Kamu yakin, Cin, mau saksikan ijab kabul Mas dan Anita?"
Sebenarnya tidak yakin, tapi aku mencoba memantapkan hati. Lebih baik berdamai dengan keadaan daripada berlarut-larut dalam kepedihan.
"Iya. Tapi ... aku gak mau tanda tangan. Mas hanya boleh menikahinya secara siri."
Aku menarik napas, tanganku dengan cepat menyusut air mata yang terus mengucur tak mau berhenti. Dalam hati, terus kuucap istighfar. Astaghfirullah. Astaghfirullah. Aku sadar telah egoist, tapi ... entahlah. Aku tak sanggup membayangkan jika semua harta nanti harus dibagi dengan Anita juga. Dua vila di Bogor yang tiap bulan selalu membuat tabungan kami mengembung, 5 hektar sawah, dua mobil milikku dan satu punya Mas Yoga yang belum lunas. Astaghfirullah. Maafkan hamba yang terlalu manusiawi. Jika harta benda itu akhirnya harus berpindah tangan, maka itu untuk Farhan dan Caca. Bukan untuk anak-anak Anita kelak.
Mas Yoga memandangku cukup lama, entah hanya perasaanku saja, tapi sesaat ia terlihat sedih. Lalu perlahan senyumnya mengembang lalu ia mengangguk. Ditariknya tubuhku ke dalam dekapannya yang nyaman. Aku selalu suka begini. Hangat. Nyaman. Seolah melindungi. Namun, kenapa sekarang terasa berbeda?
Sebentar lagi, aku dan perempuan bernama Anita itu akan berbagi d**a bidang ini. Ya, Tuhan. Kenapa membayangkan hal itu begitu menyesakkan d**a?
***
Sepanjang proses ijab kabul berlangsung, mataku terus mencuri-curi pandang ke arah perut Anita, lalu bergantian ke wajah hitam manisnya yang dirias tipis. Sesekali gadis mungil itu tampak membekap mulut, lalu tersenyum-senyum, matanya yang bulat jernih tampak berbinar senang, senyum terus terkembang di bibir seksinya yang merah merekah. membuatku semakin yakin pasti terjadi sesuatu yang tidak beres.
Aku perempuan, pernah hamil dan melahirkan.
Setiap hari bertatap muka dengan pasien. Pasti ....
Membayangkan hal itu, membuat air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya luruh juga, meluncur deras saling berkejaran. Apa jangan-jangan Mas Yoga sudah lama mengkhianatiku?
Kugigit bibir kuat saat merasakan nyeri di d**a. Aku menunduk, mendengarkan proses ijab kabul sambil sibuk menyeka air mata. Aku baru benar-benar menatap ke arah Mas Yoga dan perempuan mungil di sampingnya saat terdengar teriakan,
"Ayah! Kenapa ayah cium dia? Kasihan bunda! Bunda, kenapa Bunda diam saja?!"
Perhatian sebagian orang langsung tertuju padaku, lalu berganti ke Farhan yang berdiri di sampingku duduk. Tangan Farhan menuding ke arah Anita, wajahnya menatap Mas Yoga penuh benci.
"Apa ayah tidak sayang bunda?!"
"Sayang, duduk." Nasihatku karena malu orang-orang memandang kemari. Farhan memandangku, tatapan kesal masih melekat kuat di matanya.
"Kenapa bunda hanya nangis? Ayah cium orang itu, harusnya bunda marah!"
Ucapan Farhan membuatku semakin larut dalam kepedihan. Aku tersengal. Lalu karena tak tahan terus menjadi pusat perhatian, akhirnya aku berdiri.
"Maafkan aku, Mas. Aku tidak tahan. Aku tidak kuat. Tolong jaga anak-anak."
Mas Yoga memandangku dengan mata berkaca-kaca. Ia hendak berdiri, tapi perempuan di sebelahnya langsung menarik tangannya agar kembali duduk.
Pedih. Kenapa begini pedih? Segera kubalikkan badan lalu berlari keluar. Terus berlari ke arah jalan menerjang hujan. Guntur dan petir yang terus mencipta cahaya keperakan di langit pekat sama sekali tak kupedulikan. Takut, sebenarnya.
Bagaimana kalau aku kesambar petir lalu anak-anak menjadi yatim? Lalu, Anita akan menjadi istri sah Mas Yoga. Ya Tuhan, ampuni hamba. Bahkan disaat begini, masih saja memikirkan anak-anak dan suami tercinta. Maafkan hambamu yang lemah ini, Tuhan.
"Dek. Tunggu. Dek, tunggu! Cinta!"
Suara itu begitu lekang dalam ingatan. Aku menoleh. Itu Mas Yoga berlari mendekat. Kemeja putihnya basah kuyup. Ia berlari semakin dekat lalu memelukku. Aku terisak dalam pelukannya. Bahkan disaat hati terasa begitu hancur, aku tetap tak sanggup menolak pesonanya. Aku terlalu cinta. Sungguh sangat cinta. Tapi aku tak rela dimadu. Tak siap berbagi. Ini terlalu menyakitkan ternyata. Haruskah memilih lepas darinya saja? Tapi bagiamana nasib anak-anak yang butuh sosok anak jika memilih cerai?
#Tentu perceraian adalah hal yang berat. Kalau kamu, Teman, apa bakal milih cerai atau tetap bertahan?