6. Bukan Dewa Penyelamat

1631 Kata
Keterkejutan Kirana yang tertangkap Arsenio membuat pria muda itu turut penasaran. “Temen lo yang mana yang bawa Tante Rosi ke rumah sakit?” “Oh...!” Kirana menepuk dahinya sambil berpura-pura tetap bersikap tenang. “Itu. Mm, teman dari resto.” “Santi?” Nada selidik terselip dalam tanya Arsenio. Kirana menggeleng. “Bukan. Si Amir, kasir di resto.” Arsenio mengangguk-anggukkan kepala, tetapi kemudian dia kembali bertanya. “Elo bilang, Tante Rosi dibawa ke RS sama warga di sini.” “Ya, iya. Dibantu warga di sini juga. Lo pikir dia kuat mengangkat Mama sendirian? Udah, ah. Nanya melulu. Enggak penting tau.” Kirana berusaha menghentikan sesi interogasi Arsenio. “Sebentar Mpok ambil dulu ya kiriman sembako buat kamu.” Siti pergi ke rumahnya dan datang lagi bersama suaminya yang memanggul sekarung kecil beras, sementara itu tangannya memegang dua kantong plastik besar berisi bahan makanan dan lain-lain. “Mpok taruh di dalam ya?” “Iya, Mpok. Makasih ya, Mpok, Bang.” *** Hampir jam 21.00, dengan perasaan marah dan juga jengkel Kirana nekat menemui Gala. Bukan tanpa alasan Kirana ingin menemui pria itu. Kirana baru saja menemukan sesuatu dalam kantong plastik bantuan yang diberikan Gala dan hal itu cukup menyinggungnya. Dengan menumpang ojol, Kirana mendatangi apartemen Gala. Dikarenakan adanya jaminan keamanan yang tinggi di gedung Sun And Star, sebelum diizinkan naik ke unit apartemen milik Gala, Kirana terlebih dahulu diinterogasi oleh si satpam. Setelah mengonfirmasi kedatangan Kirana pada Gala, Kirana akhirnya diizinkan naik ke unit apartemen Gala. Gala memandangi Kirana selama beberapa detik sebelum memintanya masuk dengan intonasi yang rendah tapi tegas. “Masuk.” Gala berjalan menyusuri koridor pendek menuju ruang utama dan Kirana berjalan di belakangnya. “Kalau kamu mau berterima kasih, seharusnya kamu datang sore tadi. Gadis baik-baik tidak keluyuran malam-malam,” tutur Gala sebelum memutar tubuhnya berhadapan dengan Kirana. Ucapan Gala menyentak sisi tenang Kirana. Atmosfer di sekitarnya tiba-tiba terasa lebih panas dan menyesakkan d**a. Emosi yang terkumpul dalam diri Kirana kini terpancar dalam kilatan matanya yang sedang menatap Gala. Satu tangan Kirana kemudian masuk ke dalam tote bag yang menggantung di pundaknya untuk mengambil sesuatu. “Apa maksud Mas memberikan ini?” Kirana menunjukkan pada Gala amplop cokelat berisi beberapa gepok uang. “Dengar, Mas. Aku tidak akan berterima kasih pada Mas karena telah membantu biaya operasi Mama. Aku percaya kalau semua uang yang Mas keluarkan untuk kami berasal dari jerih payah papaku yang telah membesarkan perusahaan itu.” Gala tersenyum masam. Dia ingin sekali berteriak di telinga Kirana untuk mengatakan hal yang sebenarnya, tetapi yang dia bisa hanya diam terpaku. Menatap wajah Kirana yang tengah marah justru membuat sistem motoriknya berhenti mendadak. “Ini. Aku kembalikan,” lanjut Kirana berlagak sombong. Gala mengerjap lalu menarik napas panjang guna mengusir pikiran gilanya setiap kali menatap wajah wanita itu. Dan apa yang dilakukannya ternyata berhasil. Gala mampu menguasai dirinya kembali. “Pasca ablasi jantung, mamamu tidak diperbolehkan bekerja berat untuk sementara. Apa kamu mampu membiayai hidup kalian berdua? Jangan sombong, Kirana. Untuk makan saja, meskipun kalian berdua bekerja keras, kalian masih kekurangan.” Gala bersedekap sambil menatap Kirana. Giginya yang ditekan membuat rahang tegasnya semakin kentara. Wajah maskulin yang dibalut kulit seputih pualam itu tak berpaling dari Kirana. “Satu lagi yang perlu kamu tahu, papamu hanyalah seorang karyawan serakah yang ingin merebut perusahaan bosnya dan menguasai seluruh hartanya.” “Itu tidak benar,” tepis Kirana, “untuk apa Papa dan Mama merawat, membesarkan, dan menyekolahkan Mas kalau Papa berniat jahat pada Mas?” Gala tertawa pelan, tetapi sesaat kemudian wajahnya kembali menunjukkan arogansi. “Kirana, Kirana, kamu ini polos atau bego? Ya, jelas saja papamu harus merawat dan menyekolahkanku setelah kematian kedua orang tuaku. Karena kalau tidak, pengacara keluargaku akan menarik semua privilege yang orang tuamu dapatkan dari merawatku. Kamu seharusnya mencari tahu hal itu sebelum kamu ngotot dan merasa benar.” Kirana tidak bisa menyergah penjelasan Gala. Bagaimanapun, dia masih terlalu muda saat semua kericuhan terjadi antara keluarganya dan paman Gala yang mengambil kembali hak Gala. Mungkin saja cerita Gala benar, bisa juga tidak. “Terserah Mas mau bilang apa. Aku tidak peduli. Yang aku tahu, Papa, Mama, dan Mas Altair tulus menyayangi Mas.” Kirana meletakkan amplop uang di atas meja. “Aku permisi.” “Bagaimana denganmu?” Pertanyaan Gala menahan niat Kirana untuk segera hengkang. Kirana mengernyitkan dahi. Dia mengerti pertanyaan Gala, tetapi entah kenapa mulutnya malah melontarkan tanya. “Maksud Mas?” “Kamu bilang, mama dan papamu juga Altair tulus menyayangiku. Kamu sendiri bagaimana?” Kirana menelan ludah dengan susah payah. Sejak dulu, bahkan tanpa dia sadari, perasaan sayangnya kepada Gala sudah tumbuh subur. Tetapi untuk saat ini, setelah semua menjadi berantakan, entah perasaan apa yang ada di dalam diri Kirana. Marah, benci, dan juga sayang semuanya bercampur aduk tanpa definisi yang jelas. “Apa yang kamu rasakan kepadaku?” Gala menurunkan tangan ke samping tubuhnya, lalu melangkah mempersempit jaraknya pada Kirana. Selama beberapa saat Kirana tertegun. Dia ingin berlari menjauh, tetapi tubuhnya seperti terpatri ke lantai dan tatapannya secara otomatis hanya tertuju pada Gala. Hanya ketika Gala sudah berada sangat dekat dengannya, Kirana mampu beranjak. Sayangnya, Gala tidak membiarkan hal tersebut. Kedua tangan Gala berlabuh pada lengan atas Kirana sementara tatapannya terbenam pada tatapan gelap wanita itu. “Ambil uangnya dan gunakan dengan baik,” kata Gala, “anggap saja aku sedang membalas budi.” Ragu-ragu, tapi akhirnya Kirana menggeleng. “Aku dan Mama tidak akan pernah mau menerima apa pun lagi dari Mas.” “Oke, tidak masalah.” Gala melepaskan tangannya dari lengan Kirana dan melangkah mundur, menjauh dari Kirana. “Selamat menikmati hidupmu yang sempurna,” sindir Gala. Kirana merasakan dadanya seperti tertusuk duri tajam. Rasa sakit yang menyelekit hingga ke ulu hati mendorong air matanya menetes. Gala sangat tak berperasaan, pikirnya. “Aku mau istirahat. Selamat malam,” usir Gala. Kirana melangkah pergi dengan hati yang tercabik-cabik sarkasme Gala. Namun, Kirana lega sudah mengembalikan uang itu pada Gala. Apa pun alasan pria itu memberi bantuan kepadanya dan mamanya, hal tersebut bukanlah suatu keikhlasan. Baginya, Gala bukanlah dewa penyelamat. Besok harinya di kampus Kirana tidak melihat Arsenio. Posel Arsenio tidak aktif dan sampai jam pulang pun Kirana masih saja tak bisa menghubungi pria itu. Meskipun begitu, Kirana tak mau berburuk sangka. Dia menduga kalau Arsenio mungkin hanya ingin beristirahat lantaran beberapa hari kemarin Arsenio telah menemaninya di rumah sakit. Dia dan Santi pun langsung menuju restoran untuk lanjut bekerja. “Elo mau langsung pulang, Na?” tanya Santi sambil memasukkan perkakas makan restoran yang baru saja dicuci dan dilap ke rak penyimpanan. “Iya, San. Kasihan Mama di rumah sendirian. Mumpung masih ada bus juga kalau masih jam segini.” Kirana mengenakan cardigan berbahan wol cokelatnya lalu menyampirkan tas selempang ke pundak. “Arsen belum ngasih kabar?” Kirana menggeleng. “Masih lelah dan nggak mau diganggu kali, San. Biarin ajalah. Biar dia istirahat. Gue duluan ya.” “Iya. Titi DJ, yak!” “Siap.” Kirana tersenyum. Dia pun berpamitan kepada seluruh karyawan yang masih tinggal di restoran sebelum pulang. Seperti biasanya, Kirana menunggu bus di halte. Kirana melirik jam tangannya. Masih jam 20.30, tapi bus ke arah tempat tinggalnya masih belum kelihatan. Sebuah hatchback hitam berhenti persis di depan halte. Si pengemudi menurunkan kaca jendela depan dan pangilan untuk Kirana pun terlontar dari mulutnya. “Masuk, Na!” Kirana tersenyum senang. Akhirnya Arsenio muncul juga, pikirnya. Hanya saja, Kirana merasa heran kenapa Arsenio mengendarai mobil yang tidak biasa dia pakai. Ah, mobil milik keluarga Fajrial kan banyak. Bisa saja Arsenio bosan dan ingin berkendara dengan mobil lain, pikir Kirana lagi. Kirana masuk ke mobil Arsenio. Sambil mengenakan sabuk pengaman, Kirana memperhatikan wajah Arsenio yang tampak muram. “Elo kenapa, Sen? Elo nggak enak badan?” Arsenio menggeleng dan tatapannya hanya terfokus ke depan ke jalanan yang ramai kendaraan. Kirana pun tidak banyak bertanya lagi setelah pertanyaan tak dijawab Arsenio. Lagu kesunyian mulai diperdengarkan beberapa detik kemudian. Baik Kirana maupun Arsenio, keduanya, saling menahan diri untuk berbicara. Kumparan rasa cemas mulai bergulung dalam diri Kirana melihat ekspresi diam Arsenio. Namun, pertahanan Kirana untuk tetap diam pecah ketika mobil yang dikendarai Arsenio berbelok ke arah berlawanan dari arah menuju tempat tinggalnya. “Sen, kok elo belok ke sini? Kita mau ke mana?” Lagi-lagi, Arsenio hanya diam. Cahaya lampu penerangan jalan yang menyinari ruang kabin mobil memperjelas gambaran wajah pria itu. Arsenio tak memedulikan pertanyaan Kirana. Air mukanya memperlihatkan kemarahan yang terpendam. “Sen, kita mau ke mana? Elo jangan bercanda kayak gini dong. Gue harus pulang. Mama sendirian di rumah.” Kirana menelan rasa cemasnya dalam-dalam berharap Arsenio hanya sedang nge-prank. “Gue nggak lagi bercanda. Gue pengen ngomong sama lo, tapi nggak di sini.” Kirana menangkap nada serius dari ucapan Arsenio dan membuat Kirana merasa sedikit ketakutan. Dia tidak pernah melihat Arsenio sebegitu seriusnya sampai malam ini. “Kita mau bicara di mana?” tanya Kirana dengan nada ketakutan. “Di sini.” Arsenio membelokkan laju mobilnya ke sebuah gedung apartemen. Dahi Kirana mengernyit. Tatapannya tertuju pada gedung pencakar langkit berlantai 18 yang terlihat hanya separuhnya saja. Tanpa tedeng aling-aling, Arsenio menarik tangan Kirana begitu mereka keluar dari mobil yang dikendarainya. “Sen, pelan-pelan dong.” Kirana nyaris tersandung beton pembatas parkir saat Arsenio terus menarik tangannya menuju lift privat. Entah apa yang terjadi pada Arsenio, malam itu dia tampak sangat marah pada Kirana. Begitu lift terbuka di lantai tujuh, Arsenio kembali menarik tangan Kirana dan memaksa wanita itu untuk mengimbangi langkah panjangnya masuk ke sebuah unit apartemen bertipe loaft. Tanpa meminta Kirana duduk, Arsenio langsung menuding Kirana. “Apa hubungan lo sama Gala? Apa lo jual diri lo ke dia?” Apa? Kirana mengernyitkan dahi. Tatap kagetnya tak bisa dia sembunyikan lagi. Perasaan was-was datang tanpa diundang dan dengan cepat mampu menjerat Kirana ke dalam ketakutan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN