5. Niat Baik

1574 Kata
Gala masih duduk terpaku di ruang tunggu di depan Instalasi Gawat Darurat. Pandangannya menatap pelataran parkir, tetapi pikirannya berputar-putar tak tentu arah. Dia tidak pernah menyangka pertemuannya kembali dengan orang-orang yang pernah dan masih dia anggap keluarga harus dengan cara menyedihkan seperti ini. Pria itu kemudian memijat dahi. Setelah berpikir beberapa saat, Gala bangkit dari duduknya lalu memasuki ruang emergency tersebut. Dia memberanikan diri bertanya pada dokter yang menangani Rosi mengenai keadaan wanita itu. “Dari hasil diagnosis sementara kami, Bu Rosi sepertinya mengalami Aritmia, gangguan kecepatan atau ritme detak jantung. Namun, kami belum tahu apakah Aritmia yang dialami Bu Rosi sementara atau permanen dan berbahaya atau tidak. Kami perlu melakukan pemeriksaan dengan EKG selama 24 sampai 48 jam pada Bu Rosi untuk memastikan,” jelas si dokter. “Lakukan yang terbaik untuk dia, Dok. Saya akan menanggung biaya pengobatannya. Berapa pun biayanya.” “Pasti, Pak. Kami pasti akan melakukan yang terbaik. Mm, Bapak siapanya Bu Rosi ya?” “S-saya ... saya keponakannya.” Gala asal menjawab. “Ngomong-ngomong, anaknya Bu Rosi ke mana ya, Dok? Tadi ada di sini.” “Kayaknya sedang mengurus administrasi, Pak.” “Baiklah. Terima kasih, Dok. Saya akan melihat sepupu saya dulu.” “Iya, silakan.” Gala keluar dari ruangan tersebut dengan sedikit tergesa-gesa. Dia berjalan menyusuri koridor menuju ruang pendaftaran. Sayangnya Gala tidak menemukan Kirana di sana. Bagaimana Rosi bisa lebih cepat mendapat penanganan intensif kalau didaftarkan saja belum? pikir Gala. Gala celingukan mencari keberadaan Kirana. Dia memeriksa setiap koridor dan berjalan ke pintu samping rumah sakit, dia baru menemukan Kirana. Kirana terlihat sedang menelepon seseorang di taman belakang rumah sakit. Wanita itu berdiri tepat di depan jalan setapak menuju mushola rumah sakit. Diam-diam Gala keluar dan sengaja mendekat, tapi tidak terlalu dan justru bersembunyi di balik pohon bugenvil putih yang rimbun. Dengan jelas Gala bisa mendengarkan obrolan Kirana dengan seseorang melalui ponselnya. “Ya, Abang kan tau masalah pemberian bantuan sosial di negeri Konoha ini kadang tidak tepat sasaran. Rana sama Mama tidak punya JKN-KIS,” kata Kirana pada seseorang yang berada di ujung telepon. Tidak lama kemudian, Kirana mengangguk-anggukkan kepala. “Oke, oke. Nanti Rana ke kelurahan dulu bikin surat keterangan tidak mampu.” Gala mengembus napas. Serumit dan sesulit itukah kehidupan mereka sekarang? Tidak banyak berpikir lagi, Gala kembali ke dalam ke ruang pendaftaran. Dengan cepat dia mengisi formulir pendaftaran dan menjadi penanggung jawab pembiayaan Rosi. Tanpa berpamitan lantaran tidak ingin bantuannya ditolak Kirana, Gala segera pergi meninggalkan rumah sakit. Tidak berapa lama, Kirana masuk ke ruang pendaftaran. Dengan penuh rasa cemas, dia duduk di depan meja petugas administrasi yang mengurusi pendaftaran pasien. “Ada yang bisa dibantu, Mbak?” tanya si petugas berseragam serba hijau muda. “Begini, Bu. Pendaftaran pasien atas nama Rosi Parmadhana, yang masih ada di IGD—“ “Oh, Bu Rosi,” potong si petugas, “sudah didaftarkan. Kelas satu ya, Mbak.” Kirana tercengang. Selama beberapa detik detak jantung wanita itu berdetak lebih kencang sebelum akhirnya Kirana berusaha untuk lebih tenang. “K-kelas satu, Bu?” “Iya. Apakah mau diubah lagi? Naik ke VIP atau turun ke kelas dua?” tanya si petugas. Kirana semakin kebingungan. “Siapa yang mendaftarkan mama saya, Bu?” “Katanya keponakannya namanya ....” si petugas membuka map pendaftaran Rosi lalu melihat Kirana lagi. “Gala Aryaka.” Mas Gala. Kirana menelan ludah. Dia kesal sekali Gala tanpa permisi telah mendaftarkan ibunya. Kelas satu lagi. Untuk biaya berada di kelas tiga saja Kirana masih harus mengurus kartu jaminan kesehatan yang diperuntukan untuk warga tidak mampu, apalagi di kelas satu. “Pak Gala juga sudah mendepositkan seratus lima puluh juta rupiah untuk perawatan Bu Rosi dan sebagai biaya apabila harus ada tindakan ablasi jantung. Diagnosis dokter soalnya mengarah ke sana,” imbuh si petugas. “Ablasi jantung itu apa ya, Bu?” Kirana sungguh tidak memahami tindakan yang harus diambil dokter untuk mengobati ibunya. “Ablasi jantung tindakan medis untuk memulihkan irama detak jantung, terutama jika pengobatan tidak dapat meredakan gejala aritmia." “Jadi, mama saya harus dioperasi?” “Kalau dokter memutuskan untuk ada tindakan itu, ya berarti memang harus dioperasi. Namun, operasi kecil. Hanya pemasangan keteter elektroda di dalam pembuluh darah. Untuk lebih jelasnya, Mbak tanya saja pada dokternya langsung." “Baik, Bu.” Bukannya perasaan lega yang terembus dari napas Kirana, melainkan perasaan cemas yang tiba-tiba meraja. Namun, untuk saat ini Kirana merasa harus menekan keegoisannya demi kesehatan sang mama. Setelah Rosi sadar dan melakukan serangkai tes terhadap dirinya, dokter memutuskan wanita itu perlu melakukan ablasi jantung. Meskipun keadaannya masih lemah dan elektroda-elektroda pemantau denyut jantung masih terpasang di tubuhnya, Rosi nekat bangun dari tempat tidur setelah mengetahui hal tersebut dari dokter yang mengunjunginya siang itu. “Na,” panggilnya, “Kirana.” Kirana yang sedang berdiri dan memandang kosong ke luar jendela menoleh. Sengatan keterkejutan membuatnya tanpa pikir panjang berlari ke tepi ranjang. “Mama. Mama mau ke mana? Mama tidak boleh turun dulu.” “Kita pulang saja, Na. Ayo, kita pulang!” Rosi hampir saja melepas selang infus dari punggung tangannya jika Kirana tidak menahannya. “Ma, Mama masih sakit. Mama tidak boleh pulang.” “Tapi, Na. Kita tidak punya biaya untuk pengobatan ini.” Mata Rosi menyipit. Kerutan di sekitar matanya lebih kentara tatkala tatapan nanarnya menghias wajah wanita itu. “Mama tenang saja,” bujuk Kirana. “Tenang bagaimana, Na? Biaya pengobatan Mama pasti sangat besar. Dari mana kita dapat uangnya.” Kirana memutar otak mencari alasan karena mamanya tidak boleh tahu kalau semua biaya pengobatan sudah ditanggung oleh Gala. “Teman Kirana memberi pinjaman pada kita, Ma. Dia juga yang tadi pagi membawa Mama ke sini.” “Bayarnya bagaimana? Dengan apa—“ “Kirana sekarang bekerja di kantor Omnya. Jadi akuntan freelance gitu, Ma. Nanti gaji Kirana dipotong tiap bulan.” Demi bisa menghentikan kecurigaan mamanya, Kirana akhirnya asal bicara. Sedikit berbohong demi kebaikan tidak masalah, bukan? pikirnya. “Benar itu, Na? Kamu tidak bohong, ‘kan?” Rosi masih menyimpan keraguan di hatinya. Namun, dia berusaha untuk memercayai ucapan Kirana. “Bener, Ma.” Keberuntungan sedang berpihak pada Kirana. Tiba-tiba saja Santi dan Arsenio datang menjenguk. Rosi berhenti menginterogasi Kirana. “Assalamualaikum,” tutur Arsenio dan Santi hampir bersamaan. Santi langsung menghampiri Rosi dan bersalaman, begitupun Arsenio. Rosi tidak asing dengan Santi karena Santi kerap main ke rumah kontrakannya, tetapi Rosi merasa asing pada Arsenio. Dia baru pertama kali melihat pria muda itu. “Ma, kenalin. Ini teman Rana dan Santi, namanya Arsenio. Kita biasa manggil dia Arsen.” Rana segera memperkenalkan Arsenio pada Rosi. Segenggam jawaban dari pertanyaannya pada Kirana tadi akhirnya terjawab. Rosi mengambil kesimpulan teman yang dibicarakan Kirana tadi adalah Arsenio. Wanita itu menjadi sedikit lebih tenang. Rosi kembali berbaring. “Terima kasih ya, Nak, sudah menjenguk Tante,” ucap Rosi pada Arsenio. Dia memaksa tersenyum untuk memberi penghargaan pada Arsenio yang dipikirnya telah membantunya dan juga Kirana. “Sama-sama, Tante. Maaf, saya baru bisa menjenguk,” balas Arsenio diikuti senyuman ramahnya. Pandangan Rosi kemudian beralih ke Santi yang kini berdiri di samping ranjangnya yang lain dan berhadapan dengan Kirana. “Kamu tahu Tante dari mana Tante dirawat di sini, San?” “Dari Kirana, Tante. Tadi pagi Kirana memberi tahu,” jawab Santi, “Sekarang keadaan Tante gimana?” “Alhamdulillah lebih baik, tapi kata dokter harus ada tindakan ablasi jantung untuk pengobatan Aritmia yang dialami Tante.” Santi memegangi lengan Rosi dan mengelusnya dengan lembut. “Semoga semuanya berjalan lancar dan Tante cepat kembali pulih.” “Amin.” Kirana, Arsenio, dan Rosi hampir bersamaan mengamini doa dan harapan Santi. Setelah Santi dan Arsenio berbincang sebentar dengan Rosi, Kirana mengajak mereka berbicara di ruang tunggu di luar blok kamar rawat inap. Arsenio memutuskan untuk tidak pulang bersama Santi. Dia memilih menemani Kirana meskipun Kirana menolaknya. Layaknya kekasih setia, Arsenio tidak segan-segan menginap di rumah sakit. Dia pun rela membolos kuliah untuk menunggui Rosi karena Kirana harus kuliah. Kehadiran Kirana di kelas menjadi salah satu syarat menerima beasiswa. Arsenio tidak mau kekasihnya itu kehilangan beasiswa karena menunggui mamanya di rumah sakit. Setelah dirawat selama tiga hari, akhirnya Rosi diperbolehkan pulang. Rosi tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih pada Arsenio. Sementara itu, Kirana bisa bernapas sedikit lega setelah melihat kesehatan mamanya berangsur-angsur membaik. Lantaran ada beberapa tetangga yang menjenguk mamanya, Kirana mengajak Arsen untuk duduk di teras. Ruangan yang sempit di dalam rumah kontrakannya tidak memungkinkan banyak orang berada di dalam sana. “Sen, terima kasih ya elo sudah nemenin gue. Elo juga sudah mau bolos demi gue,” tutur Kirana. “Udah deh, Na. Kayak sama siapa aja pake ngucapin terima kasih segala.” Arsenio cengegesan. Kirana menyenggol lengan Arsenio dengan lengannya. “Ya, gue nggak enak lah sama lo. By the way, bokap sama nyokap lo tahu nggak lo tidur di rumah sakit?” “Nyokap tahu kok gue nemenin lo. Kalau bokap gue, dia nggak perlu tahu. Dia aja sibuk sendiri,” jelas Arsenio. Obrolan akrab Kirana dan Arsenio sayangnya harus diinterupsi oleh Siti. Wanita yang sejak tadi menemani Rosi di dalam tiba-tiba keluar menemui Kirana. “Na, Mpok sampai lupa memberitahu kamu. Teman kamu yang waktu itu membawa mama kamu ke rumah sakit, kemarin datang nitip sembako buat kamu. Dia juga membagikan paket sembako untuk warga di sekitar sini. Baik banget tuh orang.” Siti mengumumkan dengan wajah semringah. “ “Teman?” Kirana mengernyitkan dahi dan berusaha mengingat. Pasti Gala. Apa sih maunya tuh orang? Pamer?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN