampu hazard lalu membelokkan mobilnya ke bahu jalan dan berhenti di sana. Selama beberapa saat dia berusaha mengatur napas yang mulai memburu. Tiba-tiba Gala memukulkan kepalan tangannya ke kaca jendela dan nyaris meretakkannya. “Anj*ng!!! b******k!!!” sumpah serapah terlontar dari mulut Gala. Pria itu kemudian menoleh ke samping ke arah Kirana yang masih menangis dan syok melihat reaksi spontan Gala. Namun, keraguan masih berkilat di matanya. “Aku harap kamu bicara jujur, Na.” Kirana menekan d**a dengan tangan. Semua orang tidak memercayainya, bahkan Gala. Dia memandangi wajah pria itu selama beberapa saat dengan air mata berderai. Ketakutan yang besar tiba-tiba menyelimuti dirinya. Ada banyak korban kekerasan seksual yang tidak mendapat keadilan. Di antara mereka pun ada yang tidak berani speak-up karena terkadang justru mereka yang disalahkan karena dianggap sebagai pemicu kekerasan seksual itu sendiri. Arsenio adalah kekasihnya. Semua orang tahu itu. Mungkin pendapat Gala sama dengan pendapat papanya Arsenio, pikir Kirana. Kirana memilih turun dari mobil Gala di sana dan pulang dengan bus. Semua nista dan cerca yang didapatnya sore itu adalah semburan penderitaan baru. Meskipun lelah dan sedih, tetapi Kirana tidak berani menunjukkan semua itu kepada Rosi. Wanita itu tetap bersikap biasa saja. *** Besok harinya Kirana tetap berangkat kuliah seperti biasa. Dia menyimpan semua rasa yang berkecamuk di hatinya dengan rapi sendirian dan tetap menutup mulutnya rapat-rapat. Kirana tidak banyak bicara selama di kampus. Kabut derita masih membayanginya, apalagi ketika tanpa sengaja dia melirik ke bangku yang biasanya diduduki Arsenio. Rasa sakit itu kembali menusuk-nusuk hatinya. Tepukan di bahu Kirana mengejutkan dan mengembalikannya ke kenyataan. “Elo sudah denger belum, Na?” Kirana mengangkat wajahnya dan menatap Santi yang masih berdiri di sampingnya. “Tahu apa, San?” “Gue denger dari Mbak Admin, si Arsen katanya pindah kuliah ke Amrik,” tutur Santi sambil memutar kursi di depan Kirana, lalu duduk di sana. Kirana menelan ludah. Namun, semua kepedihannya tak bisa ikut tertelan. Rasa itu kembali membayangi dan berseliweran di benaknya. Dia meninggalkanku. “Na, elo kok malah bengong gitu sih?” Santi menjetikkan jari di depan wajah Kirana mencoba mengaburkan pandangan kosong wanita itu. “Oh, baguslah dia pergi,” ucapan itu lolos begitu saja dari mulut Kirana. “Elo seneng dia pergi?” “San, gue nggak mau ngomongin dia lagi. Gue sama dia itu sudah end. Tolong ngerti-in gue dong,” pinta Kirana. Santi mengembus napas. “Ya, udah. Sorry. Tapi, elo sama dia nggak ada masalah sebelum putus, ‘kan?” Kirana menggeleng. Semampunya dia menyembunyikan hasrat ingin menangisnya dari Santi dengan berdiam diri. “Na, kalau elo ada masalah sama dia, even dia sudah go international, elo bisa cerita ke gue. Gue pasti dengerin elo,” imbuh Santi yang melihat gelagat tidak baik-baik saja di wajah Kirana. Kirana hanya menunduk. “Nggak ada, San.” “Oke.” Santi mengangguk-angguk. Dia berusaha memahami suasana hati sahabatnya itu. Tiba-tiba ponsel Kirana berdering. Kirana mengambil ponsel dari dalam tasnya dan melihat nomer tak dikenal di layar ponselnya. Tanpa ragu, Kirana mengangkat panggilan telepon tersebut. Tidak berapa lama, Kirana bangkit dari duduknya lalu keluar dari kelas. Setelah berbicara selama beberapa menit, Kirana kembali lagi ke kelas dengan wajah bersemu merah dan tegang. “Ada apa, Na?” “Mama.” Kirana hampir menangis saat mengatakannya. “San, gue pinjem motor lo boleh nggak?” Dahi Santi mengernyit dan matanya menyipit menatap Kirana. “Boleh. Eh, Tante Rosi kenapa?” “Perlu ke rumah sakit sekarang.” Santi memberikan kunci motornya pada Kirana. “Gue ikut ya.” “Jangan. Gue cuma mau ketemu dokternya Mama. Sekarang dia menunggu.” “Hati-hati ya. Kalau ada apa-apa, jangan lupa hubungi gue.” “Oke. Thanks, San.” Kirana bergegas pulang ke rumah kontrakannya. Di sepanjang jalan dia berdoa untuk keselamatan mamanya. Semoga apa yang dia pikirkan tidak nyata. Semoga panggilan tadi hanya salah sambung semata. Semoga dan semoga terus menjadi bagian dari harapan terbesarnya untuk sang mama. Tiba di rumah kontrakannya sekitar lima belas menit kemudian, Kirana segera mencari Rosi. Namun, Kirana tak menemukannya. Dia pun menanyakan keberadaan mamanya pada Siti. “Mama kamu tadi dibawa sama teman kamu yang pake mobil hitam, Na,” jelas Siti. “Teman Rana yang waktu itu mengantar Mama ke rumah sakit bukan, Mpok?” “Wah, Mpok kurang jelas melihat mukanya, tapi mobilnya sih warna hitam.” Mas Gala. “Terima kasih, Mpok.” Kirana langsung meluncur ke Automotive Major Group. Dia tahu untuk bertemu dengan CEO dari sebuah perusahaan besar tidaklah mudah, tapi Kirana nekat. Melangkah menuju lobi gedung yang pernah menjadi gedung favoritnya, tanpa Kirana sadari telah mengorek luka lama. Dulu, saat dia masih kecil, papanya sering mengajaknya ke sana. Sekarang semuanya sudah berubah. Staf-staf kepercayaan papanya sudah tidak ada lagi dan tergantikan staf baru. Tampilan lobi dan sekelilingnya pun tampak lebih modern. “Pak Gala sedang ada meeting. Tidak bisa diganggu,” jelas si resepsionis. “Tolong beritahu dia, Kirana Pramadhana mencarinya. Bilang saja urusan Mama. Tolong, Bu. Izinkan saya bertemu dia.” Kirana terus memohon pada wanita berblazer biru itu. “Maaf, untuk saat ini Pak Gala tidak bisa diganggu. Mbak bisa kembali lagi ke sini sekitar jam 14.00.” “Ini penting, Bu.” “Jam 14.00, Mbak.” Si resepsionis menegaskan dengan mimik wajah kesal. Kirana akhirnya menyerah. Putus asa bergelung di kepala dan menghantar lemas di seluruh tubuh. Dia meninggalkan meja resepsionis dan melangkah dengan lemas keluar dari lobi. Tidak punya pilihan, Kirana akhirnya menunggu di pelataran parkir. Panas, lelah, dan lapar tidak menjadi penghalang untuknya supaya bisa menemui Gala. Kirana duduk di bangku kayu di bawah pohon Tanjung sambil menunggu. Dia tidak habis pikir untuk apa Gala membawa mamanya pergi. Apakah mamanya sudah memaafkan Gala? Setahu Kirana, mamanya pun sama seperti dirinya yang membenci Gala. Kirana menunduk menatap rumput-rumput liar yang tumbuh di sela-sela conblock yang menjadi alas pelataran parkir. Sejumput iri menyeruak di hati melihat ketangguhan rumput liar itu. Panas terik, hujan badai, dan roda-roda kendaraan yang melindasnya tidak membuatnya menyerah untuk tetap hidup. Hanya karena Arsenio meninggalkannya dengan segudang rasa sakit yang dia sematkan di hati dan masalahnya dengan Gala, Kirana hampir putus asa. Dia tidak mampu menjadi seperti rumput liar itu. Kirana memejam menahan rasa terbakar di matanya. “Na ....” Panggilan lirih Gala secara otomatis membuat wajah Kirana terangkat. Kirana bangkit dari duduknya. Dia menatap Gala dengan geram. “Di mana Mama? Mas bawa ke mana Mama?” Gala mengernyitkan dahi dan menatap Kirana heran. “Apa maksudmu? Kenapa kamu nanya mama kamu ke aku?” “Mas, jangan bohong. Mas suruh anak buah Mas menghubungi aku kan tadi pagi. Mas bawa ke mana Mama?” “Kirana, aku tidak mengerti apa yang kamu katakan,” tandas Gala, “Aku banyak urusan. Jika tidak ada yang penting, sebaiknya kamu pulang.” Gala memutar tubuhnya, tetapi Kirana memegang tangan pria itu dan menahannya untuk tidak pergi. “Mas, tolong jangan bohong sama aku. Katakan Mama di mana?” “Kamu sudah berurusan dengan orang yang salah, Rana. Seharusnya sejak awal kamu tidak mencoba mendekati anggota keluarga Fajrial, apalagi bermasalah dengan mereka,” tutur Gala dengan angkuh dan tanpa melihat wajah Kirana. “J-jadi Mas nggak percaya sama Rana?” Suara Kirana terdengar bergetar. Tidak bisa ditahan, air matanya lolos mewakili rasa kecewa yang mendera. Gala mengembus napas. Dia berbalik lagi berharhadapan dengan Kirana. Sengatan rasa iba yang terbalut sayang meronta seketika dalam jiwanya melihat wajah redup Kirana. Namun, keraguan yang membelit mengurungkan niatnya untuk bersikap lebih lembut pada Kirana. “Aku tidak tahu di mana mamamu. Pulanglah.” “Mas ....” Kirana menyeka air mata dengan punggung tangannya. Dering ponsel menginterupsi kegugupan Kirana. Dengan tangan gemetaran, dia mengambil ponsel dari dalam tasnya. Kirana tertegun sejenak melihat nomer yang sama yang menghubunginya tadi pagi. Dia kemudian menatap Gala sebelum menerima panggilan telepon tersebut. “Di mana mamaku?” tanya Kirana sambil menangis pada si penelepon. Selama mendengarkan si penelepon berbicara, air mata Kirana terus mengalir dengan deras. Dia kembali memandang Gala setelah menutup panggilan teleponnya. Tanpa permisi, Kirana pergi meninggalkan Gala.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN