“Mas Gala nggak sibuk, ‘kan?” Melihat gelagat Gala yang tidak acuh, Arsenio berasumsi pria itu akan menolak ajakannya.
“Nggak.” Jawaban Gala sesaat kemudian mematahkan asumsi Arsenio. “Kebetulan sore ini aku free. Kita mau makan di mana?”
Senyuman Arsenio mengembang di wajahnya. “Terserah Mas dan Mbak saja. Arsen ngikutin, tapi jangan yang mahal-mahal. Standar mahasiswa saja yak.”
“Gimana kalau kita makan di Suka Sushi?” saran Lula.
Restoran Jepang? d**a Kirana tertohok tawaran Lula. Namun, dia tidak punya hak apa pun untuk menyarankan tempat lain. Yang punya acara Arsenio. Kirana hanya mengikuti ke mana pria itu akan mengajaknya.
“Boleh, Mbak.” Arsenio kemudian menoleh ke arah Kirana. “Kita makan dulu ya?”
Kirana hanya mengangguk menyetujui ajakan Arsenio meskipun di dalam hatinya, Kirana ingin menolak. Ada baiknya Gala tahu kalau dia dan Arsenio memang benar berpacaran, pikir Kirana. Walaupun begitu, Kirana tetap memilih untuk membatasi komunikasinya dengan Gala.
Sementara itu, tatapan Gala seperti tak bisa lepas dari Kirana. Kirana bagai magnet yang terus menarik mata Gala untuk terus melihatnya. Berkali-kali Gala harus mengakui kalau Kirana bukan lagi gadis ingusan yang terkadang menyebalkan karena kerap mengganggunya. Kirana telah tumbuh menjadi wanita dewasa meskipun masih berusia 22 tahun.
Setelah mereka berempat tiba di restoran Jepang yang dimaksud di lantai dasar mal, Lula dan Arsenio sepakat memilih tempat duduk VIP supaya tidak terganggu pengunjung lain. Ruang makan berisi empat kursi dan dikelilingi jendela kaca sebagai pembatas serta ornamen khas Negeri Sakura membuat suasana lebih intens. Namun, tidak untuk Kirana. Kirana justru merasakan ketegangan yang sangat besar di sana. Dia dan Gala begitu dekat dan mereka duduk berhadapan.
“Lo mau makan apa, Na?” tanya Arsenio sambil membolak-balik buku menu.
“Mm ....” Kirana mengerjap berusaha mengembalikan pikirannya ke bumi. Terakhir kali dia makan di restoran Jepang sekitar sembilan tahun lalu bersama Altair dan keluarganya termasuk Gala. Memori manis yang memicu tangis itu kembali mengisi kepalanya. Gerakan tangan Kirana yang sedang membuka lembar demi lembar buku menu terhenti. Sulit sekali mengikhlaskan semua kebahagiaan yang terenggut dari dirinya. Kirana menahan napas sesaat berusaha melepaskan ketegangan dan rasa sakit yang menyelimuti.
“Kamu mau makan apa, La?” Dari seberang meja, Gala berusaha meredam gejolak perasaannya dan memfokuskan perhatiannya pada Lula.
“Aku mau nigiri,” jawab Lula.
Gala lalu melihat ke Arsen dan semampunya menujukkan pandangan hanya ke depan . “Sen, tulis tuh pesanan kakakmu.”
“Oke, Mas. Mas sendiri mau pesan apa?”
“Sashimi.” Pandangan Gala secara tiba-tiba bergerak ke samping kiri Arsen dan berhasil menemukan wajah tirus bermata bulat dan berambut hitam sebahu yang sedang menunduk mengamati buku menu. “Salmon,” lanjut Gala masih menatap Kirana.
Salmon sashimi? Wajah Kirana terangkat secara otomatis. Tak disadari, pandangan Kirana akhirnya berserobok dengan pandangan Gala. Keduanya sama-sama tertegun saling melempar kenangan dengan sorot mata.
“Coba-in salmon sashimi ini, Na. Enak lho.” Gala menjepit dengan sumpit daging ikan salmon mentah yang telah dicelupkan ke dalam saus, lalu mengulurkan tangannya kepada Kirana yang duduk di depannya.
Kirana mengedikkan bahu dan menurunkan kedua ujung bibirnya merasa jijik. “Ih, ogah! Rana nggak mau makan ikan mentah.”
“Al.” Gala memberikan isyarat pada Altair yang duduk di sampingnya untuk memaksa Kirana mencoba makanan yang sedang mereka makan.
Altair segera bangkit dari duduknya, lalu mengitari meja dan berdiri di belakang kursi Kirana. Altair kemudian memegangi kedua sisi wajah Kirana seraya memintanya membuka mulut. “Norak lo, Na. Ayo, cobain! Enak kok. Nggak bikin nek,” tutur Altair.
“Nggak mau. Mas Altair kok maksa sih? Rana lapor Papa nih. Sebentar lagi Papa dan Mama datang.” Kirana mengancam.
“Dikit aja,” bujuk Altar.
Kirana akhirnya menyerah. Sambil mengerucutkan bibir dan memamerkan wajah tertekan, Kirana mengumumkan keputusannya. “Iya, iya, Rana cobain. Anak SMP mengibarkan bendera putih melawan dua mahasiswa ogep.”
“Gitu dong.” Altair menurunkan tangannya ke pundak Kirana dan memastikan adiknya itu tidak kabur. Kirana biasanya akan berlari dan mengadu ke Mama atau Papa kalau Altair dan Gala mengganggunya.
Gala kemudian menyuapi Kirana sashimi. “Gimana? Enak, ‘kan?”
“Bikin nek tau, Mas! Eh, sebentar ... sebentar.” Kirana mengerutkan alisnya sambil terus mengunyah. “Lumayan juga, tapi sausnya asin.”
“Jiaaah! Norak lo, Dek!” Altair tertawa sambil mengacak-acak rambut Kirana.
“Mas, diam dong!” Kirana menepis tangan Altair dari kepalanya lalu menyisir rambutnya dengan tangan.
Suasana di restoran Jepang itu mendadak ramai karena tingkah ketiganya. Mereka mendadak menjadi pusat perhatian pengunjung restoran yang lain.
“Na, lo mau makan apa?” Pertanyaan Arsenio membuyarkan lamunan Rana.
Rana mengerjap. Dia menunduk kembali berpura-pura melihat buku menu sambil menahan butir-butir air mata yang memaksa untuk jatuh. “Sama-in aja sama kamu, Sen,” tutur Kirana pelan, tapi masih jelas terdengar.
“Oke.” Arsenio menulis seluruh pesanan mereka sebelum menekan bel khusus untuk memanggil waiter.
Dari tempat duduknya, pikiran Gala pun dikoyak oleh kenangan masa lalu yang hampir serupa dengan Rana. Masa-masa itu tidak akan pernah bisa terulang kembali. Gala menghela napas panjang lalu mengalihkan pandangannya menembus jendela kaca. Dadanya meneriakkan rasa sakit yang dalam lantaran keadaan sudah memutarbalikkan semua momen indah menjadi momen paling pahit untuk diingat.
Akhirnya Kirana terbebas dari suasana menegangkan setelah lebih dari tiga puluh menit berada di ruangan dan makan bersama kakak-beradik Fajrial serta Gala. Keluar dari restoran tersebut, Arsenio tak segan-segan mengaitkan jemarinya ke jemari Kirana. Mereka berdua berjalan lebih dulu.
Beberapa meter di belakang mereka, Gala hanya menjadi pemerhati. Sekali lagi sengatan rasa sakit menohok dadanya. Ada ketidakrelaan dalam dirinya melihat Kirana bersama pria lain meskipun dia masih ingin menganggap Kirana sebagai adik kecilnya. Entahlah, Gala sendiri bingung dengan perasaannya saat ini. Pikirannya yang mendadak kacau membuatnya mengabaikan Lula. Dia seperti sedang berjalan sendirian di tengah hiruk-pikuk pengunjung mal.
“Kita mau ke mana lagi?” Lula menyelusupkan tangan kirinya ke tangan kanan Gala dan sekaligus menutup sesi lamunan pria itu.
“Terserah kamu,” jawab Gala dengan malas.
Tiba di depan lift, Arsenio dan Kirana menghentikan langkah mereka dan berbalik menghadap Gala dan Lula.
“Mbak, gue sama Rana mau lanjut ke Gramed ya.” Arsenio mengumumkan kembali niatnya yang sempat terjeda. “Mbak mau ke mana lagi?”
“Mbak mau ke Versace dulu.”
“Oke, deh. Kita jalan duluan ya,” pamit Arsenio.
“Sen!” panggil Gala menahan langkah Arsenio. “Thanks ya, makan malamnya.”
Arsenio tersenyum . “Sama-sama, Mas.”
“Oh, iya. Mbak lupa ngucapin selamat buat kalian berdua.” Lula mengembangkan senyuman manisnya dan melemparkan pada Kirana. “Selamat jadian ya. Semoga langgeng.”
Kirana tersenyum kaku sambil sedikit mengangguk merespons ucapan Lula.
Meskipun keakraban dengan Lula mulai terasa, tetapi perasaan canggung yang diliputi amarah untuk Gala masih bersemayam di dalam diri Kirana. Sampai mereka berpisah di depan pintu lift, tak sepatah kata pun dari Kirana yang terucap untuk Gala, begitupun sebaliknya.
***
Setelah menghabiskan hari libur kerjanya bersama Arsenio, rasa lelah membuat Kirana tertidur pulas. Beruntung azan subuh yang berkumandang membangunkannya tepat waktu. Dia melihat Rosi masih tertidur di sampingnya. Mamanya itu tampak tertidur sangat nyenyak. Mungkin karena mamanya kelelahan setelah seharian menjadi buruh cuci dan setrika, pikir Kirana.
Perasaan sedih kembali menusuk-nusuk hatinya. Andaikan dia punya penghasilan yang cukup untuk menghidupi mereka berdua, dia tidak akan membiarkan mamanya turut bekerja. Niatnya untuk membangunkan wanita itu, dia urungkan. Kirana akan membangunkannya setelah dia selesai salat subuh.
“Ma, sudah jam lima lewat,” kata Kirana sambil melipat mukenanya seusai salat subuh.
Jaraknya ke tempat tidur yang hanya sekitar satu meter membuat Kirana beringsut mendekat masih dalam posisi duduk. Kirana memegang lengan Rosi dan mengguncangnya pelan. “Ma, bangun. Sudah jam lima.”
Beberapa kali Kirana mengguncang lengan Rosi, Rosi hanya diam. Cemas sekaligus takut merayap ke seluruh tubuh wanita itu ketika sekali lagi guncangan di lengan Rosi tak menimbulkan reaksi apa pun.
“Ma, Mama. Ya, Allah. Mama kenapa?” Berusaha untuk tidak panik, Kirana mendekatkan punggung telunjuknya ke hidung Rosi. Masih bernapas. Kirana lalu memeriksa denyut nadinya. Nadi Rosi masih berdenyut, tetapi mamanya itu tetap tidak mau bangun.
Kirana segera meminta bantuan tetangga. Pasangan suami istri yang tinggal persis di sebelah rumah kontrakannya pun turut mengecek keadaan Rosi.
“Na, kita bawa saja mama kamu ke rumah sakit. Cepat panggil taksi!” saran Siti, tetangganya.
“Masih pagi buta begini, memangnya ada taksi—“
“Kalau nggak ada yang lewat, coba taksi online, Na,” potong Bang Kumis, suami Siti.
“Iya, Bang.”
Kirana bergegas keluar dari rumah kontrakannya dan berlari menyusuri gang menuju jalan utama. Cahaya temaram masih menyelimuti pagi yang disambut gerimis. Jalan utama masih tampak sepi. Hanya beberapa bus yang lewat dan Kirana masih belum menemukan taksi. Di aplikasi layanan transportasi online pun Kirana masih tak menemukan taksi. Akhirnya Kirana kembali lagi ke rumah kontrakannya sambil berlari.
“Bang, Rana nggak dapet taksinya. Taksi online pun belum ada yang nyangkut. Masih pada tidur kali tuh tukang taksi,” jelas Rana pada Bang Kumis sambil terengah-engah.
“Saya ke rumah Pak RT aja, ya. Barang kali dia bisa bantu membawa mama kamu pake mobilnya,” saran tetangga yang lain.
“Iya, Pak Sam. Terima kasih.”
Di tengah kegelisahan dan rasa takut yang memburu, tiba-tiba Rana dikejutkan oleh berita dari Sam yang tidak jadi ke rumah RT setempat.
“Na, saya kagak jadi ke rumah Pak RT. Ada teman kamu di luar. Katanya, dia mau bantu membawa mama kamu ke rumah sakit,” kata Sam.
Kirana mengernyitkan dahi. “Teman?”
“Iya. Tuh, teman kamu ada di luar,” jelas Sam.
Siapa pun dia, dia datang di saat yang tepat, Kirana bersyukur dalam hati. Wanita itu segera keluar dari rumah kontrakannya. Namun, Kirana mendadak ingin menarik kembali ucapan syukurnya. Pria itu sama sekali bukan teman yang diharapkan. Kirana melihat Gala sedang berdiri di depan pagar rumah kontrakannya dan masih mengenakan setelan yang sama seperti semalam, T-shirt biru dan celana jeans hitam.
“Mau apa Mas Gala ke sini?” tanya Kirana dengan nada ketus.
“Tadinya aku ingin menanyakan keputusan kamu tentang penawaranku, tapi kudengar dari Bapak-bapak tadi ....” Gala tidak melanjutkan ucapannya dan justru menatap Kirana lekat-lekat.
“Keputusanku tetap tidak dan Mas tidak diharapkan di sini,” usir Kirana terang-terangan. “Lagi pula, aku tidak butuh bantuan Mas,” lanjut Kirana penuh dengan kemarahan.
Gala tersenyum getir. Kirana tidak tidak tahu semalaman Gala seperti orang kebingungan. Pria itu bahkan mengabaikan ajakan Lula untuk menghabiskan malam di apartemennya. Dia lebih memilih berputar-putar keliling kota sampai tidak tidur hanya untuk mencari cara menemui Kirana. Akhirnya, dia terdampar di pelataran parkir ruko yang masih tutup di ujung gang. Gala sempat memperhatikan Kirana yang sedang menunggu taksi dan memtuskan untuk mengikutinya hingga dia tiba di rumah kontrakan Kirana.
“Kamu jangan egois, Na. Mama kamu perlu segera dibawa ke rumah sakit,” tandas Gala.
“Aku dan Mama bisa mencari bantuan yang lain.” Kirana tetap bersikeras menolak bantuan Gala.
Tidak ingin berdebat lagi, Kirana berniat meninggalkan Gala. Namun, Gala berhasil menahannya. Pria itu menyambar lengan Kirana dan memegangnya erat. Emosi Gala terpancing oleh sikap keras yang ditunjukkan Kirana. Bodo amat jika ada yang melihat dan mendengar sarkasmenya.
“Dengar, Kirana Pramadhana. Perempuan tua yang sedang tak berdaya di dalam itu.” Gala menunjuk ke pintu rumah kontrakan Kirana. “Dia perempuan yang sama yang merawat dan membesarkanku. Tidak peduli seberapa besar kamu dan dia membenciku sekarang, dia harus segera dilarikan ke rumah sakit. Benci boleh, bego jangan. Pakai otak kamu!”
Kirana tersentak dengan ucapan dan sikap kasar Gala. Rasa nyeri di dadanya nyaris membuatnya sesak napas dan menangis. Kirana hanya diam terpaku setelah Gala melepaskan cekalannya dan berjalan memasuki rumahnya.
“Bapak-bapak, tolong bantu saya membawa Bu Rosi ke mobil saya di depan.” Suara Gala yang menyapa telinganya sesaat kemudian membuat Kirana terenyuh.
Semoga dia tulus membantu. Kirana menyapu air mata dengan tangannya lalu berbalik dan berlari ke rumah kontrakannya.