7. Tak Berharap Banyak

1927 Kata
“Sen, elo ngomong apa? Gue dan Mas Gala—“ “Ada apa antara elo sama dia?” potong Arsenio lagi dengan nada geram dan tatapan berapi-api. Kirana menelan ludah dengan susah payah lalu menggeleng. “T-tidak ada apa-apa antara gue dan Mas Gala.” “Bohong!” Arsenio membentak Kirana dan membuat gadis itu gemetaran. Dia memegang, nyaris mencengkeram, kedua lengan Kirana. “Gue ... Sen, gue ....” Kirana memandangi Arsenio. Dia tahu Arsenio marah dan curiga. Namun, kemarahan Arsenio yang meledak-ledak tak cukup bisa membuatnya untuk berbicara. Kirana gemetaran. “Kalau elo butuh duit, kenapa lo nggak bilang sama gue? Gue bisa kasih lo—“ “Bukan itu, Sen,” potong Kirana, “gue—“ “Sialan lo, Na!” Tanpa tedeng aling-aling, Arsenio menarik tubuh Kirana, merapat dan tanpa jarak. Satu tangannya melingkari tubuh Kirana dan yang lainnya menyelusup ke tengkuknya. Arsenio mencium Kirana dengan kasar. “Sen!” Kirana memberi peringatan keras pada Arsenio setelah berhasil mendorong wajahnya melepaskan diri dari ciuman kekasihnya itu. Arsenio menyipitkan mata dan menatap mencela pada Kirana. “Ini yang elo lakukan sama Gala, ‘kan?” “Nggak, Sen. Gue sama Mas Gala nggak ada apa-apa. Gue berani sumpah, Sen.” Tidak puas dengan jawaban Kirana, Arsenio mendorong bahu Kirana dengan kasar sehingga punggung wanita itu membentur pintu. “Sen, demi Allah gue sama Mas Gala nggak ada apa-apa. Mas Gala itu udah kayak kakak gue sendiri.” Kali ini Kirana benar-benar ketakutan dengan reaksi Arsenio. Dia bahkan tidak bisa menutup mulutnya lantaran napasnya sesak dan hanya bisa melewati mulut. Dadanya naik-turun dengan cepat. “Kakak ketemu gede maksud lo?” “Nggak. Bukan begitu. Sen, dengerin gue dulu!” Arsenio tidak memberikan kesempatan Kirana untuk menjelaskan. Dia merapatkan tubuhnya ke tubuh Kirana dan berusaha untuk menciumnya lagi. Namun, Kirana meronta dan tidak mengizinkan Arsenio menyentuhnya lebih banyak lagi. Kirana berlari menjauh. Sayangnya, percobaan kabur Kirana hanya mempermudah Arsenio untuk meraih dan merengkuhnya kembali. Persis di depan sofa ruang tamu, di antara kebingungan Kirana akan berlari ke mana, Arsenio dengan cepat berhasil menangkap Kirana. Pria itu melingkarkan kedua tangannya di pinggang ramping Kirana dan berusaha mendominasi dengan menjatuhkan tubuh Kirana ke atas karpet Wilton yang melapisi bagian tengah ruangan itu. Kirana tak berdaya terbaring di bawah tubuh Arsenio. “Sen, elo gila. Lepasin gue, Sen!” pinta Kirana sambil meronta dan menangis. Arsenio mencekal kedua tangan Kirana, lalu “Gue nggak bakal lepasin elo. Ngerti lo!” “Gue sama Mas Gala nggak ada hubungan apa-apa, Sen,” jelas Kirana di tengah isak tangisnya. Arsenio yang sudah dibutakan oleh cemburu tak menghiraukan penjelasan Kirana. Apa pun yang terlontar dari mulut wanita itu tidak menjadikan bahan pertimbangan Arsenio untuk menghentikan aksi gilanya. Arsenio berusaha membuka celana jeans Kirana, tetapi Kirana terus berusaha mempertahankan agar dirinya tak terjamah Arsenio. Kirana berhasil menendang pangkal paha Arsenio hingga pria itu mengerang kesakitan. Sialnya, saat Kirana berhasil duduk dan hendak bangkit berdiri, Aresnio berhasil menangkap salah satu pergelangan kaki Kirana dan membuat wanita itu jatuh kembali. Nahas, kali ini dahi Kirana terantuk ujung meja. Benturan keras itu menyebabkan dahi Kirana luka robek dan membuat gadis itu nyaris tidak sadar lantaran rasa sakit sekaligus pusing yang mendera. Dalam keadaan setengah blackout, Kirana merasakan udara dingin berembus menerpa tubuhnya. Beberapa saat kemudian tubuhnya merasakan tertindih beban yang cukup berat. Sementara itu, Arsenio telah kehilangan kewarasannya. Kecemburuan telah membutakan mata hatinya untuk bertindak logis. Setelah melucuti pakaian Kirana, dia pun melucuti pakaiannya sendiri. Meskipun tidak setara dengan tubuh model yang aduhai, tapi penampakan polos Kirana berhasil membangunkan hasrat primitifnya. Masih di atas karpet di tengah ruang tamu, Arsenio membebaskan gairahnya yang sudah tidak terkendali. Erangan dan pekikkan Kirana yang menahan rasa sakit di area sensitifnya tak lantas menghentikan aksi Arsenio. Pria itu terus menyerang Kirana dengan nafsu berahinya. “Arsen, ah …." Kirana kembali mengerang berusaha menghentikan aksi Arsenio, tapi kekuatannya dan kesadarannya tak bisa membuat Arsenio menghentikan aktivitasnya. “Sen, please!” Tidak berhenti, Arsenio justru membungkam mulut Kirana dengan ciumannya. Tangannya pun bergerilya di seluruh tubuh wanita itu. Semakin Kirana berusaha memberontak, semakin terpacu gerakan Arsenio ke arah pelepasan hingga Kirana pingsan saking merasakan sakit. Beberapa jam kemudian Kirana siuman. Dia mendapatkan dirinya telah terbaring tanpa busana di atas tempat tidur. Rasa pusing masih bersarang di kepala, begitupun dengan rasa sakit di dahi dan pangkal pahanya. Namun, rasa sakit di hatinyalah yang lebih menyesakkan d**a. Berusaha keras untuk bangkit, Kirana hanya mampu menggerakkan tubuhnya sampai dia bersandar di punggung ranjang. Sambil menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut, dia menekan dengan tangan bagian pinggir luka di dahinya yang sudah diperban. Derai air mata jatuh tak terelakkan. Dia tidak menduga sisi lain diri Arsenio yang agresif dan cukup berbahaya. Dia pun tidak menyangka Arsenio yang baik bisa berubah dalam waktu singkat hanya karena terhasut pengetahuan sesatnya sendiri. “Na, maafin gue.” Permintaan maaf dari Arsenio yang terdengar oleh Kirana membuat wanita itu tersentak. Namun, Kirana masih menunduk dan menangis. Arsenio beranjak dari duduknya di tepi ranjang untuk lebih mendekat pada Kirana. Dia memeluk Kirana. “Gue mohon maafin gue, Na. Gue janji sama elo, gue bakal nikahin elo, Na.” Arsenio kembali menyatakan permintaan maafnya. Dekapannya semakin erat di tubuh Kirana. “Besok kita ketemu sama papa gue.” “Gue kecewa sama elo, Sen,” tutur Kirana dibarengi isak tangis. “Maafin gue, Na. Gue t***l dan bego. Elo boleh marah ke gue, Na. Semarah-marahnya. Asal lo tau aja. Gue cinta banget sama elo dan gue takut kehilangan elo.” Arsenio mengecup pipi Kirana. “b******k lo, Sen! b******k!” Kirana meluapkan kemarahannya dengan mendorong Arsenio, lalu menampar pria itu berkali-kali sampai dia lelah dan jatuh kembali di pelukan Arsenio. “Elo berhak marah sama gue. Maafin gue, Na," tutur Arsenio setengah berbisik. *** Peristiwa tadi malam masih menyisakan rasa sakit luar biasa di hati Kirana. Selain harus berbohong kepada mamanya mengenai asal muasal luka di dahinya, Kirana pun harus memendam sendirian perasaan sedihnya. Cucuran air mata terus mengalir di antara dua sujudnya subuh ini. Guyuran rasa kecewa kepada Arsenio masih membanjiri dirinya. Janji yang diucapkan Arsenio kepadanya tak dapat membuat dirinya menjadi lebih tenang, melainkan menjadi rasa takut yang besar. “Kamu kok menangis terus sih, Na?” Rosi yang curiga melihat putrinya terus menerus menangis sejak semalam, akhirnya memberanikan diri bertanya. Wanita baya yang sedang duduk di atas kasur itu beringsut mendekati Kirana. Dia memegang bahu Kirana yang masih terbalut mukena putih. Kirana mengerjap-ngerjap lalu menyapu air mata dengan jemarinya. Dia mencari alasan agar mamanya tidak khawatir. “Rana nggak apa-apa kok, Ma. Cuma ini rasanya makin senat senut aja,” tutur Kirana sambil berpura-pura meraba luka di dahinya.” “Makanya kalau kerja hati-hati. Jangan banyak melamun. Sampai kejedot kosen pintu begini, pasti kamu melamun.” Rosi menduga-duga. “Iya, Ma. Rana akan lebih hati-hati lagi.” Berusaha tersenyum di tengah rasa perih yang menusuk hati tidaklah mudah, tetapi bibir Kirana tetap mengembangkan senyuman. Pagi itu perasaan Kirana semuram matahari yang enggan menampakkan cahaya dan kehangatannya. Langit pun bersedih mengiringi langkah Kirana menuju ke kampus. Lingkaran hitam di sekeliling mata dan mata sembap membuat kuriositas Santi terbangun. Sambil menunggu dosen mata kuliah Penilaian Bisnis masuk, Santi iseng-iseng bertanya. “Jidat lo kenapa, Na?” tanya Santi. “kejedot pintu kamar mandi.” Kirana kembali berbohong. Dia masih belum bisa jujur pada Santi sementara waktu ini. “Elo nggak tidur semalem?” “Nggak bisa tidur, San. Udah deh jangan nanya terus. Tuh, Pak Abdi datang.” Kirana menunjuk ke arah pintu dengan dagunya. Benar saja. Beberapa detik kemudian seorang pria berkemeja putih dan berkacamata yang menenteng tas kerja hitam memasuki ruangan. Perasaan was-was mendadak tersemat di hati Kirana. Sampai detik itu, dia masih belum melihat Arsenio. Kekhawatiran mulai melambung dan membuatnya takut. Dan ketakutan itu semakin besar ketika sampai jam pulang Arsenio tak menampakkan batang hidungnya. Kesedihan merasuk ke dalam sanubari Kirana. Namun, hidup harus terus berjalan. Seperti biasa, Kirana tetap bekerja sampingan di restoran. Tiga hari tidak melihat Arsenio, akhirnya Kirana nekat untuk datang ke rumah pria itu. Sayangnya, satpam di rumah itu tidak mengizinkan Kirana masuk. Kirana hanya bisa pulang membawa kekecewaan. Seminggu kemudian Kirana berusaha mendatangi rumah Arsenio lagi dan jawabannya tetap sama. Kirana dilarang masuk. Si satpam berdalih seluruh keluarga anggota Fajrial tengah pergi ke luar negeri termasuk Arsenio. Kirana nyaris menyerah. “Na, si Arsen ke mana sih? Udah dua minggu lho dia ngilang,” tanya Santi di suatu kesempatan usai jam kuliah mereka. “Nggak tahu, San.” Kirana memilih menutup obrolan tentang Arsenio. Dia memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. “Elo kan ceweknya. Mas nggak tau sih, Na?” “Gue bukan babysitter-nya, San. Gue nggak tau. Sumpah.” Aku pun mencarinya. “Ngilang tuh anak. Apa sedang ada masalah ya, Na?” pertanyaan prihatin Santi sedikit menyentak Kirana. Kirana terdiam. Mengingat kejadian malam itu, Kirana ingin menjerit. Arsenio tega melakukannya dan sekarang dia menghilang entah ke mana. Kebekuan memerangkap Kirana selama beberapa waktu. “Na, kok elo diem aja sih?” Pertanyaan Santi membuyarkan lamunan Kirana. Kirana mengerjap. “Nggak apa-apa.” “Elo tahu sesuatu sesuatu tentang Arsen ya?” selidik Santi yang mulai curiga dengan diamnya Kirana. Kirana menggeleng pelan. “Nggak, San. Gue sendiri bingung tuh anak pergi ke mana.” “Elo langsung ke restoran kan pulang dari sini?” “Gue sudah minta izin off hari ini. Gue ada urusan di kontrakan.” Kirana terpaksa berbohong pada Santi, padahal sore itu Kirana punya urusan lain yang lebih mendesak. Santi kemudian bangkit dari duduknya. “Ok deh. Kalau gitu gue duluan ya.” “Iya. Hati-hati di jalan.” “Elo juga. Bye!” “Bye!” Dengan hati bergemuruh cemas, Kirana memberanikan diri pergi ke rumah keluarga Fajrial. Wanita itu berharap kali ini dia bisa bertemu Arsenio. Kirana tidak berharap banyak pria itu akan menepati janjinya. Sebesar apa pun dia berusaha agar Arsenio mau mempertanggungjawabkan perbuatannya, Kirana sadar dia bukanlah siapa-siapa. Siapa yang akan memercayai kalau dia telah mendapatkan s****l harassment dari Arsenio, sedangkan semua orang tahu kalau Arsenio itu adalah kekasihnya? “Kamu diminta masuk,” kata si satpam yang menerima kedatangan Kirana di istana megah keluarga Fajrial. “Baik. Terima kasih, Pak.” Kirana meninggalkan pos satpam dan berjalan menuju beranda. Di sana Kirana disambut oleh seorang ART dan dipersilakan masuk. Meskipun tidak ada keramahan dalam sambutan yang diberikan si ART, tetapi Kirana tetap senang karena akhirnya dia akan bertemu Arsenio dan bisa berbicara kepadanya mengenai hubungan mereka. Kirana mengikuti langkah si ART menaiki anak tangga hingga akhirnya tiba di depan sebuah pintu kayu berukir dan berwarna putih. Si ART kemudian mengetuk pintu dan seseorang di dalamnya mengizinkan dia untuk membuka pintu. “Silakan masuk. Bapak sudah menunggu,” kata si ART pada Kirana setelah membuka pintu. Bapak? Kirana mengernyitkan dahi. Meskipun pertanyaan besar seketika terbentuk di kepalanya, tetapi Kirana penasaran kenapa papanya Arsenio ingin bertemu dengannya. Kirana melangkah masuk. Jantungnya berdetak kencang dan suhu tubuhnya mendadak turun sampai ia merasa kedinginan. Rasyid Fajrial tengah berdiri di depan jendela besar bertirai renda transparan. Posisinya yang menatap ke luar jendela hanya memungkin Kirana untuk menatap punggung yang terbalut kemeja krem pria itu. Kiran berdiri dengan gugup sambil menggenggam tangannya sendiri di depan tubuhnya. Rasyid berbalik. Pria berambut dan berjanggut putih itu menatap Kirana dengan tatapan mencela. Dia memperhatikan Kirana dari atas ke bawah seperti sedang menilai. “Kamu yang bernama Kirana Pramadhana?” tanyanya dengan suara bass yang cukup mengintimidasi. Kirana mengangguk. “Berapa harga keperawananmu yang sudah direnggut oleh anak saya?” Apa? Kirana melebarkan mata. Pertanyaan macam apa itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN