CHAPTER 12

1103 Kata
Yudha mengerjapkan matanya, ia menatap sekitar, matanya masih tampak kabur. Hingga kemudian akhirnya ia bisa dengan jelas menatap tempat di sekelilingnya, ia masih berada di ruang pulih sadar. Yudha kembali memejamkan matanya, tubuhnya masih terasa kaku dan berat. Jadi seperti ini rasanya dioperasi dan dibetulkan letak tulangnya? Baru tahu Yudha kalau harus seperti ini yang dirasakan dari tindakan operasi itu. Meskipun anestesinya belum sepenuhnya hilang, namun Yudha sudah merasa sangat tidak nyaman dengan tangannya, tubuhnya. Yudha kembali membuka matanya ketika ia mendengar suara langkah kaki, mungkin itu Vera, perawat IGD yang sering ia bentak itu. Ah rasanya ia merasa sangat bersalah dan semena-mena selama ini dengan teman-teman satu timnya ketika operasi, terlebih kepada para koas dan residennya. Mungkin saja saat ini mereka tengah menertawakan Yudha bukan? "Dokter sudah sadar?" benar Vera yang muncul, sosok itu tersenyum sambil mendekati ranjang Yudha, memeriksa selang infus dan kondisi vital dokter bedah ortopedi itu. "Sudah, jam berapa ini, Ver?" tanya Yudha yang masih sangat kesulitan bergerak itu. "Pukul setengah dua belas malam, Dok." Yudha menghela nafas panjang sekali lagi. Ia kemudian memejamkan mata itu erat-erat ketika Vera kemudian membawa bednya keluar dari ruang pulih sadar. Ia pasti sudah akan di pindahkan bukan? Tiba-tiba ingatannya tertuju pada sosok kecil itu, ya ... gadis kesayangannya, Cecilia! "Ver, lantas bagaimana dengan anak saya?" tanya Yudha pada Vera yang tengah mendorong bednya keluar dari OK. "Di pindahkan ke PICU, Dok. Belum sadar sampai sekarang," gumam Vera lirih dan hati-hati. "Tapi semua baik-baik saja bukan?" Yudha benar-benar khawatir, ia tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri jika sampai Cecilia kenapa-kenapa. "Semua organ vitalnya baik, Dok! Masih dalam pemantauan juga, hanya tinggal menunggu Cecilia sadar." Yudha merasakan matanya memanas, kenapa tidak dia saja yang menanggung semua ini? Kenapa harus Cecilia? Yudha benar-benar benci pada dirinya sendiri. Sangat benci! Ia kemudian sampai pada salah satu ruangan VIP itu, Vera membawanya masuk ke dalam. Dan Yudha terkejut ketika mendapati sosok itu sudah berada di sana. "Ibu? Kapan Ibu sampai?" Yudha tidak menyangka bahwa ibunya sudah sampai di rumah sakit. "Belum lama, bagaimana keadaanmu, Yud?" tanya Tini dengan mata berkaca-kaca. "Seperti yang Ibu lihat! Yudha baik-baik saja!" "Tidak ada orang baik-baik saja yang didorong masuk dan dibedah di ruang operasi, Yud! Sebagai dokter tentu kamu paham bukan?" Tini tersenyum kecut, membantu Vera memposisikan bed itu di dalam ruangan. Yudha hanya tersenyum, memang sejak kapan tulang patah dikategorikan baik-baik saja? Dasar pembohong bodoh! Vera membetulkan sekali lagi infus yang macet itu, lantas segera undur diri. Ia tidak perlu menjelaskan panjang lebar bukan? Toh pasiennya adalah seorang dokter spesialis yang spesialisasinya kebetulan sama dengan masalah yang sedang ia hadapi itu, jadi dia tentu lebih paham bukan? "Ibu tidak mau bertanya tentang apa yang kemudian membuatmu bisa seperti ini, Yud. Ibu cuma mau istirahat lah dan lekas lah membaik." Yudha tersenyum, wanita pertama yang selalu mencintainya sampai kapanpun itu memang wanita yang paling mengerti Yudha dalam kondisi apapun. Yudha sangat beruntung memiliki wanita sekuat dan setegar ini. Tanpa Tini, Yudha bisa apa? Yudha memejamkan matanya takala ia merasakan tangan renta itu memijat kakinya dengan perlahan. Rasanya Yudha ingin menangis, namun ia tidak ingin menangis di hadapan wanita yang sudah bersusah payah melahirkan dan merawatnya itu. Ia tidak ingin mengukirkan kesedihan di paras itu. Cukup ia yang hancur, bersedih, berduka dan menderita, dia dan Cecilia jangan! *** Andhara sudah siap dengan setelan scrubnya ketika kemudian iPhone miliknya berdering, itu dari Yohana. "Halo, An kamu bisa jemput aku? Berangkat sama-sama ke RSUD pusatnya, kebetulan aku dapat tukar jadwal pagi." Andhara hanya tersenyum, "Aku perjalanan, tunggulah!" "Oke hati-hati!" Andhara bergegas menutup sambungan telepon dan meraih kunci mobil Yohana, ia harus ke RSUD pusat terlebih dahulu sebelum kembali dinas. Sekarang ia mempunyai tanggung jawab pasien itu di sana, sampai setidaknya gadis itu pulang ke rumah. Andhara memasang seat belt-nya lalu mulia membawa mobil itu pergi menuju RSUD pusat. Apa kabar gadis itu? Apakah ia sudah sadar? Sontak Andhara tersenyum melihat betapa manisnya wajah gadis itu. Sungguh cantik dan menggemaskan. Sementara waktu bolak-balik ke sana tidak masalah bukan? Setelah gadis itu pulih, tentu ia tidak harus ke sana. Tiba-tiba bayangan wajah itu kembali muncul, ada apa dengannya? Kenapa malah jadi memikirkan bapak bocah itu sih? Andhara benar-benar tidak mengerti, kenapa wajah itu begitu mengganggunya? Ada apa dibalik sorot mata itu? Kenapa seolah Andhara bisa merasakan apa yang dokter bedah orthopedi itu rasakan? Apakah jangan-jangan ..., Ahh ... Masa iya sih? Tidak mungkin! Andhara tersenyum kecut, berusaha membuang semua prasangkanya dan keingintahuannya tentang apa yang menganggu pikirannya perihal sosok itu. Bukan urusannya, dan dia tidak berhak ikut campur masalah orang bukan? Andhara dengan lincah membawa mobil itu ke rumah Yohana, dan benar saja, sahabatnya itu malah sudah menunggu di gerbang komplek perumahannya. Yohana bergegas masuk ke dalam mobil, "Hai, sudah siap?" tanyanya sambil memakai seat belt-nya. "Siap dong, berangkat sekarang?" "Tidak!" jawab Yohana singkat setelah beres memakai seat belt-nya. Andhara tercengang, ia menoleh menatap Yohana yang sudah rapi dengan setelan scrub berwarna hijau itu. "Lho, mau kemana lagi?" tanyanya heran. "Berangkat lah! Astaga, An ... kalau tidak berangkat sekarang mau kapan? Tahun depan? Kenapa masih pakai tanya sih, Ya Allah!" pekik Yohana gemas. Andhara sontak tertawa, ia kemudian membawa mobil itu kembali melaju meninggalkan area komplek perumahan Yohana. Jalanan begitu padat pagi ini, efek anak-anak pergi sekolah, para orang tua pergi bekerja, jadi jangan tanya kalau jalanan begitu macet dan mobil yang Andhara bawa hanya bisa merayap pelan. "Kau tau residen bedah orthopedi yang dulu meneleponku curhat perihal konsulennya yang killer itu?" tanya Yohana ketika mereka terjebak macet di lampu merah. "Iya kenapa?" "Dia adalah Dokter Yudha, ayah Cecilia." "Iya kah? Dia tidak tampak garang menurutku," Andhara berharap-harap cemas menanti mobil di depannya itu kembali melaju. "Bahh ... iya lah orang kondisi dia begitu payah kemarin, An! Coba pas kondisi sehat, setan aja kalah nyeremin sama dia!" gumam Yohana dengan berapi-api. Andhara sontak tertawa terbahak-bahak, sebegitu menyeramkannya kah sosok itu? Kenapa tidak tampak seperti itu di mata Andhara? Kenapa ia tampak seperti orang yang terluka dan tersakiti? Sampai Andhara seolah-olah dapat merasakan duka yang sejawatnya itu rasakan. "Lebay!" gumam Andhara lalu kembali membawa mobil itu melaju. "Ish! Tanya sendiri sama yang ada di RSUD nanti, dengar sendiri cerita mereka!" Yohana tidak terima dikatakan lebay, orang memang kenyataannya seperti itu kan? Andhara tidak menjawab, ia fokus membawa mobil itu merayapi kepadatan jalan, dalam hati ia malah jadi penasaran, sebenarnya siapa sosok itu? Dan ada apa dengannya? Kenapa ia begitu menggelitik hati Andhara untuk tahu banyak tentang dia? Andhara menghela nafas panjang, ia terus menasehati hatinya agar mengingat apa yang sudah ia alami, mengingat bahwa tidak ada laki-laki yang bisa dipercaya di dunia ini, termasuk ayahnya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN