Adhitya juga masih belum dewasa. Masa-masa ini terlalu sulit untuk dilaluinya sendiri. Kehadiran Luna dan cintanya itu dipaksa untuk hilang begitu saja sebab takdir yang kejam. Masih dia ingat jelas senyum cantik sang istri, juga suara manjanya saat Adhitya menyentuhnya di malam pertama. Akan tetapi, saat dia berusaha mengingat kenangan manis itu, mimpi buruk juga muncul seperti rol film di memorinya.
Prang! Yuki terkejut saat Adhitya menepis kasar gelas di atas meja hingga jatuh pecah di lantai. Tangannya gemetar, berusaha meredam ingatan lalu yang menyakitkan. Malam pertama berubah jadi petaka.
"Dhitya," lirih Yuki, merasa sangat kasihan.
Tangis Adhitya akhirnya pecah beriring teriakannya. Enam bulan berlalu bahkan tak cukup untuk melupakan cinta dan kenangan lalu. Yuki segera mendekat untuk memeluk adik sepupunya itu, membiarkan Adhitya terus menangis karena sesak seorang diri.
"Menangis sepuasmu, Dhit. Saat kamu berusaha bangkit nanti, kamu harus berjanji cuma akan tersenyum setelah itu," bisik Yuki, lembut.
Sampai Adhitya lebih kuat lagi, Adira tak ingin mengatakan rahasia masa lalu itu. Juga kenyataan bahwa Luna masih hidup. Adhitya harus bangkit tanpa Luna. Menguatkan diri dan suatu saat akan menjemput takdir tertunda yang memisahkan mereka.
*
Jauh bermil-mil di sana, hujan turun dengan deras di kota Bogor. Sepeda motor itu terhenti, membuat pemuda itu sedikit kebasahan karena tak tahu akan terjebak hujan saat hampir sampai di rumah sakit.
Bintang. Enam bulan berlalu sudah dan dia bertanggung jawab untuk perawatan Luna. Segera dia berlari di antara lorong dengan sebuah kantong plastik di tangannya.
Hentakan knop pintu itu menarik atensi sang perawat. Bintang mengangguk dengan senyum tipis, lalu mengusap perlahan seragamnya yang sedikit basah.
"Loh? Udah pulang? Biasanya malam Minggu begini cafe pasti rame, Bin," ujar perawat itu sambil memeriksa tekanan infus.
Menunggui Luna selama enam bulan, membuat Bintang lebih akrab dengan para perawat dan dokter yang bergantian menjaga Luna. Bintang membuka rompi hitam khas waiter itu dan menggantungnya di sisi dinding.
"Aku tukar sift sama temenku, Mbak Mawar. Hari ini mau di rumah sakit aja," kata Bintang.
"Oh, jangan lupa makan kamu dijaga juga. Mbak Karin bilang, kamu kerja seharian beberapa bulan terakhir. Yang ada nanti malah kamu yang sakit."
"Iya, Mbak. Makasih."
Setelah suster itu pergi, Bintang mendekati kasur Luna. Memegang tangannya seperti biasa, hangat dan lembut. Dia mendekatkan tangan itu ke pipinya yang dingin.
"Kamu hangat, Lun."
Sudah setengah tahun dan Luna masih terbaring koma. Bintang teringat sesuatu dan mengambil bungkusan yang dibawanya tadi. Ada beberapa n****+ yang dia bawa. Dia tahu Luna sangat suka cerita fiksi romansa.
"Tadi ada diskon besar-besaran di market dekat cafe. Makanya aku beliin buat kamu. Nanti kalau kamu udah bangun, kamu harus baca semua ini, ya!" kata Bintang, tersenyum.
Bintang menjaga Luna menggantikan Adhitya. Banting tulang setiap hari demi mengumpulkan tabungan untuk gadis itu. Walau biaya perawatan dibayar sepenuhnya oleh Adira, tapi Bintang takut mertua Luna itu berubah pikiran suatu saat nanti.
"Lun, kamu harus cepat sembuh! Aku akan kerja keras ngumpulin uang buat biaya pengobatan kamu."
Disentuhnya perlahan surai hitam itu, mengisi penuh jemarinya. Senyum yang terurai di wajah tampannya.
"Aku akan jaga kamu gantiin Dhitya dan Kak Ardhy. Jangan takut! Kamu harus kuat dan bangkit lagi. Mungkin bukan aku yang kamu tunggu makanya kamu nggak bangun, kan?"
Hari-hari berlalu. Saat Adhitya berjuang untuk kembali bangkit, Bintang masih setia menemani dan menjaga Luna. Sesekali mengambil waktu libur untuk mengunjungi rumah sakit.
Awal tahun menjadi awal memulainya kisah baru. Adhitya masuk universitas dan melupakan kejadian mengerikan di masa lalu. Melupakan bahwa dia pernah menjadi seorang suami dalam hitungan jam. Luna juga yang tak ingin membuka mata, berpikir jika saja dia bangun, itu hanya akan menyakitkan karena berpikir suaminya sudah tewas dan kenyataan mengerikan tentang cinta buta sang kakak.
Dua insan yang terpisah karena mimpi buruk dan arogansi Ardhy, akankah suatu saat mereka bertemu dan melanjutkan cinta mereka yang tertunda?
*
Tiga tahun kemudian.
Cuaca dingin di penghujung musim gugur ini. Suasana kota Osaka mulai dinikmati Adhitya, menjalani hari baru dengan mengubur kisah lamanya. Tak sepenuhnya melupakan Luna, dia hanya ingin mengabaikan luka hati demi senyum Adira, sang ayah.
Sudah tiga tahun berlalu sejak insiden tragis itu. Adhitya membangun rasa percaya diri di tengah hiruk pikuk suasana kota. Kuliah, menjalani rutinitas harian, juga menghabiskan waktu di perusahaan sang ayah untuk mengisi waktu luang.
Lulus nanti, Adira siap membebankan kursi jabatan pada putranya ini dan mulai melebarkan perusahaan cabang yang baru saja dirintis. Adhitya yang selalu tersenyum ceria, hari demi hari demi orang-orang di sekitar. Merangkai hari indah ditemani Yuki, sang kakak sepupu.
Siang itu, Adhitya duduk di salah satu kursi market sambil menyeduh ramen. Baru saja dia pulang kuliah jurusan manajemen di salah satu universitas ternama. Dipandangnya lalu pejalan kaki di arena tesebut. Juga petal sakura yang berjatuhan tampak di luar menghiasi pemandangan netranya.
Beberapa dari mereka berjalan didampingi kekasih hati. Adhitya berhenti menyeruput ramennya, lalu menatap cincin di jarinya. Garis bibir tipis yang membuatnya miris.
"Aku udah janji sama papa untuk mulai lagi dari awal. Tapi seenggaknya aku harus kembali ke Jakarta. Ada urusan yang belum selesai."
Adhitya membuka dompet, meraih selembar foto yang terselip di sana. Foto Luna. Tak ada foto tersisa dari sesi pernikahan lalu. Sang ayah bahkan nekat melakukan segala cara untuk memutus koneksi Adhitya dengan orang-orang di Jakarta sana. Entah dari ponsel atau media sosialnya.
"Aku udah janji sama papa, Lun. Kalau aku lulus kuliah nanti, papa akan balikin pasporku. Aku bisa jenguk kamu di sana. Kamu nggak marah, kan?"
Walau bibir tersenyum, air matanya jatuh saat menyentuh foto kekasih hatinya. Disimpannya lagi selembar foto itu di dompet dan meletakkan di sisi mejanya. Melahap kembali ramennya.
Sejak tadi ada seorang pemuda yang memperhatikan, tetapi enggan menegur. Dia mengambil posisi tak jauh dari duduk Adhitya.
Saat tak sengaja bertabrakan mata, Adhitya hanya menautkan alis tak mengerti dengan senyum pemuda itu. Hingga perhatiannya teralihkan saat seorang pria berkupluk hitam menyambar dompetnya di atas meja.
"Sialan!" gerutunya.
Adhitya segera berlari keluar dari supermarket itu, meninggalkan pemuda tadi yang masih duduk santai sambil membaca pesan masuk dari Adira, tepat di layarnya.
[Kim Seo Jin, jaga putraku selama aku di Jakarta! Jadilah teman seumur hidupnya. Itu cara yang lebih baik untuk membayar utang ayahmu.]
Seo Jin, seorang pemuda tampan tinggi tegap dengan senyum ramah dari bibir plum-nya. Disimpannya kembali ponsel itu ke dalam saku jaket, lalu keluar dari supermarket untuk menyusul Adhitya yang sedang mengejar pencuri tersebut. Mengikuti jejak GPS Adhitya yang terpasang di ponsel-nya, Seo Jin berhasil menemukan putra Adira itu sedang berkelahi di sebuah gang sempit.
"Dia gila, ya?" gumamnya.
Seo Jin belum mendekat, membiarkan perkelahian Adhitya hanya demi sebuah dompet. Menuai beberapa kali pukulan, akhirnya Adhitya ambruk saat pria itu menendang sisi lambungnya dengan keras. Adhitya meringkuk kesakitan.
"Arrgh!"
Bukan karena tendangan, tetapi jejak ingatan lampau tentang kejadian malam itu. Adhitya gemetar, seolah masih bisa merasakan benda tajam menyakitkan yang ditancapkan Ardhy tanpa belas kasihan. Samar-samar mendengar suara Luna, hingga akhirnya saat itu dia hilang kesadaran dan mendapati kabar kematian istrinya.
'Lun, andai aja malam itu-'
Adhitya tak melawan lagi karena tenggelam dalam putus asa. Mendengar seringai tawa sang pencuri, mengingatkannya akan kepuasan Ardhy malam itu. Hanya meringis kesakitan, menyerah. Pencuri itu tertawa puas setelah mengeluarkan banyak lembaran uang dari putra konglomerat yang babak belur itu.
"Arigatou, Gaijin!" serunya.
Saat hendak pergi, Adhitya memegang sisi kaki pria itu. Wajahnya menengadah, menatap iba dengan sinar mata teduh. Memohon pada pencuri untuk mengembalikan dompetnya. "Saifu o kaeshite. Onegai!"
Sebenarnya Adhitya mengejar mati-matian pencuri itu untuk menyelamatkan satu-satunya foto Luna yang dia miliki tiga tahun terakhir. Bukannya memberi, pria tersebut menendang Adhitya hingga bisa meloloskan diri. Berjalan angkuh dengan hasil curiannya sambil bersiul. Uang itu bisa dia gunakan untuk bersenang-senang.
Akhirnya pria itu jatuh tersungkur saat Seo Jin menendangnya hingga terkapar. Adhitya melihat seseorang berkelahi menolongnya, membuat sang pencuri melarikan diri.
Setelah mengutip uang berserakan di tanah, Seo Jin mendekati Adhitya dengan memegang dompet dan uang itu. Adhitya tersenyum dan beranjak bangkit. Hendak berterima kasih, menyambar segera dompet kulit berwarna cokelat di hadapannya itu. Seo Jin merasa aneh karena Adhitya justru tak peduli banyaknya uang yang masih berada di tangannya yang berhasil diselamatkan.
"Domo arigatou," ucap Adhitya setengah membungkuk.
Adhitya segera membuka dompetnya, menatap foto Luna yang masih berada di sana. Setidaknya Seo Jin pernah melihat foto itu dari Adira, teman ayahnya yang mengirimnya untuk menjadi teman Adhitya.
"Salam kenal!"
Adhitya terlihat heran karena bahasa Indonesia orang ini cukup fasih. Padahal jelas sekali dia memiliki garis wajah seorang keturunan Korea. Adhitya menyambut uluran tangan itu, berkenalan dengannya.
"Aku Adhitya Kazuya."
"Aku tau. Aku datang dari Korea karena permintaan ayahmu. Ah, berteman sekarang, bisa? Aku Kim Seo Jin."
Mereka berjalan berdampingan, bercerita banyak karena memang pria bernama Kim Seo Jin ini sudah mengenal ayahnya. Menghabiskan waktu beberapa menit untuk bercengkrama di cafe.
"Jadi setelah kejadian itu, kamu nggak balik lagi ke Jakarta?" tanya Seo Jin, begitu penasaran setelah Adhitya cerita banyak tentang masa lalunya.
Adhitya menggeleng, kembali menyeruput latte hangat yang dipesannya tadi. Pun sebenarnya dia tahu pasti Seo Jin sudah mendengar banyak kisah hidupnya dari sang ayah.
"Pasporku ditahan. Papaku juga melakukan segala cara supaya aku nggak bisa keluar dari Jepang."
"Tapi sampai kapan, Dhit?"
"Setelah lulus kuliah, lalu bekerja di perusahaan, mungkin dia bisa berubah pikiran. Dan ya, kenapa papaku mengirimmu?" tanya Adhitya bernada selidik.
"Nggak ada. Hanya memintaku jadi temanmu."
Adhitya tersenyum tipis, melahap kripik rumput laut yang berada di atas meja. "Bahasa Indonesia-mu bagus," puji Adhitya, kagum.
"Oh, itu. Mamaku asli Sunda, lalu menikahi papaku dan pindah ke Korea."