"Kau seorang dokter bedah syaraf, An. Tentu kau tahu jika itu mustahil," desis Dirga lirih, matanya berubah sedu ketika melihat paras Andhara yang keras itu sedikit melunak, berubah menjadi raut sedih dengan mata berkaca-kaca.
"Aku cuma mau mama, Pa!" gumam Andhara lirih, ia menundukkan wajahnya, membiarkan air matanya menitik membasahi pipinya.
"Maafkan Papa, Papa berdosa sekali pada kalian!"
Andhara menyeka air matanya. Maaf? Apakah bisa ia memberi laki-laki yang menjadi cikal bakal dirinya lahir ke dunia ini sebuah maaf? Andhara belum mau mengangkat wajahnya ketika kemudian tangan Dirga menyentuh dan menggenggamnya erat. Andhara menatap sosok itu dengan linangan air mata, membuat hati Dirga teriris pedih.
"Papa akan menunggu maaf dari kamu, An. Sampai kapanpun akan Papa tunggu," gumam Dirga lirih.
Andhara tidak membalas, ia hanya menghela napas panjang. Entah sampai kapan, ia sendiri tidak bisa menjanjikan. Tangan Dirga meremas lembut tangan Andhara memberinya sensasi kenangan masa lalu ketika badai itu belum memporak-porandakan kehidupannya. Di mana ia paling suka menghabiskan waktunya dengan sang papa ketika sosok yang paling ia banggakan ini libur dinas, ya ... semuanya begitu manis, hingga kemudian saat itu datang.
"Oh ya, tujuan Papa kemari untuk mengantarkan mobilmu, satu jam lagi pesawat Papa akan berangkat, Papa harus segera kembali ke Jakarta karena nanti malam harus mengisi webinar untuk anak-anak Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih," Dirga melepas genggaman tangan itu, lalu menyeka air mata yang masih menitik di pipi Andhara.
"Selain berharap kamu mau memaafkan Papa, Papa harap kamu juga bisa memaafkan kesalahan orang masa lalumu. Papa tidak mau jika sampai kamu memutuskan untuk berhenti percaya dengan laki-laki, Papa ingin kamu memiliki keluarga bahagiamu sendiri, An," desis Dirga lirih.
"Tapi faktanya seperti itu, kan, Pa?" Andhara menatap tajam sosok itu, "Ada laki-laki yang bisa dipercaya?" tantang Andhara sengit.
Dirga hanya tersenyum kecut dan menganggukkan kepalanya mantab, "Tentu ada, Papa percaya masih ada laki-laki seperti itu. Dan Papa percaya suatu saat kamu akan menemukannya dan bahagia dengan kehidupanmu, An!"
Andhara tidak menjawab, kembali hanya helaan napas kasar yang terdengar. Dirga sontak bangkit setelah menyerahkan kunci mobil beserta STNK-nya, ia hendak berbalik ketika kemudian akhirnya Andhara kembali bersuara.
"Tunggu! Biar Andhara antar Papa sampai bandara!" gumam Andhara dingin lalu ikut bangkit dan meraih kunci mobil yang tergeletak di meja.
"Tidak usah, An! Kan Papa bisa ...,"
"Jangan menghalangiku untuk tetap melaksanakan baktiku untuk orang tuaku," tukas Andhara cepat lalu membuka pintu dan melangkah keluar dari ruang prakteknya.
Dirga tersenyum, matanya berkaca-kaca. Hatinya benar-benar pedih dan penyesalan yang teramat sangat itu menyeruak memporak-porandakan hatinya. Kenapa ia begitu kejam berbuat begitu keji menghancurkan keluarganya sendiri? Melukai anak gadis satu-satunya yang ia miliki ini? Anak yang sebenarnya tidak pernah menyusahkan dirinya dan cenderung selalu membuatnya bangga akan pretasinya? Kenapa ia begitu kejam? Ayah macam apa dia ini?
"Papa masih ingin berdiri di situ dan ketinggalan pesawat?" gumam Andhara yang mampu membuat Dirga terkejut.
Ia tersenyum, kemudian melangkah mengikuti anak gadis kebanggaannya itu menuju tempat parkir.
***
"Yud, sudah kau kabari si Lili?"
Yudha tersentak, ia menatap sosok itu dengan tatapan nanar.
"Perlukah aku memberinya kabar?" tanya Yudha sambil tersenyum kecut, mendadak hatinya kembali sakit.
"Dia ibunya Cecilia, ia juga berhak tahu kondisi anaknya, Yud."
"Ibu? Ibu bilang dia seorang ibu? Mana ada ibu yang tega meninggalkan anaknya sendiri begitu saja, hanya demi mengejar karier dan popularitas, Bu? Kalau hanya aku yang dia tinggalkan, it`s okay! Mungkin aku hanya menjadi penghambat karier dia. Tapi Cecil tahu apa, Bu? Bahkan dia masih enam bulan ketika kemudian Lili lebih memilih pergi mengejar kariernya dulu!" cecar Yudha begitu emosi, matanya memerah, rasanya hatinya benar-benar pedih.
Tini hanya menghela napas panjang, ia tahu betul apa yang terjadi sebenarnya, hingga kemudian kenapa anak sulungnya itu begitu membenci sosok mantan istrinya itu. Ia sendiri juga mengikuti perkembangan kabar terbaru dari mantan menantunya itu, Susan, anak bungsu sekaligus adik Yudha diam-diam selalu memantau Lili melalui sosial medianya. Jujur saja, Susan juga tidak terima sosok itu melukai dan meninggalkan begitu saja sang kakak.
"Biarkan dia tahu sendiri, toh selama ini dia juga tidak berusaha mencari tahu tentang kondisi anaknya bukan? Tidak mencoba bertanya setidaknya Cecil sedang apa, sudah bisa apa dan lain sebagainya."
Tini kembali menghela napas panjang, kenapa harus seperti ini jalan hidup anak kebanggaannya itu? Apa salah dan dosa yang sudah ia perbuat hingga Yudha harus menanggung beban hidup seperti ini?
"Kamu tidak mencoba mencari pendamping lagi, Yud?" tanya Tini yang berharap Yudha dapat menemuka wanita yang tepat untuk mendampingi dia dan menjadi ibu sambung untuk Cecilia.
"Sakit yang Yudha rasakan belum sembuh, Bu. Jadi Yudha lebih baik sementara ingin seperti ini dulu, hanya berdua dengan Cecil."
"Kamu masih panjang jalan hidupmu, Yud. Segera temukan pendamping yang bisa menerimamu apa adanya, bisa menjadi alasanmu bahagia," desis Tini lirih.
"Yudha paham, hanya saja Yudha belum siap, Bu. Yudha takut kembali harus terluka."
***
Dengan linangan air mata, Andhara membawa kembali mobilnya menuju RSUD. Air matanya makin deras mengalir ketika kemudian menemukan segepok uang yang ditinggalkan Dirga di bawa dashboard mobilnya. Dirga memang benar-benar berubah, ia sudah kembali menjadi Dirga yang dulu Andhara kenal dan banggakan. Namun itu tidak serta merta membuat ia dengan begitu mudanya melupakan semua yang sudah Dirga lakukan. Tidak semudah itu!
Mungkin Andhara perlu banyak waktu, ia paham, tentu sangat paham bahwa tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Semua pasti pernah berbuat atau melakukan kesalahan, itu sudah kodrat. Manusia hanya makhluk biasa, dan kesempurnaan itu hanyalah milik Tuhan semata. Itu sudah menjadi teori.
Andhara menyeka air matanya, ia tahu bahwa Dirga tulus meminta maaf padanya. Namun jujur untuk sekarang ia belum bisa! Hatinya teramat sakit. Kejadian itu kemudian membuatnya harus menelan pil pahit seumur hidup karena kehilangan sosok ibunya. Bagaimana ia bisa dengan begitu mudah memaafkan semua kesalahan Dirga?
Andhara juga benci sebenarnya dengan dendam dan sakit hati yang ia simpan itu. Ia sudah lelah dengan itu semua, namun ia bisa apa? Semakin kuat ia berusaha melupakannya, makan semakin kuat luka itu mencengkeram sanubarinya. Kenapa Andhara begitu lemah seperti ini? Kenapa ia tidak bisa dengan mudah memaafkan?
Andhara sudah kembali sampai di RSUD, ia mematikan mesin mobilnya. Sejenak ia menghirup udara banyak-banyak, menghembuskan perlahan-lahan. Dihapusnya air mata yang masih menggenang itu, lalu ditatapnya pantulan dirinya di kaca mobil.
"Maafkan Andhara, Pah. Andhara terlalu egois, hanya saja luka itu masih benar-benar membekas dan menyiksa Andhara setiap hari," Andhara kembali menghela napas panjang, "Andhara sayang papa!"