CHAPTER 11

1054 Kata
"Bisa antarkan aku pulang, Yo? Takut Ada cito di sana!" "Bagaimana kalau mobilku kau bawa saja dulu, An? Aku tidak bisa meninggalkan IGD," gumam Yohana lalu menjejalkan kunci mobilnya ke dalam tangan Andhara. "Oke baiklah, jangan khawatir aku tidak akan menggadaikan atau melarikan mobilmu!" seloroh Andhara sambil tersenyum kecut. "Aku tahu kemana mencarimu jika sampai kamu melarikan mobilku!" balas Yohana sambil menempuk gemas pundak Andhara. "Baiklah," Andhara menoleh dan menatap sosok itu sekali lagi, "Dokter Yudha, saya pamit dulu!" Yudha tersenyum, ia balas menatap Andhara, menatap dalam ke dalam mata Andhara. Sedetik kemudian Andhara merasakan ada yang aneh, ia buru-buru memalingkan wajahnya, mata itu benar-benar membuat Andhara tidak nyaman. "Yo, aku pulang dulu ya!" bisik Andhara lalu melangkah meninggalkan dua orang sejawatnya yang masih berdiri di depan OK itu. Entah mengapa laki-laki itu membuat Andhara tidak nyaman. Ia buru-buru mempercepat langkahnya menuju parkiran, ia harus segera pulang. Takut kalau-kalau di RSUD sana ada kasus yang membutuhkan operasi cito segera. Andhara menemukan mobil Yohana, dengan sedikit tergesa ia masuk ke dalam dan menghidupkan mesinnya. Tiba-tiba sosok itu kembali terbayang, begitu payah dengan baju berlumuran darah dan tangan yang tampak membengkak akibat frakturnya. Ada apa dengan sosok itu? Kenapa Andhara merasa aneh? Andhara buru-buru membawa mobil itu keluar dari halaman rumah sakit. Rasanya ia benar-benar tidak nyaman sekarang, kenapa sorot mata itu seolah menarik perhatian Andhara? Kenapa sorot itu nampak sangat memperlihatkan duka? Bukan ... bukan duka karena kondisi Cecilia, Andhara tahu betul itu! Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa ia begitu tertarik dengan sosok asing itu? Andhara seperti tahu betul duka apa yang di sembunyikan mata itu, kenapa ia malah jadi tertarik pada masalah yang di hadapi bapak dari pasiennya itu? "Apa yang Anda sembunyikan, Dokter Yudha? Kenapa seolah saya bisa merasakannya?" *** Yudha menghela napas kasar, biasanya ia yang memimpin jalannya operasi, sekarang ia yang harus berbaring di meja operasi dan menjalani prosedur pembedahan itu. Ia menatap nanar kamar operasi yang sedang disiapkan untuknya itu. Kenapa ini semua harus terjadi? Yudha benar-benar menyesalkan kecerobohan nya itu. Tiba-tiba Yudha teringat dengan sosok yang tadi menolong anaknya itu, sosok cantik itu sedikit mengejutkan dirinya, semuda itu sudah jadi dokter bedah syaraf? Yang benar saja! Siapa dia sebenarnya? Kenapa Yudha jadi bertanya-tanya? Sekali lagi Yudha menghela napas panjang, ia melirik suara langkah yang terdengar mendekatinya itu. Dokter Peter rupanya, dokter anestesi yang biasanya selalu bergabung dalam operasi yang ia pimpin. "Sudah siap, Yud?" tanya Peter sambil tersenyum kecut, "Biasanya kau yang begitu garang memimpin operasi, kenapa jadi sekarang kamu yang tergolek di sini?" "Namanya juga kena musibah, Pet!" Yudha mendengus kesal, siapa juga yang mau terbaring tidak berdaya di sini? "Kau tahu dokter yang mengoperasi anakmu tadi? Masih begitu muda ya? Kerjanya bagus, teliti, bersih dan perfect!" puji Peter sambil mempersiapkan anestesi untuk Yudha. "Ya, aku sudah bertemu dengannya!" jawab Yudha mencoba tenang, padahal ia sendiri kepo maksimal dengan sosok itu. "Dia anak Dokter Dirgantara Pambudi, ia punya pengaruh besar di IDI pusat, Yud!" guman Peter yang sontak langsung menarik perhatian Yudha, kenapa Peter bisa tahu lebih banyak? Sebenarnya gadis bersama Andhara itu siapa? "Dan dia, mohon maaf sebelumnya ya, Yud ... dia bernasib sama sepertimu." Yudha menoleh, menatap Peter tidak mengerti, "Bernasib sama denganku?" "Iya, dia sama sepertimu, rumah tangganya hancur karena orang ketiga." Yudha kembali tersentak, jadi ... belum sempat Yudha kembali bertanya, Peter sudah menyuntikkan sryinge di tangannya. Dan tidak perlu banyak waktu Yudha sudah tertidur dengan begitu lelap. Peter menatap nanar Yudha yang sudah dalam pengaruh anestesi itu, ia sendiri iba dengan sosok itu. Seganteng ini dan harus menjalani kehidupan pahit sebagai duda anak satu? Sungguh kasihan bukan? Peter tersenyum kecut, ia bergegas mendorong brankar itu masuk, sudah saatnya Dokter Temy membenahi fraktur yang juniornya alami itu. *** Sampai di kontrakannya Andhara tidak bisa langsung memejamkan matanya, ia bergegas melangkah ke kamar mandi dan mengguyur tubuhnya dengan air. Kenapa ia merasa aneh setelah menatap mata itu? Jangan bilang kalau perasaan laknat itu kembali muncul hanya karena ia menatap dalam-dalam mata itu. Dan tunggu! Sosok itu sudah berkeluarga bukan? Dia sudah memiliki anak! Andhara tersenyum, kenapa pikirannya bisa sampai sana sih? Bukannya ia sendiri sudah bilang pada dirinya bahwa ia tidak akan kembali percaya dengan laki-laki dan cinta? Dan kenapa hanya karena saling tatap di depan OK tadi lantas kemudian ia berubah pikiran? Tapi siapa bilang kalau Andhara jatuh cinta? Ia hanya penasaran dengan sosok itu, kenapa sorot mata itu seolah menampilkan duka dan luka yang begitu dalam, luka yang Andhara sendiri bisa merasakannya. Sebenarnya ada apa? Andhara buru-buru menyelesaikan ritual mandinya, dan bergegas keluar dari kamar mandi dan kembali ke kamarnya. Saatnya istirahat bukan? Ia sudah merebahkan tubuhnya di kasur ketika pesan itu masuk ke iPhone-nya. [Sudah sampai rumah, An?] Andhara tersenyum, macam pacar saja sedetail itu tanya sudah sampai atau belum? Eh ... Andhara kan bawa mobil dia ya? Pantas saja! [Baru selesai mandi nih, makasih tumpangannya, Yo!] [Jangan sungkan, besok kau harus kesini berarti,] [Menjemputmu?] [Follow up pasienmu lah, apa lagi? Kau mau lepas tanggung jawab?] Andhara tertegun, jadi tugas dia tidak hanya mengoperasi saja? Tapi juga memantau gadis kecil itu? Tapi bukankah prosedurnya seperti itu? Ia harus terus memantau perkembangan pasiennya itu pasca operasi? [Oke-oke, aku tidak akan lepas tanggungjawab kok, apalagi dia anak sejawat kita.] Andhara meletakkan iPhone miliknya di meja kecil yang ada di sebelah kasurnya. Ia mencoba memejamkan matanya malam ini. Ia berusaha untuk tidak memikirkan apapun itu. Kini fokusnya ada pada Cecilia, kira-kira apa efek kraniotomi yang akan terjadi kepadanya besok? Ia masih cukup kecil. Andhara menghela nafas panjang, wajah gadis kecil itu begitu cantik, Andhara mengakui itu! Pasti ibunya juga sangat cantik bukan? Andhara tersenyum, ada sedikit rasa hangat dan nyaman yang menyapa hatinya ketika ia menatap wajah tadi. Rasa hangat dan nyaman yang kemudian menyajikan pedih yang teramat sangat menyiksa di hatinya. Seandainya ... Ahh ... Andhara buru-buru mengusir bayangan masa lalunya itu jauh-jauh. Ia sudah sangat lelah, ia ingin istirahat. Dan dengan sedikit memaksa Andhara memejamkan erat-erat, awalnya memang sedikit terpaksa tetapi lama-lama matanya mau menuruti apa yang Andhara perintahkan, ia terlelap dalam tidurnya. Sementara itu di dalam ruangan itu, sosok yang tidak sadarkan diri itu sedang menjalani prosedur menyambung tulangnya yang patah itu. Wajahnya begitu tenang, semua masalah dan lukanya seolah sirna dengan terpejamnya matanya itu. Ya ... walaupun ketika terbangun nanti luka itu masih tetap ada, ada di tempat dimana dia berada.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN