CHAPTER 7

1041 Kata
Yudha melangkah ke parkiran setelah semua pekerjaannya beres. Ia harus ke day care untuk menjemput sang Puteri cantiknya. Semenjak bercerai dengan Lili, hak asuh Cecilia jatuh ke tangan Yudha, karena Lili sendiri yang menyerahkan Cecilia kepadanya, padahal saat itu usianya masih enam bulan. Dan wanita itu lebih memilih pergi menggapai kariernya dan mewujudkan cita-citanya.Jadilah Yudha seorang dokter dan single parent. Mengurus sendiri bayi itu dengan kedua tangannya dibantu asisten dari yayasan yang sampai sekarang masih bekerja di rumahnya. Sudah lima tahun berlalu namun Yudha belum ingin mencari pengganti. Ia masih trauma dan takut kembali ditinggalkan oleh orang yang ia cintai. Fokusnya sekarang hanyalah pada karier dan Cecilia, ia tidak memikirkan perihal wanita dan pernikahan, toh ia sudah pernah menikah bukan? Lagipula untuk apa menikah kalau akhirnya juga harus bubar lagi? Rasanya hanya buang-buang waktu saja bukan? Dan satu lagi ia tidak mau kalau harus kembali terluka, kembali ditinggalkan, tidak ... dia tidak mau! Ia sudah cukup terluka dan tersakiti. Ia sudah cukup hancur! Lampu berubah merah, membuat Yudha harus menghentikan mobilnya sejenak, dan sialnya tepat di hadapannya ada sebuah baliho yang memasang gambar sosok itu. Sosok itu tengah menjadi brand ambassador sebuah produk batik yang ternama di Kota Solo. Berpose dengan begitu anggun dan mempesona. Yudha menatap nanar wajah itu, wajah yang tersenyum begitu manis itu seolah menertawakan dirinya dan kemalangan hidupnya. Jujur Yudha merindukan sosok itu, sosok yang dulu selalu ia rengkuh ketika lelah menghampirinya selepas kerja. Tubuh yang selalu menjadi candu baginya untuk selalu Yudha sentuh dan puaskan. Tak terasa air mata Yudha menitik, sebegitu rendahnya kah dirinya hingga ia tidak pantas bersanding dengan sosok itu? Dan jika memang begitu, kenapa dulu ia seolah memberi harapan untuk Yudha? Kenapa ia mau menerima lamaran Yudha jika akhirnya pernikahan mereka harus kandas seperti ini? "Tin ... tin ... tin ...," Suara klakson mobil di belakangnya membuyarkan lamunan Yudha mengenai sosok itu, ia bergegas kembali memacu mobilnya untuk sesegera mungkin sampai di tempat Cecilia menghabiskan waktunya selama Yudha bekerja itu. Ia sangat kasian dengan gadis kecilnya itu, sejak kecil dimana seharusnya ia masih berada dalam rengkuhan ibunya, masih menikmati air s**u ibunya, ia sudah harus terpisah dari sang ibu dan hidup berdua dengan sang ayah yang waktu dan tenaganya habis di rumah sakit. Namun Yudha percaya bahwa Cecilia adalah gadis yang kuat! Yudha percaya bahwa kelak kemudian hari ia akan mengerti tentang ketidakadilan yang menimpanya itu. Ia akan mengerti tentang bagaimana Yudha berjuang keras untuk mereka berdua, kelak ia akan mengerti semua itu. Yudha menyeka air matanya, jujur rasanya begitu sakit. Rasa sakit inilah yang kemudian membuatnya malas berhubungan lagi dengan cinta dan wanita. Rasa sakit inilah yang kemudian membuat ia menjelma menjadi sosok laki-laki dingin dan masa bodoh dengan sekitarnya. Ia sudah cukup terluka, dan ia tidak ingin terluka untuk yang kedua kalinya. Jika memang Tuhan sudah tidak memberinya jodoh lagi, Yudha tidak mempermasalahkannya kok, ia sudah terlatih untuk hanya hidup berdua dengan putrinya itu. Bagi Yudha, Cecilia adalah segala-galanya. *** "Kamu nggak coba kirim CV ke RSUD pusat gitu? Aku rasa mereka akan senang jika kamu bergabung di sana," gumam Yohana yang sore itu mampir ke kontrakan Andhara untuk menumpang mandi dan bersiap-siap untuk lanjut dinas ke RSUD pusat yang kini sedang mereka bicarakan itu. "Nanti dulu lah, aku masih bingung transportnya," ujar Andhara sambil memainkan iPhone di tangannya. Yohana mendengus kesal, kenapa bingung masalah transport? Salah sendiri kenapa Andhara tidak membawa salah satu mobil atau motornya kemari? Yohana tahu betul garasi rumah Andhara di Jakarta sana mobilnya tidak hanya satu. Milik Andhara sendiri dua, belum mobil milik papanya. "Pikirkan lagi, lumayan kan gajinya nanti. Masalah jadwal kan nanti bisa diatur, jadi jangan khawatir." Andhara hanya mengangguk tanda mengerti, ia masih bergeming di posisinya yang terlentang di atas kasur sambil bermain gawai. Sementara Yohana sedang menepuk lembut compact powder di wajahnya. Ia sedang memulaskan lipcream di bibirnya ketika kemudian smartphone-nya berdering. "Halo, gimana Ton?" tanya Yohana sambil melanjutkan aktivitas berdandannya. "Lu udah berangkat belum?" "Belum nih, baru mau on the way, napa?" "Titip beliin boba dong, stress nih gue habis as-op si killer!" Sontak Yohana terbahak, patutlah suara Anton begitu kesal. Rupanya ia habis mengasisteni dokter bedah orthopedi itu opersi, pantas saja! "Ngamuk nggak dia di OK?" "Bahh ... nggak perlu lu tanya lagi lah, koas pada hampir pingsan tadi! Tuh ya, kalau si pasien nggak dalam pengaruh anastesi, gue jamin dia langsung ngacir pulang nggak peduli ada fraktur tulang!" Tawa Yohana kembali terdengar, kali ini cukup keras membuat Andhara sendiri heran, sebenarnya apa sih yang sedang mereka bicarakan itu? OK? Ngamuk? Memangnya apa yang terjadi? "Hussh, awas lu kalau dia denger auto kena DO lu dari PPDS!" ancam Yohana yang kemudian mulai memberesi perkakas makeupnya. "IDIH AMIT-AMIT, YO! JANGAN SAMPAI LAHH!" pekik Anton keras-keras yang lagi-lagi membuat Yohana tertawa terbahak-bahak, "Dah ah, gue mau on the way, ntar gue beliin tuh pesenan lu. Awas aja ya kalau nggak lu ganti!" Yohana buru-buru menutup teleponnya, lalu memasukkan pouch makeup-nya kedalam tas. Tampak Andhara masih dalam posisinya, tanpa berubah sedikit pun. "Siapa?" tanya Andhara yang mulai kepo. "Residen orthopedi di RSUD sana, biasa curhat soal konsulennya yang killer setengah mati itu, An." Andhara hanya tersenyum kecut, sepanjang karier kedokterannya ia belum pernah sih berhadapan dengan konsulen killer. Se-killer apapun orang itu, pasti akan tunduk dengan Andhara. Alasan pertamanya karena Andhara cerdas dan cekatan, yang kedua tentu pengaruh bapaknya yang punya banyak koneksi dokter-dokter spesialis di ibu kota. Bapaknya termasuk dokter senior yang disegani, jadi mana ada yang berani dengan Andhara? "An, aku pamit dulu ya, makasih nih udah boleh numpang mandi." Andhara tersenyum dan mengangguk, ia kemudian bangkit dan mengantar sahabatnya itu hingga ke depan teras. Dilambaikannya tangan ketika mobil itu mulai pergi dari depan kontrakannya. Andhara menghela nafas panjang, rasanya ia harus memikirkan tawaran Yohana untuk mengirimkan CV ke RSUD itu. Ia bosan selepas praktek di sini hanya tiduran di kontrakannya macam ini. Andhara bergegas masuk dan menutup pintu. Alasan lain tentu karena ia tidak ingin hanya sendirian dalam sepi macam ini. Ia benci jika harus kembali mengingat peristiwa-peristiwa yang telah ia alami. Ia benci jika harus kembali mengingat sosok itu, pengkhianatannya dan luka yang harus Andhara terima, ia benci! Andhara menghela nafas panjang, dadanya kembali sesak. Matanya kembali memanas dan untuk kesekian kalinya kesendirian dan luka itu berhasil menguasainya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN