Setelah kemarin malam ia di kamar Anita, kini ke kamarku, memandangku dengan mesra tak seperti biasanya. Tapi anehnya, saat seharusnya aku menerima perlakuan lembut Mas Yoga, aku kini malah berusaha menolaknya. Ternyata, aku tidak siap berbagi pisang. Entah kenapa, tiba-tiba aku merasa begitu jijik. Juga muak.
"Kenapa, Cin? Bukannya kemarin-kemarin kamu begitu menginginkannya?" Mas Yoga mendekatkan hidungnya ke pipiku, aku kembali bergerak menghindar. Aku kenapa akunajdi ak ingin melakukannya.
"Aku sedang gak selera, Mas. Mungkin karena kelelahan."
"Ooh." Mas Yoga memangguk kecil. Ia menegakkan tubuh saat terdengar ketukan. Lalu pintu perlahan terbuka. Anita masuk dengan rambut diurai. Samar menguar wangi lavender dari tubuhnya.
"Mas Yoga bisa temani aku ke mall bentar, Mas? Hanya sebentar. Ada yang akan kubeli untuk hadiah mamaku."
Mas Yoga memandangku, lalu mengangguk kecil pada Anita. "Kamu keluar dulu, ya? Nanti aku nyusul."
Bibir Anita merebak lebar dengan wajah terlihat begitu bahagia. Ia akhirnya melangkah keluar, sesekali menoleh ke belakang menatapku penuh kemenangan. Apa dikira anak ingusan itu ini adalah permainan? Sakit rasanya, dan aku merasa tersinggung atas perlakuannya tadi.
"Dia masih anak-anak, Cin, maafkan sikapnya."
Kuhela napas panjang, berusaha membuang rasa sakit dalam d**a. Pada Mas Yoga, aku mengangguk kecil.
"Nanti aku segera pulang, ya? Mau dibelikan apa?"
"Terserah, Mas."
Mas Yoga mengecup keningku.
"Uangku jangan dihabiskan, Mas." Karena biasanya, Mas Yoga kalau belanja suka kelewat banyak. Apalagi kalau membawa anak-anak. Semua permintaan anak-anak diturutinya. Mas Yoga memandangku lalu melangkah pergi. Aku terisak sepeninggalnya. Kenapa rasanya begitu menyakitkan?
Kugigit bibir saat tatapanku jatuh pada gunting di meja. Entah kenapa aku merasa hidupku sudah tak ada artinya lagi. Apa lebih baik aku mati saja?
Dengan cepat, kusambar gunting, lalu mengangkatnya ke udara berniat menikamkannya ke tangan. Tapi seketika aku mengurungkan niat. Gunting ini tampak begitu tajam. Pasti akan menyakitkan bunuh diri dengan benda tajam seperti ini.
Aku keluar dari kamar. Rumah begitu lengang karena sudah lewat jam 7. Aku tak menerima pasien malam kecuali dalam keadaan terdesak misal tiba-tiba melahirkan.
"Caaa, Farhaan." Panggilku. Tak ada sahutan sama sekali. Mungkin Mas Yoga mengajak anak-anak. Membayangkan suamiku yang kini mungkin sedang berbahagia dengan Anita, perasaan sesak dan menyakitkan kembali menyeruak ke dalam benak. Sakit. Sakit. Aku tidak tahan. Aku akhirnya menuju gudang lalu meraih tali. Aku akan gantung diri saja yang mungkin akan mempercepat kematianku. Dan mungkin tak akan semenyakitkan dari menusuk tangan dengan gunting.
Sebelum ke taman belakang rumah, kusempatkan diri menulis surat yang kutunjukkan untuk Mas Yoga dan Anita
Saat membaca surat ini, aku pasti sudah jadi mayat
Siap-siap saja aku akan menghantui kalian tiap malam
Mas Yoga aku selalu cinta kamu. Siap siap kujemput Mas
Lalu, aku naik ke kursi tinggi dan memasukkan kepalaku ke dalam tali dengan ujung lingkaran. Awas kalian. Setelah aku jadi setan, akan kuusik kalian tiap malam. Tak akan kubiarkan tenang.