3

777 Kata
Kubuka mata perlahan saat terdengar kumandang subuh. Ternyata aku tertidur di kamar Caca. Kuselimuti Caca lantas melangkah keluar kamar. Aku harus buru-buru membuat makanan untuk Mas Yoga sebelum ia berangkat kerja. Walau memiliki pembantu, tapi ia lebih senang aku sendiri yang masak. Sebelum melangkah ke dapur, kulongok kamar si sulung. Dia masih terlelap. Nanti saja jika sudah selesai nyayur baru membangunkannya. Pukul 6 kurang, aku sudah beresan. Segera aku mandi lalu menuju kamar berniat membangunkan Mas Yoga. Tapi ternyata ia sudah terbangun. Duduk di bibir ranjang tengah menatap HP di tangannya dengan wajah sedih. Sebenarnya apa yang terjadi denganmu, Mas? "Mas." Aku duduk di sampingnya. Mas Yoga menoleh, menatapku cukup lama. "Cin ...." Hening yang panjang "Ada sesuatu yang ingin kubirakan. Tapi percayalah, walaupun mas melakukan ini, tapi hanya kamu yang kucintai, Cin." Aku menatapnya dengan d**a berdebar karena begitu takut juga penasaran. Kuanggukkan kepala sambil menatapnya lekat, isyarat agar ia melanjutkan ucapannya. "Mas nikah lagi, ya?" "Apa, Mas?" Aku mendengar dengan sangat jelas, tetapi mencoba menyakinkan diri bahwa memang tak salah dengar. Ini salah. Pasti telingaku hanya salah dengar. Menikah lagi? Kupandang suami tercinta yang duduk di sampingku dengan d**a berdebar. Matanya yang tajam terus menatap penuh harap. "Mas ingin menikah lagi." Ulangnya, suaranya masih pelan seperti tadi. Tangannya mengusap lembut rambut sebahuku yang kubiarkan terurai dan masih basah. "Tapi ... kenapa, Mas?" Bibirku bergetar. Berbagai emosi menerjang bersamaan ke dalam benak. Marah, kesal, sedih. Juga kecewa. Apa kurangnya aku? Siapa pun tahu, aku perempuan berbobot. Bukan bermaksud menyombongkan diri, tapi begitulah orang-orang selalu bilang. Cantik, pintar, punya sepasang anak lucu, dan pekerjaan sebagai bidan tak mengharuskan pergi keluar rumah. Nyaris setiap hari, ada saja pasien yang datang. Mulai dari program hamil, periksa rutin setiap bulan, sampai melahirkan. Nyaris tak pernah sepi. Jadi, apa kurangnya aku? Perawatan rutin setiap minggu membuat wajahku bersinar cantik dan kulit langsat ini mulus terawat. Wangi. Dan tentu saja sedap dipandang. Tambahan. Pada suamiku ini aku selalu royal. Mobil kubelikan, semua aset juga atas namanya saking cintanya aku padanya. Lalu, sekarang apa? "Apa ... Mas sudah tak cinta padaku?" Aku bertanya sambil mencoba meredam perasaan tertusuk yang kian menjadi. Siapa perempuan yang kuat mendengar permintaan suami yang ingin menikah lagi? Apa aku saja tak cukup? "Mas masih cinta kamu, Cin. Tapi, Mas juga mencintainya. Kami sudah lama saling mencintai. Apa kamu ingin Mas sampai berzina dengannya? Nanti kamu kena dosanya, Cin." Aku menggigit bibir, rasa tertusuk di d**a semakin menjadi. Astaghfirullah. Mas Yoga bisa sampai berkata seperti ini, apa itu berarti ia benar-benar cinta padanya? Ya, Allah. Kuatkan hambamu ini menghadapi cobaan kali ini yang sepertinya tidak akan mudah. Mendapati suami jatuh cinta lagi, siapa yang tak sakit hati? "Jika alasannya untuk menghindari zina, mas bisa berpuasa. Aku tak rela dimadu, mas. Tak rela." Tangis yang sejak tadi kutahan akhirnya luruh juga. Aku tak sudi berbagi. Tak sudi. "Balasannya surga, Cin." Surga? Ya, salaam. Sungguh aku paling kesal pada semua makhluk adam yang berpoligami, lalu mengatakan balasannya surga jika sang istri mau merestui. Wahai para pemuja syahwat, apa jalan menuju surga hanya dengan merelakan suami tercinta menikah lagi? Aku tak akan sudi. Aku menarik napas panjang, mencoba mengusir sesak yang tak juga pergi. Banyak jalan menuju surga. Mempelajari ilmu agama bersama, salat berjamaah, melayani suami dengan tulus, bahkan membuatkannya sarapan, akan Allah balas jika melakukannya dengan ikhlas. Jadi, kenapa harus merelakan suami menikah lagi? Tidak sudi. Diusapnya air mata yang meleleh di pipiku. Tangannya menggenggam tanganku, lalu mengecupnya lembut. "Mas minta restu, karena tak ingin mengkhianatimu, Cin. Karena mas cinta sama kamu jadi tak ingin berbohong.." Diusapnya air mata yang mengalir perlahan di pipiku. Ah, Mas. Bahkan disaat seperti ini, mulutnya masih sempat menebar kata-kata rayuan. "Kalau Adek tak mau ijinkan, mas tetap akan menikahinya, Dek." Aku sudah tak kuat. Aku segera berdiri, memilih jilbab di lemari, kemudian melangkah ke ruang depan di mana sebagian pasien tengan mengantri untuk USG. Beberapa pasien langsung menatap kemari. Lekas kuuaap air mata di pipi, tersenyum kecil sambil mengangguk pada mereka, lalu masuk ke dalam ruangan. Segera duduk di hadapan meja penuh buku pink yang biasanya selalu terasa menyenangkan. Kenapa sekarang tidak lagi? Aku mencoba menguatkan hati sebelum akhirnya berkata, "Yang mau periksa saja tanpa USG, silakan langsung ke sini," kataku dengan suara sumbang sambil menghapus air mata. Lalu tersenyum lebar saat seorang perempuan berperut besar melangkah masuk bersama suaminya. Dalam hati aku menerka-nerka, apa yang harus kulakukan? Ingin rasanya kumaki Mas Yoga lalu berhenti membayar angsuran mobilnya, tapi, apa itu tak keterlaluan sementara gajinya hanya 4 juta sebulan? Ya Allah, tolong beri pencerahan. #Kalau kamu jadi dia, apa yang bakal kamu lakuin? Stop angsuran, tapi itu terkesan egois. Menerima dimadu, kenapa begitu menyakitkan yaa?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN