Iring-iringan mobil sudah sampai di rumah cukup besar milik Yusuf. Ada empat mobil yang muat parkir di pekarangan rumah yang luas serta asri itu. Mata Larissa tidak berkedip memperhatikan bangunan yang luas mirip sekali dengan rumah yang suka muncul di televisi.
"Memangnya ini rumah artis siapa, Mas?" tanya Larissa sambil berbisik pada suaminya. Wanita itu lupa, bahwa sehabis menyusui, ia tidak segera mengancing baju kebaya yang ia kenakan. Yusuf yang menoleh langsung melotot kaget dengan detak jantung yang berdebar sangat cepat.
"Maaf, itu kancing bajunya tolong dirapikan," kata Yusuf menginterupsi.
"Tolong kancingkan, Mas, tangan saya gak bisa memasang kancingnya karena menggendong Hikaru," balas Larissa sambil menyeringai malu-malu.
Jika tadi Yusuf berdebar, maka kali ini Yusuf merasa sangat gerah. Memasang kancing baju wanita di bagian depan sungguh petualangan mistis baginya. Karena memang pada dasarnya ia lelaki polos. Saat berpacaran dengan Mutia saja, ia paling berani memegang tangan wanita itu. Lebih dari pegangan tangan ia tidak nekat.
Yusuf berprinsip wanita yang ia cintai, harus ia jaga baik-baik sampai waktunya tiba. Tidak boleh dirusak oleh hasutan setan. Namun kali ini, ujiannya adalah bukan sekedar berpegangan tangan, tapi mengancingkan baju kebaya yang ketat di bagian d**a.
"Mas Yusuf, mobilnya udah berhenti, kita mau turun atau menginap di dalam mobil? Orang-orang sudah turun semua. Ini baju saya bisa gak tolong dikancingkan, kalau tidak bisa saya minta tolong sopir saja kalau ...."
"Aaiish ... jangan, sini, saya yang kancingkan!" Yusuf menahan getar jemarinya saat menyentuh satu per satu kancing yang harus ia kaitkan. Namun ia merasa kesulitan karena baju itu sangat ketat. Ukuran d**a Larissa yang cukup besar karena menyusui mungkin adalah salah satu faktornya.
"Susah ya, Mas?"
"Bisa agak dikecilin gak, Mbak?"
"Apanya? d**a saya? Yo ndak bisa, Mas, emangnya balon, ha ha ha ...." Yusuf menunduk karena malu. Malu akan ijazah S2 yang ia miliki karena tiba-tiba mengeluarkan pertanyaan yang sangat memalukan. Ingin rasanya ia membakar ijazah itu saat ini.
Seakan tengah berjalan di seutas tali yang hampir putus dan di bawahnya sudah ada buaya yang siap menerkam. Inilah perasaan Yusuf yang sebenarnya saat mendapat tugas dari Larissa. Jangan melihat, bernapas pun ia tidak berani. Rasanya sangat tidak sopan dengan calon kakak ipar yang kini malah resmi menjadi istrinya.
"Mas, udah selesai, kancingnya udah dipasang semua, kenapa masih diraba sampai bawah?" Larissa tergelak membuat Yusuf tersentak membuka mata dan segera menarik tangannya begitu menyadari bahwa kancing sudah terpasang semua.
Pria itu membuka pintu, lalu keluar lebih dahulu. Di belakangnya ada Larissa yang ingin keluar dari mobil tetapi kesulitan karena kain yang ia kenakan.
Yusuf tidak tega, akhirnya membantu Larissa turun dari mobil, dengan menggenggam tangan kiri istrinya. Mata Larissa masih menyapu semua sudut pekarangan rumah yang dinilainya sangat bagus. Berkali-kali ia berdecak kagum dan sangat suka dengan adanya kolam ikan koi di pinggir pintu masuk.
"Mari masuk Larissa," ajak Tara pada menantunya.
"Eh, si Ganteng udah tidur ya. Ayo, biar Mama yang gendong, kita ajak masuk ke dalam kamar pengantin." Tara sangat senang menerima Hikaru dari tangan menantunya. Wanita paruh baya itu berjalan lebih dahulu masuk ke dalam rumah dan langsung membawa Hikaru berbaring di atas tempat tidur pengantin.
Larissa yang tidak paham harus melakukan apa, akhirnya duduk di lantai. Ia tidak berani menaruh bokongnya di sofa yang menurutnya sangat bagus.
"Loh, Mbak, kenapa duduk di bawah? Ini duduk di atas saja!" kali ini Dia bersuara dengan kaget saat melihat adik ipar yang mungkin usianya sama dengannya duduk di lantai. Yusuf pun ikut menoleh dengan pupil yang melebar.
"Kamu ngapain duduk di situ? Duduk ya di atas saja," titah Yusuf terheran, namun Larissa masih enggan. Ia masih tetap pada posisinya sambil melipat kedua kakinya ke samping.
"Larissa, kamu jadi bahan tontonan saudara, ayo bangun. Ini rumah saya dan kamu istri saya, berarti ini rumah kamu juga," tegas Yusuf dengan sedikit menekan suaranya. Lelaki itu dengan sigap menarik lengan Larissa untuk memaksanya duduk di sofa.
"Eh, ada apa ini? Kenapa malah duduk di sini? Yusuf, ayo bawa istri kamu istirahat di kamar," seru Tara pada putranya.
"Mau langsung tempur juga gak papa, Suf, mumpung masih sore," celetuk Arle yang tidak lain adalah adik dari papanya.
"Iya, seperti Papa kamu tuh, belom apa-apa udah minta jatah. Huu...." ledek Tara sambil menatap suaminya; Zaka. Sontak saat itu juga Zaka tergelak dan kenangan itu kembali mengisi memorinya.
"Suf, sana masuk! Pemanasan dulu!" sambung Zaka masih dengan tawa yang menggema di dalam ruangan.
"Mas, emangnya pada mau masak-masak?Apanya yang dipanasin?" tanya Larissa dengan polos. Yusuf menganga, lalu sedetik kemudian ia tertawa terbahak-bahak, Larissa semakin tidak paham. Menurutnya orang kota itu aneh, sama seperti Yusuf dan keluarganya yang bila berbicara seolah-olah akan perang sambil memasak.
"Yuk, kita ke kamar saja. Saya akan beritahu cara pemanasan dengan baik di dalam sana," ujar Yusuf sambil mengerling pada Zaka.
Tara menoleh pada suaminya dari kejauhan, lalu berjalan mendekat dan duduk tepat di samping Zaka.
Blam!
Pintu kamar pengantin pun tertutup.
"Papa ngajarin apa pada Yusuf?" tanya Tara penasaran.
"Urusan pria," jawab Zaka sambil berbisik.
"Iya, tapi apa dulu?" tanya Tara penasaran sambil mengguncang tubuh suaminya.
"Aaw!"
Semua orang memekik kaget dan menoleh serentak ke kamar Yusuf.
****
Hai, Hai, aku akhirnya posting juga. Terima kasih sudah sabar menanti. Doakan tab love genap 500 ya, biar update bisa setiap hari. Ramaikan komentar jangan lupa. Terima kasih