CHAPTER 6

1054 Kata
Andhara menghela nafas panjang, ini adalah operasi pertamanya di rumah sakit ini. Hanya operasi yang akan berlangsung kurang lebih satu hingga dua jam, namun tidak bisa disepelekan juga. Ia melangkah dengan mantab menuju OK, kurang lebih sepuluh menit lagi operasi akan dimulai. "Dokter, ini laporan terakhir dari pasien Tissa," seorang perawat OK menyodorkan map status pasien yang ikut hantarkan ke dalam. Andhara hanya tersenyum dan menerima map itu, ia dengan seksama membaca semua laporan vital yang tertulis di sana. Semuanya baik, tidak ada masalah, itu artinya operasi benar-benar bisa dimulai beberapa menit lagi. "Dokter sudah siap?" Andhara tersentak, ia kemudian bergegas meletakkan map status itu dan bersiap membersihkan diri dan mengganti snelli-nya dengan baju operasi. Andhara melangkah ke ruang nomor satu, di sana sudah terbaring sosok kecil itu. Rambutnya sudah dicukur habis sesuai prosedur VP Shunt Surgery, dia tampak sudah diberi anestesi karena ia tampak sudah tertidur pulas di atas meja operasi. "Anestesi?" "Clear!" Dokter Brian mengacungkan jempolnya, tanda bahwa anestesi sudah diberikan dan pasien sudah bisa dilanjutkan untuk prosedur selanjutnya. Andhara hanya mengangguk pelan, ia segera memulai tugasnya. "Scalpel!" Seorang asisten menyodorkan benda yang Andhara minta, sekali lagi ia menghembuskan nafas panjang, lalu dengan perlahan sayatan itu mulai ia buat dengan penuh kehati-hatian. Sayatan untuk lubang masuk kateter yang hendak ditanam ventrikel. Lalu membuat sayatan di bagian perut dan sebuah lubang di tengkorak. Andhara berdoa dalam hati, sebuah doa yang selalu ia minta kepada Tuhan setiap hari, bahwa ia boleh saja membuat kesalahan dengan percaya pada laki-laki, namun ia tidak boleh membuat kesalahan dalam setiap prosedur operasi yang ia lakukan, hanya itu yang selalu ia minta, hanya itu ..., *** Andhara sudah selesai melakukan semua tugasnya. Kondisi pasien masih stabil, dan ia masih dalam pengawasan penuh. Andhara bersandar di kursi yang ada di dalam ruang ganti OK, sejenak ia memejamkan matanya, berusaha mengendurkan otot-ototnya yang tegang selama operasi berlangsung. Ia benar-benar mencintai pekerjaannya ini, profesinya lah yang membuat ia bangkit dari keterpurukannya. Membuatnya tetap berdiri kuat untuk bisa menjadi orang yang berguna bagi sesamanya. Seperti tujuan yang ia tanamkan dalam diri ketika memutuskan untuk mengikuti jejak sang papa untuk menjadi seorang dokter. 'Dokter memang profesi yang mulia, namun bukan berarti tanpa cela.' Kalimat itu ia pernah baca di salah satu n****+ karya Mira W dengan judul Kuduslah Cintamu, Dokter. Beliau adalah salah satu novelis favoritnya yang juga merupakan seorang dokter dan dosen. Memang benar, dokter adalah profesi yang mulia, menolong nyawa sesamanya, namun dokter juga manusia biasa bukan? Punya salah, punya khilaf dan kelemahan bukan? Namun itu tidak berarti ia bisa disakiti dan dikhianati seperti ini bukan? Andhara sontak berdiri, ia sudah tidak mau berada dalam bayangan masa lalunya. Ia bangkit dan melangkah keluar OK. Rasanya istirahat sejenak di ruangannya adalah pilihan yang tepat. Ia hendak kembali ke ruangannya ketika kemudian sosok itu melambai dengan riang gembira. "Ciee ... operasi pertama, lancar?" Yohana sudah tersenyum lebar, menjabat erat tangan Andhara. Andhara hanya tersenyum, sosok satu ini benar-benar sosok yang mengerti dirinya luar dalam sejak kuliah. Dan Andhara beruntung memiliki sosok sahabat seperti Yohana. "Dapat jadwal pagi nih?" tanya Andhara sambil terus melangkah ke ruangannya, Yohana mengekor di sebelah Andhara. "Iya, RSUD sebelah yang gantian nanti malam, An." "Bakoh ya? Semangat!" Andhara tersenyum, ia sebenarnya juga dapat juga tiga jatah tempat dari IDI, namun ia baru sanggup dinas di satu tempat. Mereka terus melangkah sambil asik mengobrol, yang jelas obrolan yang Yohana hindari adalah obrolan yang menyingung tentang pernikahan, rumah tangga dan anak! Yohana harus ingat betul untuk menghindari tiga hal itu, karena tiga hal itu sangat menyakitkan untuk sosok dokter bedah saraf itu. *** "Lanjutkan!" teriak Yudha dengan sedikit kasar. Ia bergegas pergi dan melepas handscoon-nya. Beberapa koas tampak syok, wajah mereka memucat dengan keringat mengucur membasahi wajah dan tubuh mereka. Begitu pula dengan Anton, tangannya masih bergetar hebat. Ia memejamkan matanya sejenak kemudian menarik nafas dalam-dalam. Setelah itu ia langsung melaksanakan perintah konsulennya itu dengan cekatan. Selalu seperti ini, jika ada operasi dimana Dokter Yudha yang menjadi penata operasinya, suasana jadi begitu mencekam luar biasa. Mereka tidak bisa santai atau bermain-main selama Dokter Yudha yang memimpin oeprasi. Hanya ada dua kemungkinan yang terjadi jika mereka nekat main-main dengan Dokter Yudha. Mereka akan diusir dari OK atau untuk para koas mereka akan di suruh mengulang stase bedah satu kali lagi. Anton menatap para koas yang masih berdiri dengan setia mengasisteninya itu. Meskipun tertutup surgical mask, tapi Anton bisa lihat dengan jelas betapa tertekan dan ketakutannya mereka. Ia hanya tersenyum sinis, Anton yang sudah terbiasa saja masih kadang Tremor dan rasanya mau pingsan, apalagi koas yang baru seminggu masuk stase bedah? Anton sendiri heran, kenapa ada orang sedemikan kaku dan bengis macam Dokter Yudha itu? Apa yang membuat dokter tampan idola para pasien itu jadi demikian? Dihadapan pasien memang ia begitu terkenal ramah, sabar dan menyenangkan. Tapi itu hanya berlaku dihadapan pasien! Kalau dihadapan perawat, koas atau residen macam dia ini dapat senyum atau jawaban halus dari dokter itu saja rasanya sudah seperti menang lotre! Anton benar-benar tidak mengerti, yang ia tahu untuk saat ini ia harus sesegera mungkin menyelesaikan tugas ini hingga kemudian ia bisa keluar dari ketegangan selama tiga jam berdiri mengasisteni dokter killer satu itu. *** Yudha menyandarkan tubuhnya di kursi, ia mengunci rapat-rapat ruang prakteknya. Matanya terpejam, ia baru saja menyelesaikan operasinya. Ia merogoh saku celana, meraih bungkus rokoknya. Namun ketika ingat bahwa tidak boleh merokok di area rumah sakit bahkan di ruangannya sendiri, Yudha mengurungkan niatnya itu. Yudha merasa kepalanya begitu pusing. Ia kembali memejamkan matanya, ia sudah lelah. Diliriknya jam dinding, sudah pukul dua. Ia masih harus visiting satu kali lagi. Yudha menghela nafas panjang, ia merasa hidupnya begitu hampa. Semenjak sosok itu pergi dari hidupnya, rasanya hidup Yudha sudah mati. Hanya gadis kecil cantik itu yang menjadi penyemangatnya. Apa sih sebenarnya kurangnya Yudha? Apa karena dia bukan pengusaha? Gajinya sebagai dokter bedah orthopedi itu masih kurang di mata wanita yang dulu pernah berjanji sehidup semati bersamanya itu? Apa suatu hal yang memalukan bagi model terkenal seperti dia bersuamikan dokter macam Yudha? Yudha benar-benar tidak mengerti, katanya dokter itu jadi menantu idaman? Suami idaman? Buktinya istrinya lebih memilih menceraikan dia dan meninggalkan Yudha. Yudha tersenyum kecut, bagaimana ia mau melupakan luka dan pengkhianatan wanita itu kalau ia terus-menerus mengingat hal menyakitkan itu? Namun terus terang Yudha belum bisa terima, kurangnya dia sebagai suami disebelah mana? Yudha kurang apa?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN