Di belakangnya, Bintang menatap miris pada pria separuh baya itu. Dia seorang ayah yang terguncang dengan masalah bertubi ini. Sudah mendengar bahwa pelaku adalah kakak kandung Luna. Tetap bertanggung jawab pada sang menantu adalah bukti betapa baiknya pria ini.
"Selanjutnya gimana, Om? Paman dokter bilang, Dhitya akan dibawa berobat ke Jepang."
"Mungkin selamanya akan tinggal di sana."
Bintang terkejut, enggan menyela. Adhitya dan Luna yang baru menikah dan akan dipisahkan, mungkin ini keputusan terbaik beliau. Adira berbalik menatap nanar pemuda itu.
"Saya takut jika tetap di sini, saya akan membenci Luna. Ini bukan salahnya. Si b******k itu juga sudah menerima hukumannya. Adhitya butuh waktu lebih lama untuk sembuh," ungkapnya.
Adira pergi meninggalkan ruang rawat itu. Luna jatuh koma dan Adhitya yang belum sadarkan diri. Perpisahan sementara adalah pilihan terbaik. Langkah membawa pria tinggi tegap itu menuju sebuah lembaga pemasyarakatan yang berada tak jauh dari lokasi.
Sudah beberapa hari berlalu sejak insiden itu, Ardhy mendekam di jeruji besi. Kecelakaan atau memang berniat melakukan pembunuhan, Adira tak ingin pria itu terbebas dari sana dalam waktu dekat.
"Aku nggak akan memohon untuk kau lepaskan. Tapi tolong, jaga adikku," pinta Ardhy, memohon keringanan hati Adira untuk menjaga Luna.
Terakhir kali sang adik tenggelam di malam itu. Walau tak mengingat sebagian besar karena mabuk, kesadarannya kembali saat melihat sang adik hampir kehilangan nyawa di kolam.
Tak ada tanggapan dari Adira. Tak sebengis pria ini, Adira hanya ingin Ardhy dijatuhi hukuman sesuai perbuatannya.
"Suatu saat kau akan membayar semua ini."
"Berjanjilah kau akan menjaga Luna," pintanya pada pria yang berusia lebih tua tujuh tahun darinya itu. Adira, mertua satu hari sang adik.
"Kau mencoba membunuh putraku, kenapa aku harus membuang waktu dan uang untuk mengurusi adikmu?" sinis Adira.
Ardhy berulang kali menghentak jeruji besi agar dilepaskan.
"Keluarkan aku dari sini, tolong. Aku ingin melihat adikku."
Tangisan yang membuat Adira muak. Kasih, cinta pada sang adik. Cinta mengerikan yang menyebabkan mimpi buruk itu. Adira teringat saat penyelidikan, petugas keamanan menunjukkan rekaman CCTV kejadian itu. Dia mencelakai Adhitya dan menyentuh Luna hingga membuat Adira terkejut. Malam itu, Ardhy dalam keadaan mabuk dan mungkin saja hukumannya lebih ringan dan berdalih bahwa dia tak sengaja. Akan tetapi, fakta mengerikan terkuak pada malam itu.
'Kalau Dhitya tau yang sebenarnya, bagaimana perasaannya? Dia pasti sangat shock. Nggak tau gimana takdirnya nanti, sebagai ayah, aku hanya ingin memberi kehidupan baru untuk putraku,' batin Adira.
Pria itu berbalik, tak peduli Ardhy yang terus berteriak untuk memohon Adira menjaga Luna. Kenyataan bahwa cinta terlarang Ardhy yang menjadi alasan pertumpahan darah itu. Jika Adhitya tahu, tak bisa dibayangkan pondasi hidupnya semakin runtuh. Lembaran baru harus dimulai untuk mengubur kisah lama.
*
Tepat dua minggu berlalu sudah. Adira menyempatkan diri menjenguk Luna. Tak ada Bintang di sekitar. Pemuda itu biasanya selalu menunggu tanpa kenal lelah. Ditatapnya cukup lama bias wajah cantik itu, menghapus sigap air matanya yang jatuh.
"Maafin papa, Luna. Dhitya harus tetap hidup, kan? Kalau kamu bisa bangun nantinya, berarti cerita kalian belum selesai. Selama itu, papa akan kembalikan senyum Dhitya seperti dulu."
Senyum terurai beriring mata yang basah. Betapa tegarnya pria ini menghadapi semuanya sendiri. "Kenapa dia harus mengalami hal buruk ini? Dia memang agak nakal, tapi dia sangat baik, Lun."
Tawa kecil pria itu terdengar hanya karena mengingat kelakuan konyol putranya. Dia duduk sebentar di dekat kasur Luna. Dipegangnya punggung tangan pucat yang masih tersambung selang infus itu.
"Papa jarang di rumah, kadang dia kesepian. Selalu cari cara supaya sibuk. Walau agak blangsak gitu, hatinya baik. Waktu SMP, dia pernah nyemplung di got cuma buat nolongin kucing yang jatuh di sana."
Bercerita banyak, berharap Luna mendengarnya. Gadis cantik itu divonis koma oleh dokter sebab gangguan otak karena tenggelam. Kondisi Luna jauh lebih berbahaya dibanding putranya.
"Mungkin kalian pernah ada di takdir yang sama. Tapi saat ini, biarkan Dhitya hidup lebih baik. Papa janji, saat dia sudah lebih kuat, papa nggak akan menahan kalian lagi. Tapi, apa pun keputusan nggak adil yang papa ambil, papa minta maaf. Ini semua demi kebaikan Dhitya."
Pintu ruangan terbuka. Bintang muncul dengan napas tersengal. Raut gugupnya beriring keringat yang mengucur di dahi. Adira bangkit dan berbalik menatap pemuda itu.
"Jadi benar Dhitya udah di Jepang sekarang, Om?" tanya Bintang, tak percaya.
Adira hanya mengangguk. Merapikan kembali jasnya karena waktu berkunjungnya sudah selesai. Hanya senyum tipis yang dia urai sambil memegang bahu pemuda itu.
"Maaf kalau kamu berpikir Om egois. Tapi ini demi kebaikan mereka," ujarnya.
Bintang menggenggam tangan Adira dengan gugup, sesekali menunduk dengan raut cemas.
"Aku akan berusaha sebisaku, Om. Tapi saat ini, perawatan Luna butuh biaya besar. Aku nggak tau apa aku bisa menjaganya seorang diri."
Bintang sedikit menjauh untuk mencari ruang agar bisa berlutut di lantai. Kepalanya tertunduk, mengeratkan jemari di lututnya.
"Aku tau perbuatan Kak Ardhy nggak termaafkan. Tapi Luna nggak bersalah. Luna cuma punya kakaknya dan sekarang dia di penjara. Cuma Om yang bisa biayai perawatan Luna."
Adira menatap serius. Hatinya masih berkecamuk hebat. Luna tak tahu kapan sadarkan diri, mungkin akan membutuhkan biaya besar. Tak adil rasanya jika Luna ikut menanggung perbuatan b***t sang kakak. Adhitya juga pasti sangat sedih jika sang istri menderita dan kehilangan nyawa.
"Tolong, Om. Aku akan melunasi tagihan dengan mencicilnya. Tapi saat ini, tolong bantu biaya rumah sakit. Aku cuma bisa memohon. Aku akan bekerja keras untuk menggantinya," lirih Bintang.
Adira mengusap kepala Bintang, mengisyaratkan agar pemuda itu bangkit untuk menghentikan simpuh mohonnya.
"Om akan tanggung semuanya, Bintang. Tapi, berjanjilah satu hal."
Bintang terdiam, beranjak untuk berhadapan dengan ayah Adhitya ini. Beliau memberikan sebuah kunci dan kartu nama pada sahabat putranya itu.
"Bawa Luna pergi jauh dari sini. Jaga dia sebisa kamu. Ini ada rumah dan kamu bisa tinggal di sana. Telepon dokter ini dan bawa Luna ke rumah sakitnya. Kabari saja untuk tagihan yang perlu saya bayar."
Bintang melepas napas lega sebab ayah mertua Luna ini tetap membiayai perawatan Luna. Dirinya bisa menjaga, tapi masalah biaya, tentu tak ada yang bisa dia lakukan. Ditatapnya kunci dan kartu nama itu. Ingin bertanya, tetapi Bintang merasa tak berhak untuk protes. Dia seorang ayah yang bahkan berlapang d**a untuk membiarkan Luna, sang menantu yang jadi akar masalah kesakitan putranya itu untuk tetap hidup. Bintang menerima dua benda itu, menatap beliau lagi.
"Nggak ada lagi Luna dalam hidup putraku. Kamu bertanggung jawab sepenuhnya pada Luna. Cintai dan rawat dia sebanyak yang kamu mau. Tapi kalau seandainya takdir membawa kembali Dhitya pada Luna, kamu harus pergi dengan ikhlas."
Bintang bahkan bungkam, belum membalas permintaan pria itu. Lebih tepatnya perintah karena dia tak diberi kuasa menolak. Adira sudah menetapkan peta hidup putra dan menantunya. Bintang hanya secara kebetulan berada di antara mereka.
"Lakukan yang kamu bisa. Saat kamu harus pergi, itu adalah batas cinta yang harus kamu patuhi. Aku nggak mau ada orang lain lagi yang mencintai Luna dan menyakiti Dhitya," tandas beliau.
Sambil meneteskan air mata, Bintang mengangguk berulang kali. Asal Luna tetap dalam perawatan, Bintang sudah sangat bersyukur. Berulang kali dia membungkuk untuk berterima kasih.
"Terima kasih, Om."
Hari itu terakhir kali Adira menatap sang menantu yang masih tidur dan bermimpi di alam bawah sadarnya. Sama seperti Adhitya yang berusaha sembuh dari luka dan mimpi buruk. Tak peduli betapa pekat masa lalu, dirinya akan mendampingi sang putra dengan senyum dan kesabaran.
Derap sepatu pantofel itu mengisi sunyi lorong di hari minggu. Beberapa pengawal sudah siap menanti kedatangan beliau. Pintu sedan terbuka untuk menggiring pria itu masuk. Laju ban mobil beradu dengan waktu. Tujuan selanjutnya adalah bandara.
"Ken, selalu pantau anak itu. Dia kuberi tanggung jawab untuk menjaga Luna.
Terus kabari aku tentang perkembangan Luna selama aku di Jepang," perintah Adira pada seorang pria yang merupakan kepala tim keamanan yang selalu di sampingnya.
"Baik, Pak!"
Masa kelam di Jakarta sudah berlalu. Di negeri indah sakura nantinya, Adhitya masih akan bergulat dengan rasa lelah dan sakit agar dia bisa kembali sadar dan menjadi pemuda ceria seperti yang dikenal selama ini.
*
Hari senja menghiasi langit indah Jepang. Kuncup indah bunga plum dan sakura di sisi kota Osaka mewarnai musik panas ini. Baru saja Adira turun dari pesawat setelah menempuh perjalanan beberapa jam. Tak lama, ponsel-nya berdering. Nama seorang gadis muncul di layar. Digesernya tombol hijau itu.
"Ya, Yuki," sambut Adira.
"Paman, Dhitya sudah sadar," jawab suara lembut dari sana dengan nada antusias.
Adira menyimpan ponsel, berlari secepat mungkin disusul oleh para pengawalnya. Putranya itu sudah menjalani perawatan beberapa hari sejak dibawa ke Jepang. Jepang awalnya akan menjadi rumah kedua dari bahtera yang baru saja dibangun Adhitya. Akan tetapi, tempat ini justru menjadi dunia baru setelah kejadian buruk itu.
Setibanya di rumah sakit, Adira segera menghampiri seorang wanita cantik berseragam putih. Dia melambai tangan dengan senyum cantik. Dialah Yuki, yang baru saja menelpon Adira. Aizawa Yuki, nama itu tertera di bet seragam putihnya.
"Paman ingin masuk? Ayo!"
Yuki membimbing Adira untuk masuk menemui Adhitya. Di sana, putranya itu masih terbaring menatap langit-langit kamar. Adira segera mendekat dan memegang punggung tangannya, menarik perhatian pemuda berusia delapan belas tahun itu.
"Hei, udah baik-baik aja, kan?"
Adhitya menatap sang ayah. Dahinya sedikit tertaut untuk meredam kenangan malam itu. Bayangan mimpi buruk itu masih kentara di ingatan. Hanya senyum mulai terukir di bibirnya.
"Pa."