9. Hidup Kedua

1546 Kata
Pelan-pelan tangannya terangkat untuk menyapu pipi basah sang ayah. Serasa bangkit dari kematian, wajah inilah yang ingin dinantinya ketika bangun. Adira segera menggapai tangan putranya untuk diletakkan pada pipinya. "Jangan takut! Kamu baik-baik aja. Kita akan mulai semuanya dari awal," ujar beliau. Adhitya mengangguk, mengalihkan perhatian pada pintu. Berharap ada seseorang lagi yang ditunggu. Sang istri. Luna tak muncul juga. Adira memahami siapa yang dicari putranya itu. "Mulai hidup yang baru, tanpa Luna." Adhitya terkejut dengan perintah dingin beliau. Tangannya terangkat untuk menyentuh kepalanya yang masih berdenyut. Malam itu, Ardhy memukul keras di sana. Berulang kali Adhitya menggeleng hanya agar menepis sisi trauma mengerikan malam itu. "Luna di mana, Pa?" tanya Adhitya. Suara lemahnya membuat Adira sangat kasihan. Tak lama, perhatian mereka teralihkan saat Yuki masuk. Gadis itu tersenyum dan mendekati kasur di sisi kaki Adhitya. "Ohisashiburi desu, Dhitya-kun!" sapa gadis itu, mengatakan bahwa mereka sudah lama tak berjumpa. Adhitya belum menjawab, hanya menatap sekeliling langit-langit kamar dengan awas. Akhirnya dia menyadari ornamen dan bentuk desain dari ruangan itu bukanlah khas Indonesia. "Pa, ini di mana?!" Suara Adhitya mulai lebih stabil. Saat hendak beranjak, Adira memegang bahunya agar kembali beristirahat. "Kenapa di sini? Luna mana, Pa?" lirihnya. Adira menoleh pada Yuki dan berkata, "Panggil dokter!" Yuki segera berlari meninggalkan ruangan. Adira menangis melihat rasa takut dan cemas putranya. Mengapa dia ada di Jepang? Di mana Luna? Hal itu menggerayangi pikirannya. Tak bertenaga menghadapai sang ayah, Adhitya menyerah dan kembali berbaring. Tak terlalu banyak bicara, tapi Adira tahu ada banyak hal yang menyakitkan yang harus ditanggungnya. "Luna sudah meninggal, Dhit," ujar beliau. Adhitya terkejut. Air mata hangat mengalir dari ekor matanya. Raut sang ayah sangat serius, menciptakan rasa takut yang semakin membelenggu Adhitya. Genggaman tangan beliau terasa hangat, juga usapan lembut di pipinya. "Malam itu Luna jatuh ke kolam. Dia tenggelam dan nggak bisa diselamatkan lagi. Maaf, tapi kamu harus kuat, Dhit. Papa di sini." "Nggak," lirihnya dengan dagu bergetar, beriring air mata yang terus meluncur deras di pipi. "Papa bohong, kan?" Teriakan terakhir Adhitya menjadi cambukan rasa sakit Adira. Dia meronta-ronta memanggil nama Luna, sang istri yang baru saja dinikahinya. Tak lama, dokter dan petugas medis lainnya masuk untuk menenangkan sang pasien. "Luna!" Sempat didengar Adira teriakan itu sebelum obat bius menghilangkan kesadarannya. Adira segera keluar sambil menghapus air matanya. Langkahnya disambut pegangan di lengan oleh gadis cantik itu. Diantarnya beliau duduk untuk mengurai sisi lelahnya. Yuki memegang pundak beliau, mempertanyakan keputusan yang dia dengar tadi. "Kenapa Paman berbohong? Adhitya akan semakin terpukul, kan? Harusnya-" "Biar saja, Yuki," sahut beliau. "Saya hanya tidak mau dia kembali ke Jakarta dan menanti Luna yang tak tahu kapan sadar lagi. Mimpi buruk itu, kamu pikir Adhitya bisa melaluinya?" Yuki terdiam. Meski keadaan fisik Adhitya berangsur baik, tak ada yang bisa menjamin bagaimana mentalnya setelah ini. Dia mengalami mimpi buruk dalam dunia nyatanya. "Putraku yang ceria itu, apa aku bisa mendapatkannya lagi, Yuki? Mungkin akan terasa sakit, tapi dia harus bangkit. Biar saja dia tahunya Luna sudah meninggal, pelan-pelan kita akan bantu mengubur kisah lamanya dan memulai hidup baru." Yuki mengangguk, menghapus air matanya yang turut jatuh ke pipi saat menyadari rasa sakit pria ini. Adira berusaha tersenyum, mengusap kepala Yuki. "Kapan kamu mulai aktif bekerja, Yuki?" Yuki mengangguk. "Minggu depan aku akan mulai bertugas jadi psikiater di rumah sakit ini." Gadis berdarah Jepang-Indonesia itu tersenyum sambil menggenggam tangan Adira, memberi rasa aman agar dipercayai. "Paman jangan cemas. Aku akan menjaga Dhitya seperti selama ini Paman merawatku." Adira bernapas lega. Mereka bangkit dan berjalan di lorong, menyerahkan perawatan sepenuhnya Adhitya pada pihak medis. Yuki yang berjalan di samping beliau, terlihat kasihan dengan senyum yang begitu dipaksakan. Mereka berbelok duduk di taman, menatap bunga yang mulai muncul mengisi musim ini. Udara mulai terasa hangat. Suasana kota Osaka yang sangat indah. "Dhitya sangat kuat. Dia pasti nggak akan menyerah. Dia bisa bangkit, kan?" ujar Adira sambil menatap langit. "Iya!" "Aku harap Dhitya tak pernah tahu kejadian sebenarnya. Kalau dia tahu perasaan Ardhy dan motif pembunuhan itu, dia pasti akan lebih shock. Dia akan membenci Ardhy dan mungkin akan menjauhi Luna." Adira kembali menoleh pada gadis cantik berambut sebahu itu. Raut teduhnya menunjukkan simpati akan penderitaan yang juga dia rasakan. "Tapi mengatakan Luna meninggal, itu seperti pukulan yang lebih menyakitkan untuk Dhitya, Paman." "Untuk saat ini, saya juga tak ingin mereka bersama. Luna adalah mimpi buruk Adhitya. Tapi jika suatu saat Tuhan berkata lain, mungkin takdir akan mempertemukan mereka lagi." Memisahkan keduanya demi masa depan yang lebih baik. Adhitya dan Luna menjalani hidup terpisah. Adira berjuang sekeras mungkin untuk tetap melakukan bisnisnya, memberikan kendali penuh pada Yuki untuk merawat Adhitya. Biaya perawatan Luna tentu tetap harus ditanggungnya, tak tahu kapan sadarkan diri lagi. * Musim berganti beriring detik jam yang berputar. Salju tebal menutupi badan jalan. Butir putih itu begitu cantik jatuh di langit. Udara yang dingin itu memaksa orang-orang bergulung dalam selimut. Di dekat jendela, Adhitya duduk sambil menyentuh jendela kaca. Menatap indahnya suasana sore hari berhias senyum. Akhir tahun ini sangat indah dihiasi salju. 'Maaf, nggak bisa bawa kamu melihat salju, Lun.' Air matanya jatuh berderai. Tangannya gemetar mengurung sisi kepalanya. Berulang kali suara jerit Luna malam itu terngiang di pikirannya. Luna sudah meninggal. Sudah berlalu enam bulan sejak kejadian itu. Senyum Adhitya belum sepenuhnya kembali. "Luna!" Suara jerit terdengar, menarik perhatian Yuki yang sedang memakan ramen di meja counter dapur. Diletakkannya sumpit itu dan berlari ke kamar Adhitya. "Hei!" Pekik Yuki terdengar saat melihat Adhitya memukul kepalanya berulang. Mimpi buruk itu belum sepenuhnya pergi. Setengah tahun tak cukup bagi Adhitya untuk melupakan cinta pertamanya. Hari pernikahan yang berubah jadi bencana. "Yamero!" perintah Yuki agar Adhitya berhenti memukuli kepalanya. Ditariknya kedua tangan pemuda itu, menatapnya dengan teduh. Tak ada sahutan Adhitya lagi, kembali berlindung dalam pelukan Yuki untuk menenangkan diri. Gadis itu duduk di samping Adhitya dan mengusap kepalanya. "Kamu pasti bisa, Dhit. Ini sulit, tapi cuma ini yang bisa kamu lakukan agar Paman tak semakin sedih," ujar Yuki. "Yuki-chan." Adhitya mengaduh saat Yuki menjitak kepalanya. Segera dia melepaskan diri dengan wajah cemberut. "Kenapa dipukul? Sakit!" keluh Adhitya. "Sakit? Kamu tadi juga mukul kepala kamu! Berhenti memanggilku Yuki-chan, aku ini lebih tua lima tahun darimu. Panggil aku Aizawa-oneechan!" kesal Yuki, meminta Adhitya memanggilnya 'kakak' di belakang namanya. Aizawa Yuki adalah kakak sepupu Adhitya. Dia yang kini bertanggung jawab untuk menjaga pemuda itu. Pelan-pelan menyembuhkan mental Adhitya sebab dia adalah psikiater di rumah sakit terkenal Osaka. Adira mempercayakan kelanjutan hidup putranya di tangan Yuki. Adhitya turun dari kasur, mengikuti langkah Yuki ke dapur saat mencium aroma ramen itu. "Ramen?!" Yuki tersenyum tipis. Adhitya mengambil ramen di atas meja counter dan mulai menyumpit mie pedas itu dan sesekali meniup asapnya karena panas. Duduk santai sambil menikmati ramen di tengah dinginnya salju yang mengurung udara senja. "Ittadakimasu!" seru Adhitya sebelum menyeruput mie itu ke dalam mulutnya. Yuki duduk di samping Adhitya, menatap raut ceria dan tersenyum pemuda yang baru saja menginjak sembilan belas tahun itu. Bertopang dagu sambil memandangi cara makan Adhitya, sesekali dibalas pemuda itu dengan senyuman dan pipi menggembung. 'Aku tau kamu memaksakan diri demi Paman Adira, Dhit. Suatu saat senyum kamu akan sempurna. Karena itu, bertahanlah!' batin Yuki. Yuki melepaskan syal dari lehernya, memakaikan benda itu ke leher Adhitya agar lebih hangat. Dirinya sudah berjanji pada Adira untuk menjaga Adhitya dan mengembalikan senyumnya. "Kyō wa umaku ikimasen ka," tanya Adhitya dengan suara tak jelas karena mulutnya masih dipenuhi ramen. Dia menanyakan apakah Yuki tidak pergi bekerja hari ini. Yuki menggeleng, mengambil kopi hangat yang ada di sisi mejanya. "Nai. Hari ini aku cuti. Jadi, kapan kamu bisa masuk kuliah? Nggak bosan di rumah terus?" Adhitya hanya angkat bahu, menghabiskan saja sisa ramennya. Sempat dituangkannya sisi mangkok itu dan menyeruput masuk kuah pedas itu langsung ke mulutnya. Udara yang dingin membuat pemuda itu seperti anjing gila yang menyantap ramen meski pedas dan panas. "Hari ini istirahat saja. Besok itu minggu, kamu harus belajar bahasa Jepang lagi," sahut Yuki, mengambil mangkok kotor itu dan meletakkannya pada baki cuci. "Arigatou, Onee-chan!" Adhitya mengisi waktu dengan denting piring dan suara kucuran kran saat Yuki beraktifitas di sana. Hening mengisi waktu. Adhitya menunduk sambil memutar cincin pernikahan yang masih tersemat di jarinya. Dia belum melepas benda itu karena masih menganggap dirinya adalah suami Luna. Meski sepengetahuannya Luna sudah meninggal. "Apa papa akan marah kalau aku ke Jakarta?" tanya Adhitya. Yuki terhenti, menutup kran itu dan berbalik ke arah meja counter. "Tolong, Dhit. Kasihan Paman. Setengah tahun sudah cukup untuk dia bersedih karena memikirkan kamu. Aku tau ini juga berat untukmu." "Wakarimashita!" sela Adhitya dengan nada suara lemah, mengatakan bahwa dia mengerti apa penjelasan Yuki saat ini. Tak ada lagi sahut yang terdengar. Yuki merasa kasihan dengan Adhitya. Berharap senyum dan keceriaan Adhitya kembali, dia pun hanya berpura-pura tegar dan menyimpan rasa sakit dan kerinduan pada sang istri. Mengatakan bahwa Luna sudah meninggal saja sudah sangat menyakitinya. "Enam bulan ini sudah cukup untuk kesedihanmu, Dhit. Bangkitlah! Luna juga nggak akan suka kamu begini," saran Yuki. "Aku cuma ingin ke makamnya. Cuma itu," lirihnya. Yuki terhenyak menatap betapa adiknya itu merindu sang istri. Adhitya melipat kedua tangannya, menyembunyikan wajahnya di atas meja counter hanya agar puas menjatuhkan air mata. Waktu berlalu begitu cepat, tapi kejadian itu masih seperti kemarin bagi Adhitya. Yuki tak ingin menganggu, perlahan juga menghapus air matanya yang jatuh saat mendengar suara isak Adhitya sesekali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN