CHAPTER 13

1140 Kata
"Mau lihat kondisi Cecilia ya, Dok?" tanya seorang perawat ketika Andhara dan Yohana masuk ke ruang PICU. "Iya, bagaimana kondisinya, Sus?" tanya Andhara begitu penasaran, sudah sadarkah gadis cantik itu? "Belum sadar, Dok. Namun semua pemeriksaan vitalnya baik," seorang perawat bergegas mengantarkan mereka ke sebuah ruangan dimana kemudian gadis itu terbaring dengan berbagai macam alat medis menempel di sana. Andhara mendekati ranjang, ia memeriksa sendiri kondisi vital gadis cantik itu, memang semuanya masih tampak baik, namun kenapa ia belum mau sadar? Andhara menatap nanar gadis itu, semoga semua usahanya kemarin tidak sia-sia, semoga gadis itu bisa kembali sadar. "Boleh saya di sini dulu, Sus?" tanya Andhara pada perawat yang mengantarkan mereka masuk tadi, "Saya ingin mengawasinya sebelum saya harus kembali jaga ke RSUD cabang." "Boleh, silahkan Dokter, nanti jika perlu apa-apa Dokter bisa panggil saya." Andhara hanya mengangguk dan tersenyum, matanya kemudian kembali fokus menatap sosok itu yang masih terbaring di atas ranjangnya dengan begitu tenang. Yohana menarik kursi dan mempersilahkan sahabatnya itu duduk, sementara perawat tadi sudah lebih dulu berpamitan untuk kembali ke nurse station. "An, maaf aku tidak bisa menemanimu di sini." Andhara tersenyum dan mengangguk pelan, ia mengerti kalau Yohana punya tanggung jawab lain yang tidak boleh ia tinggalkan. Yohana menepuk lembut pundak Andhara lalu bergegas melangkah pergi dari ruangan itu. Kini tinggallah Andhara sendirian bersama gadis itu, ia merogoh saku snelli-nya dan mengeluarkan sebuah notes kecil dan pulpen. Dicatatnya dengan rinci pemeriksaan vital gadis itu. Ia masih berada dalam tanggung jawab Andhara. Andhara tengah mengelus lembut pipi gadis itu ketika kemudian sosok itu muncul dan berdiri di ambang pintu. Andhara terkejut, ia menatap sosok yang sama terkejutnya itu. "Anda di sini, Dokter?" tanya sosok itu tidak percaya. "Tentu, Cecilia masih dalam tanggung jawab saya, Dokter!" jawab Andhara lalu mendorong kursi itu untuk duduk sosok yang masih tampak pucat itu. "Terimakasih," gumam sosok itu lalu melangkah masuk dan duduk di kursi yang Andhara sodorkan, matanya menatap nanar Cecilia yang masih belum sadar itu. "Itu sudah tanggung jawab saya, Dok! Jangan sungkan," Andhara tersenyum kecut melihat bekas infus di punggung telapak tangan kirinya itu, dokter mah bebas ya? Sosok itu terdiam, ia meraih tangan Cecilia, menggenggam tangan itu erat-erat. Andhara menatap seksama wajah pucat itu, matanya memerah hingga kemudian ada pertanyaan menggelitik yang membuat Andhara penasaran. Ia hendak menanyakan pertanyaan yang mengusiknya itu, namun entah mengapa ia ragu, dan memilih diam dan bertanya hal lain. "Bagaimana operasi Anda, Dok?" "Lancar, seperti yang Anda lihat," Yudha menoleh, menatap langsung ke mata Andhara, yang langsung membuat Andhara tidak nyaman dengan tatapan itu, kenapa rasanya begitu sakit melihat tatapan itu? "Semoga Anda segera pulih," gumam Andhara sambil mengalihkan pandangannya. "Terimakasih banyak, Dok." Andhara hanya mengangguk sambil tersenyum, keduanya kemudian terdiam dalam diam masing-masing. Yudha terus menggenggam tangan gadis itu, sementara Andhara berusaha menekan kuat-kuat perasaan tidak nyamannya. Kenapa rasanya benar-benar tidak nyaman ketika ia dekat dengan sosok dokter bedah orthopedi ini? Menatap mata itu? Sorot mata itu? Kenapa rasanya benar-benar tidak nyaman sampai ia tidak bisa mendeskripsikan apa yang Andhara rasakan? 'Apa yang Anda sembunyikan di balik sorot mata itu, Dokter?' *** Yudha masih belum beranjak dari sisi pembaringan Cecilia, hingga kemudian Yosef masuk dan menepuk pundaknya dengan lembut. "Kalau pasien yang melakukan ini, apa yang akan kamu lakukan, Yud?" tanya Yosef, salah satu sejawatnya di poli orthopedi sambil tersenyum kecut. "Melakukan ini apa maksudmu?" Yudha menoleh, menatap Yosef yang sudah berdiri di belakangnya itu. "Kabur dari kamar inapnya, melepas paksa infusnya, tidak minum obat dan tidak ada di kamarnya ketika tim dokter hendak visit, apa yang akan kamu lakukan pada pasien itu?" sindir Yosef sambil geleng-geleng kepala. "Aku maki-maki paling," jawab Yudha santai sambil geleng-geleng kepala. "Oke, berarti aku bisa memaki-maki mu, bukan?" Yosef tersenyum sinis, kondisi Yudha belum pulih betul. "Silahkan," gumam Yudha pasrah. "Bisa kembali ke kamarmu? Pasang kembali selang infusmu?" Yudha menghela napas panjang, ia bangkit kemudian mencium lembut kening Cecilia. Mengelus pipinya dengan penuh kasih. Lalu membalikkan badannya dan melangkah melewati Yosef tanpa sepatah kata apapun. Yosef hanya menghela nafas panjang sambil geleng-geleng kepala. Ia tahu betul bagaimana sifat dan watak Yudha Abimana itu. Mereka teman satu angkatan di PPDS Bedah Orthopedi. Sebelum hal yang memporak-porandakan hidup dan dunia Yudha terjadi, ia sosok yang begitu ramah, murah senyum, dan hangat. Bukan monster seperti yang kebanyakan orang kenal sekarang. Memang peristiwa buruk bisa dengan begitu cepat merubah pribadi seseorang bukan? Dan itulah yang sekarang terjadi pada Yudha. Yosef menatap gadis kecil yang terbaring itu. Dialah satu-satunya alasan Yudha tetap hidup dan semangat menjalani hari-harinya meskipun separuh hati dan napasnya sudah pergi meninggalkan dirinya. Yosef kembali menghela napas panjang, ia kemudian melangkah keluar dari ruangan itu, membiarkan gadis itu tenang beristirahat hingga kemudian ia bisa kembali sadar dari tidur panjangnya ini. *** Andhara termenung di kursinya, kenapa ia malah jadi memikirkan sosok itu? Bukan apa-apa, ia jadi penasaran dengan ada apa di balik sorot matanya itu. Duka apa yang sosok itu rasakan? Andhara merogoh iPhone dari saku snelli-nya, dibukanya akun i********: miliknya dan berselancarlah ia mencari akun sosok Yudha Abimana itu. Setelah sekian lama ia berselancar, tidak ada satupun akun yang bisa diindikasikan sebagai akun sosial media sosok itu. Andhara tersenyum kecut, dia bukan golongan lansia bukan? Kenapa sosial media sekelas i********: ia tidak punya? Atau ia pakai nama lain? Bergegas Andhara menutup akun instagramnya, lalu membuka akun f*******:, hasilnya pun sama! Nihil! Andhara kembali memasukkan iPhone ke dalam sakunya, kenapa sosok itu begitu misterius sih? Ia ingin bertanya pada Yohana, tapi rasanya lebih baik menunggu sosok itu kemari bukan? Tidak masalah jika ia harus ikut nongkrong di IGD, yang jelas rasa penasarannya bisa terobati. Andhara masih bergelut dalam pikirannya yang berkecamuk tidak jelas itu ketika kemudian pintu ruang prakteknya terbuka, Andhara menatap wajahnya dan terkejut mendapati siapa yang berdiri di depan pintu dengan senyum getir itu. "Papa?" Laki-laki dengan rambut memutih itu tersenyum dan mengangguk, dibelakangnya Dokter Ibrahim turut ikut mengantar sosok itu. Membuat Andhara sontak bangkit dan berdiri. "Apa kabar, An?" tanya Dirga dengan mata berkaca-kaca. "Andhara baik-baik saja, Pa," dengan hormat, walaupun sebenarnya hanya setengah hati, Andhara meraih tangan laki-laki itu dan mengecup punggung tangannya, apa yang membuat papanya itu kemari? "Saya kira saya bisa pamit Dokter, masih ada beberapa pekerjaan yang harus saya lakukan," gumam Dokter Ibrahim lalu menatap Andhara dan tersenyum. "Saya mengerti, Dok. Terimakasih banyak sudah mengantarkan saya," Dirga menjabat erat tangan dirut RSUD itu. "Jangan sungkan, Dok. Saya merasa sangat senang dengan kunjungan Dokter kemari." Dirga tersenyum dan mengangguk, setelah kepergian direktur RSUD itu ia bergegas duduk di kursi yang ada di hadapan meja puteri kebanggaannya itu. "Papa merindukanmu, bagaimana pekerjaanmu di sini?" Andhara tersenyum getir, "Baik, seperti yang Papa lihat semuanya baik." Dirga menghela napas panjang, ia tahu betul Andhara masih membencinya, "Apa yang harus Papa lakukan supaya kamu mau memaafkan papa, An?" desisnya pilu. Andhara mengangkat wajahnya, menatap mata yang tengah menatapnya itu dengan tajam, "Hidupkan kembali mama, Pa!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN