1989
Shameeta tidak bisa lagi menahan mualnya. Ia berlari ke kamar mandi, menjatuhkan tubuhnya di depan kloset. Memuntahkan semua isi perut yang hanya berisi cairan kuning pekat. Ia bahkan belum mengisi perutnya pagi ini. Ia mendesah, berdiri dengan susah payah menuju wastafel untuk memcuci mulutnya yang terasa pahit. Sudah seminggu terakhir ia selalu muntah-muntah di pagi hari. Ia sadar, sesuatu sudah terjadi, meskipun begitu ia masih mencoba menyangkalnya. Ia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia hanya masuk angin. Namun sekarang, sepertinya ia tidak bisa lagi menyangkalnya. Setelah kejadian malam itu, Shaba marah besar. Ia menganggap Meeta sudah menjebaknya hingga mereka tidur bersama. Meskipun Meeta sudah menyangkal tuduhan Shaba, pria itu tetap tidak mau mempercayainya.
“ Aku tidak akan pernah mau menyentuhmu, kalau bukan karena kamu menjebakku.” Pria itu bergeser, menurunkan kakainya dari ranjang lalu membungkuk untuk memunguti pakaian mereka yang berserakan di lantai. Ia melempar pakaian istrinya kearah perempuan itu.
“ Cepat pakai, dan tinggalkan kamar ini. Jangan pernah lagi menginjakkan kakimu ke dalam kamar ini.” Ucapnya tanpa menoleh kepada sang istri. Meeta segera memakai kembali pakaiannya, lalu beranjak. Dengan menahan sakit, ia berjalan menuju pintu. Membuka pintu itu lalu keluar dan membantingnya. Shaba mengusap kasar wajahnya. Kelebatan kejadian semalam membuatnya menggeram. Kedua tangan meremas rambutnya. Bagaimana bisa ia meniduri wanita itu ? tidak pernah sekalipun ia berpikir akan menyentuh wanita yang dibencinya.
“ Sial … gara-gara mabuk aku melakukan kesalahan besar.” Gumamnya. Ia segera beranjak, kemudian masuk ke kamar mandi. Ia akan membersihkan diri dan pergi dari rumah.
***
“ Nyonya … sarapan dulu.” Meeta yang sedang menyisir rambut setelah membersihkan tubuhnya menoleh kearah pintu yang sudah terkuak setengah. Wajah Bi Mirah terlihat.
“ Iya Bi … sebentar Meeta keluar.” Bi Mirah mengangguk lalu kembali menutup pintu. Meeta menatap pantulan wajahnya di cermin. Pucat. Wajahnya terlihat sangat pucat. Apa yang akan terjadi setelah ini ? Meeta mendesah. Hidupnya tidak hanya kacau, tapi sudah hancur. Orang diluar sana hanya tahu Shameeta beruntung menikahi pria tampan, dan kaya seperti Shabaga Husein. Mereka tidak tahu bahwa kenyataannya mereka hanya dua orang asing yang terjebak dalam pernikahan bisnis. Suaminya bahkan punya wanita lain.
Hari itu, setelah sarapan, Meeta memberanikan diri keluar rumah. Dengan mengendari mobilnya, ia menuju rumah sakit. Dia harus memberanikan diri menghadapi kenyataan. Memasuki pelataran rumah sakit, Meeta segera memarkirkan mobilnya. Setelah turun dari mobil, ia bergegas masuk ke dalam rumah sakit. Mendaftar di poli kandungan. Beberapa orang tampak mengamatinya. Meeta menundukkan kepala dalam-dalam, berharap orang-orang tidak ada yang mengenalinya. Cukup lama ia mengantri sampai akhirnya namanya di panggil. Tetap saja, begitu orang-orang mendengar namanya di sebut, mereka serentak menoleh kearah Meeta. Meeta bergegas masuk ke dalam ruang Dokter. Ia mengangguk kecil begitu memasuki ruangan, kemudian berjalan mendekat dan duduk di depan seorang dokter yang wajahnya tampak familier untuknya.
“ Meeta ? “ Meeta mengerjapkan matanya.
“ Lupa ya ? “ Dokter itu mengulurkan tangan kanannya.
“ Kenan “ Teman Samuel. Meeta tampak mengernyit. Dia tidak terlalu mengenal lingkup pertemanan kakak pertamanya, berbeda dengan kakak kedua nya. Dokter Kenan tersenyum.
“ Pasti kamu nggak ingat. Dulu aku sering main ke rumah, jaman masih SMA, sebelum Samuel melanjutkan kuliahnya di Amerika.” Meeta tersenyum, ia menganggukkan kepalanya meskipun sebenarnya ia tetap tidak bisa mengingat pria di hadapannya.
“ Ayo … silahkan tiduran di bed. Biar saya periksa. Suster … tolong dibantu.” Meeta beranjak dari tempat duduknya menuju bed diikuti seorang suster. Setelah merebahkan tubuhnya, sang suster membuka atasannya di bagian perut, kemudian mengoleskan gel di sekitarnya.
“ Sudah Dok.” Dokter Kenan mendekat setelah sang suster mengatakan Meeta sudah selesai dipersiapkan, lalu duduk di samping ranjang. Mulai menempelkan alat yang dipegangnya, sementara matanya awas melihat kearah layar di sebelahnya. Meeta menahan nafas sesaat.
“ Ini dia baby nya.” Ucapan Dokter Kenan membuat Meeta membuka matanya. Ia menajamkan penglihatannya kearah layar. Hatinya mencelos. Pengharapannya agar tidak hamil kandas. Bayi itu sudah terlanjur ada dalam rahimnya. Apa yang harus ia lakukan setelah ini ?
“ Dua bulan usianya. Kondisinya bagus.” Lanjut Dokter Kenan. Setelah selesai, perawat kembali membantu Meeta membersihkan perutnya. Meeta beranjak dari tidurnya. Ia berjalan mendekat Dokter Kenan yang sudah kembali duduk di tempatnya. Tangannya sedang bergerak menulis resep.
“ Three semester pertama masih rentan keguguran. Tolong dijaga baik-baik. Jangan terlalu lelah. Lebih penting lagi, jangan stress.” Ucap Dokter Kenan tanpa mengangkat wajahnya. Meeta mengangguk meskipun pikirannya berkecamuk. Memikirkan bagaimana reaksi suami yang membencinya itu saat tahu ia hamil.
“ Kenapa tidak datang bersama Pak Shaba ?” Kepala itu terangkat untuk bertemu pandang dengan Meeta. Meeta terdiam. Tidak tahu harus menjawab seperti apa.
“ Ah … beliau pasti sibuk ya.” Dokter Kenan menjawab sendiri pertanyaannya. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya. “ Tapi coba diajak bicara, supaya bisa meluangkan waktu menemani kamu. Nanti dia menyesal tidak tahu perkembangan bayinya.” Dokter Kenan tersenyum diakhir kalimatnya. Meeta hanya mengangguk dengan senyum. Senyum yang tanpa sepengetahuannya membuat jantung dokter Kenan berdebar kencang. Dokter Kenan segera mengalihkan pandangannya.
“ Ini resepnya bisa ditebus di apotek. Bulan depan jangan lupa kontrol.” Ia menyerahkan resep, dan selembar photo hasil USG. Mata Meeta mengerjap manatap selembar photo USG ditangannya. Foto calon bayinya. Hatinya bergetar. Itu bayinya. Ia sudah tumbuh di dalam rahimnya. Tuhan mempercayakan bayi itu padanya.
“ Terima kasih Dok.” Meeta beranjak, menganggukkan kepalanya sebelum berbalik dan keluar ruang pemeriksaan. Tangannya masih menggenggam erat photo hasil USG. Ia berjalan cepat menuju Apotek. Ia harus segera memikirkan apa yang harus dilakukannya. Bercerai ? karena Shaba sudah pasti tidak akan menu menerima bayinya.
***
Dikantornya Shaba mengumpat saat sedang memimpin rapat, dia justru tiba-tiba membayangkan enaknya asinan bogor. Ada apa dengan dirinya ? Belakangan ini ia sering tiba-tiba menginginkan sesuatu. Kemarin dia baru saja merepotkan sekertarisnya untuk mencarikan pempek Palembang dan mengantarkannya ke kantor saat sang sekertaris sudah berada di rumah. Tidak hanya itu, malam sebelumnya ia bahkan membangunkan Alin jam satu dini hari saat tiba-tiba ia merasa lapar dan menginginkan mie rebus dengan sayur sawi dan telur, serta potongan cabai dan tomat. Meskipun dengan muka mengantuk, kekasihnya itu tetap bangun dan membuatkannya semangkuk mie rebus yang diinginkannya. Salah satu bawahannya bahkan mengatakan ia sedang ngidam. Ia mendengus.
“ Ada apa Pak ?” Rafa, asistennya memiringkan tubuhnya untuk bisa berbisik di telinga sang atasan. Shaba menghela nafas. Ia hanya melirik sang asisten. Tidak mungkin dia mengatakan keinginannya pada saat di depannya, manager pelaksana sedang memaparkan perkembangan proyek mereka. Tiga puluh menit Shaba menahan, hingga liurnya serasa hendak menetes. Dia bahkan tidak bisa berkonsentrasi pada meeting kali ini. Begitu ia menutup rapat, Shaba segera bergegas kembali ke kantornya diikuti Rafa. Tiba didepan ruang kerjanya, ia menoleh kearah sang sekertaris, Nana.
“ Na … carikan saya asinan bogor.” Nana melongo. Matanya mengerjap-ngerjap sementara Shaba tidak mau ambil pusing, ia segera melanjutkan langkahnya memasuki kantor. Nana menoleh kearah Rafa, dan dibalas gelengan kepala oleh pria 25 tahun itu sebelum bergegas mengikuti sang bos masuk ke dalam ruangan. Nana mendesah, kemudian segera mencari rumah makan yang menyediakan asinan bogor. Bos nya benar-benar aneh belakangan ini. Ia sudah pernah menanyakan kemungkinan istri sang bos hamil. Ada kalanya justru sang suami yang mengalami ngidam. Tapi atasannya itu justru marah-marah. Setelah itu Nana tidak berani lagi membahasnya. Tapi tebakannya itu semakin menguat kala keanehan sang bos terus berlanjut.