"Bu bidan, ini gimana? Tadi pas di USG katanya jumlah air ketubannya kurang. Ini berbahaya tidak, Bu?" Seorang lelaki berusia sekitar 50-an berkata di ambang pintu dengan wajah cemas. Tangannya menggenggam kuat perempuan di sampingnya.
Aku menyungging senyum lalu mempersilakannya duduk di kursi. Sementara suaminya memilih tetap berdiri.
Aku mengambil tensimeter lalu melilitkan manset ke lengan pasien. Aku menarik napas panjang saat tiba-tiba teringat ucapan Mas Yoga dua hari lalu. Katanya, tanpa seijinku pun, ia tetap akan menikah. Tuhaan, kenapa Kau timpakan ujian ini padaku?
Kuusap kasar air mata yang terasa mengalir di pipi lalu menunduk, mencoba tak mengindahkan rasa sakit yang kian menusuk hati. Namun lagi-lagi, air mataku kembali luruh di pipi. Mas Yoga sungguh keras kepala. Walau sudah berulangkali aku bersikukuh tak mau dipoligami, tetap ia bergeming. Nanti sore, ia akan datang melamar. Ya Tuhan ....
"Bu bidan?"
Kuusap cepat sudut mata lalu menyungging seulas senyum. Perasaan pedihku kembali timbul saat melihat tatapan prihatin sang perempuan.
Mencoba mengindahkan rasa sakit, aku berkata, "Tekanan darahnya normal."
Perempuan di hadapanku manggut-manggut. Ia pasien tertua yang kutangani. Telat memiliki momongan. Diumur hampir 41 tahun baru bisa hamil, membuatku ketat mengawasi untuk menghindari komplikasi kehamilan. Setiap minggu, kujadwalkan kontrol. Berbeda dengan pasien lain yang hanya kontrol sebulan sekali.
"Bahaya tidak, Bu?" Suaminya bertanya. Aku memeriksa hasil USG.
"Kalau tidak merasakan sakit, insyaallah tidak apa-apa. Semakin mendekati melahirkan, jumlah air ketuban semakin berkurang. Banyakin minum air putih yang banyak, yaa. Jalan kaki juga."
Aku lalu mengambil sembilan strip obat terdiri dari asam folat, vitamin dan mineral lalu memasukkannya ke dalam plastik putih dengan nama klinikku. Begitu mereka keluar, pasien yang lain segera masuk.
"Mbak Diaan," panggilku sambil berdiri. Asistenku segera mendekat.
"Tolong gantikan, yaa. Aku sedang tak enak badan." Lalu, aku keluar dari ruangan. Beberapa pasien melempar senyum saat aku melintas di depannya. Aku balas tersenyum, lalu melangkah cepat menuju kamar. Segera merebah.
"Cin."
Suara di ambang pintu sama sekali tak kusahut. Jam berapa sekarang? Aku menatap jam dengan malas. Pukul 3. Tumben suamiku sudah ada di rumah. Biasanya, ia masih di tempat kerjanya.
"Nggak biasanya Mas. Biasanya belum pulang?"
"Adek lupa, ya? Hari ini kan mas mau melamar Anita."
Deg. Ya Allah, kenapa sakit sekali rasanya mendengar suara suami yang begitu antusias?
"Mas, kumohon." Aku mengibai.
Suamiku yang telah rapi dengan kemeja putih dan pantalon hitam itu segera mendekat. Dikecupnya keningku, lalu pindah ke bibirku.
"Mas janji, Mas bakal adil."
"Tapi, aku tetap nggak sanggup, Mas."
"Hiiits." Ia meletakkan tangan ke bibirku. Air mata di pipiku semakin menderas. Kenapa begini sakit, Allah. Allah, kenapa begini sakit?
"Mas janji bakal adil. Ijinkan Mas nikah lagi, ya? Percayalah, cintaku padamu lebih besar darinya."
Aku terisak dalam dekapannya. Sepertinya walau aku terus menolaknya, Mas Yoga akan terus bersikukuh. Tuhan, lapangkan hatiku.
***
"Bun, aku berangkat ngaji dulu."
Cepat kuusap air mata lalu bangkit berdiri.
"Iya, jangan nakal."
Farhan segera mengecup punggung tanganku, setelah menerima uang saku, bocah berumur 7 tahun 3 bulan itu segera berlari keluar. Aku baru akan kembali merebah saat sang adik tiba-tiba berlari masuk.
"Bundaaa!" seru Caca sambil berlari mendekat. Aku segera berjongkok, memeluknya dengan erat.
"Kamu pergi saja, Caca biar aku yang jagain."
Aku mengibaskan tangan pelan sama baby sitter-nya yang terdiam di ambang pintu. Ia menatapku lama sebelum akhirnya membalikkan badan dan pergi.
Aku menghela napas, mengusap air mata yang lagi-lagi turun sambil terus mengasihi diri sendiri. Ah, andai saja aku bisa ....
Kugelangkan kepala saat kata 'cerai' terlintas di kepala. Tidak. Bagaimana nasib anak-anak jika sang ibu bersikap egois? Jelas, cerai bukan jalan terbaik mengingat aku juga sangat mencintai Mas Yoga. Tidak peduli ia telah membuatku sangat terluka, namun aku tak ingin ketuk palu pengadilan membuat kami jadi sepasang orang asing.
Aku sangat mencintai Mas Yoga.
Sangat cinta.
Juga kasihan anak-anak. Farhan akan selalu butuh sosok ayah. Apalagi Caca yang begitu manja pada ayahnya. Hatiku pun ... Ah, cinta. Kenapa kau membuatku sedemikian menyedihkan? Berusaha menerima keinginan Mas Yoga walau sangat menyakitkan.
"Bunda, kenapa nangis?"
Tangan Caca mengusap pipiku. Kuangkat bocah 5 tahun ini ke ranjang lalu memeluknya sambil menangis. Akhir-akhir ini, banyak orang menatap iba padaku. Apa aku sedemikian memprihatinkan? Ah. Itu sudah jelas. Melayani pasien sambil menahan tangis, juga membeli sayuran ketukang sayur sambil sebentar-sebentar mengusap air mata. Nyaris semua tetangga tahu. Ada yang hanya menatap prihatin, ada pula yang mencoba menenangkan.
Cepat sekali gosip merebak. Macam bangkai dikerumuni lalat menjijikkan yang berdengung-dengung. Itu membuatku risih, tapi aku tak bisa berbuat banyak. Itu kenyataannya. Mas Yoga selingkuh. Seorang tetangga kemarin mengatakan, beberapa bulan lalu pernah melihat bersama perempuan berparas rupawan.
"Bunda kenapa nangis? Bunda sakit, ya? Apanya yang sakit, Bun?"
Hati bunda sakit, Nak. Sakit sekali. Kataku dalam hati sambil mengecup kening Caca.
"Bunda nggak sakit, Sayang. Hanya kelilipan." Aku pura-pura mengusap mata. "Uuuh, sakitnya. Kelilipan tadi."
"Bun, tadi ayah bilang, aku mau punya bunda lagi. Horeee, aku akan punya dua bunda."
Aku menggigit bibir. Kenapa begitu pedih mendengarnya, Allah? Aku memeluk Caca lalu kembali terisak.
*Kalau kamu jadi Bu Bidan, bakal tabah, kah? Kalau aku bakal kutinggalin lelaki macam Yoga. Toh Bu bidan kan mapan. Kalau kamu gimana?