Langkah kaki Januari berhenti di sebuah gedung besar, kepalanya mendongak, menatap sebuah nama yang terpampang besar dihadapannya. Ia menghela nafas panjang. Keputusannya sudah bulat saat beberapa minggu yang lalu memutuskan menerima tawaran untuk menjadi salah satu penyidik di K*K. Salah satu komisi yang bertugas melibas para koruptor di negri ini. Bukan tanpa alasan ia menerima tawaran tersebut. Januari yang sejak kecil sudah merasakan hidup serba susah, mempunyai harapan besar agar kehidupan masyarakat di negara tercinta bisa lebih baik. Pada masa ia tumbuh hingga 29 tahun, ia bisa melihat kesenjangan sosial yang ada, begitu banyak koruptor yang hanya memikirkan perut mereka sendiri, padahal diluar sana banyak masyarakat yang masih hidup serba susah. Ia sangat membenci koruptor, yang mirisnya bahkan meskipun sudah dipenjara, mereka masih bisa menikmati fasilitas hotel berbintang di dalam sana. Kembali menghela nafas Panjang, lalu melanjutkan langkahnya memasuki gedung tempatnya bekerja.
“ Selamat pagi Pak.” Sapa salah satu staf saat berpapasan dengannya di lobi. Janu mengangguk kecil. Matanya menyapu seluruh ruangan lobi sesaat, ia harus bergegas menuju ke lantai 7 tempatnya bekerja. Memasuki lift begitu pintu besi kotak itu terbuka, lalu menekan no lantai yang ditujunya. Ia menarik nafas panjang. Menyiapkan dirinya untuk melalui satu hari lagi di tempat yang sama.
“ Apa Pak Fendi sudah datang ?” tanya Janu pada seorang perempuan yang duduk dimeja luar ruangannya. Sasa yang sedang sibuk mengetik mendongak dari layar komputer didepannya, lalu bergegas berdiri dan menyapa atasannya.
“ Oh … selamat pagi Pak. Sudah barusan. Sekitar lima menit yang lalu.” Sasa menunjuk pintu kantor Janu dari tempatnya. Janu menoleh kearah pintu, kemudian mengangguk kecil.
“ Saya tidak ingin ada gangguan selama 30 menit ke depan. Tolong pastikan.” Titahnya yang langsung diangguki Sasa. Janu segera melangkah, membuka pintu, dan memasuki ruangannya. Seseorang yang sudah menunggunya segera berdiri, mengulurkan tangan kanannya kepada Janu yang langsung ia sambut.
“ Maaf menunggu.” Janu meminta maaf karena telah membuat seorang seperti Pak Fendi menunggu kedatangannya. Di jalan menuju kantornya, dia harus berhenti membantu seorang pengendara motor yang mengalami kecelakaan tunggal hingga ia sedikit terlambat sampai di kantor. Pak Fendi tersenyum.
“ Saya yang datangnya kepagian.” Pak Fendi melirik jam dinding di depannya. Janu merespon dengan senyum.
“ Mari silahkan duduk.” Janu mempersilahkan Pak Fendi duduk. Dengan cepat mereka sudah terlibat dalam perbincangan serius. Wajah keduanya nampak tegang.
“ Kalau sudah ada bukt-bukti, kenapa tidak langsung dibuat surat penangkapan ?” tanya Janu penasaran. Pak Fendi menggeleng.
“ Masih kurang kuat. Tidak ada yang menyebutkan nama Dondi didalamnya. Kalau kita maju sekarang, kita hanya akan mendapatkan tikus-tikus kecil.” Kening Janu berlipat. Benar apa yang dikatakan Pak Fendi. Buruan mereka adalah si Anjing besar. Kalau hanya bisa menangkap tikus-tikus kecil, maka akan muncul tikus-tikus kecil lainnya. Percuma.
“ Lalu apa tindakan kepolisian ?”
“ Kami masih tetap menyusup untuk mendapatkan informasi lebih lanjut. Tidak mudah, pastinya butuh waktu karena mereka tidak akan memperlihatkan belangnya didepan semua orang. Hanya mereka yang sudah masuk ke lingkup yang dipercaya yang akan bisa mendapatkan informasi penting yang kita cari.”
“ Tentu saja, mereka bukan orang bodoh. Tapi pasti akan ada celah. Sepandai apapun seseorang menyimpan bangkai, baunya pasti akan tercium.” Pak Fendi mengangguk.
“ Kita hanya harus bersabar, dan tetap mengawasi dengan ketat.” Tiga puluh menit lebih Janu berbincang dengan Pak Fendi. Mereka sedang melakukan penyelidikan tentang kasus suap pelepasan lahan, yang kemudian akan dibangun kawasan Elit. Sisa hari itu Janu habiskan untuk membaca berkas-berkas yang melibatkan kasus yang sedang ditanganinya. Selama berjam-jam ia menekuri berkas, dan layar laptop. Matanya mulai lelah. Ia melepaskan kaca mata, lalu menyenderkan punggungnya pada punggung kursi. Kepalanya menengadah, menatap langit-langit. Ia merindukan sosok pahlawannya. Seorang wanita hebat yang sudah menjadikannya seperti sekarang. Tidak ada lagi yang menatapnya rendah. “ Bu … “ gumamnya lirih.
***
Janu remaja yang kala itu baru saja naik ke kelas 2 SMP, merasa kesal saat teman-temannya mulai mengejeknya sebagai anak haram. Tidak punya ayah. Ia sudah mencoba bersabar, menuruti kata sang Ibu yang selalu memintanya bersabar ketika teman-temannya mulai mengatakan hal-hal buruk tentangnya. Ibunya jelas mengatakan, dia bukan anak haram. Dia punya ayah meskipun tidak tinggal bersama mereka. Dan dia mempercayai kata-kata sang Ibu. Baginya cukup dia mendengar apa yang dikatakan Ibunya. Namun kali ini, entah setan apa yang merasukinya, dia menghajar dua orang temannya yang sudah mencela sang Ibu. Mengatai Ibunya perempuan hina, mempunyai anak tanpa suami, p*****r. Bukan hanya telinganya yang panas, hatinya jauh lebih panas ketika mendengar penghinaan yang mereka lontarkan untuk pahlawannya. Semua orang boleh mengejeknya, tapi tidak Ibunya. Satu-satunya orang yang dia cintai didunia.
Kartini bergegas memasuki sekolah, tempat anaknya belajar. Setelah mendapat informasi bahwa sang anak berkelahi, dan ia diminta datang ke sekolah. Tanpa menunggu lama, Kartini meminta ijin majikan tempatnya bekerja dan langsung mendatangi sekolah sang putra. Putranya selama ini selalu bersikap tenang. Ia selalu memberitahu putranya untuk tidak menggunakan kekerasan dalam menyikapi sebuah masalah. Janu, meskipun baru berusia 13 tahun, tapi anak itu sudah bisa berpikir dewasa. Itu sebabnya ia merasa heran begitu mengetahui putranya berkelahi di sekolah. Kartini mengetuk pintu ruang kepala sekolah. Ia membuka pintu didepannya setelah mendapatkan ijin untuk masuk. Kembali menutup pintu setelah melangkah ke dalam ruangan. Kartini mengangguk hormat kepada sosok kepala sekolah yang sedang duduk di meja kerjanya. Kemudian melangkahkan kaki mendekat.
“ Selamat siang pak. Saya Ibunya Januari.” Kartini memperkenalkan diri. Sang kepala sekolah yang belum terlalu tua itu tersenyum, lalu meminta Kartini duduk. Kartini mengucapkan terima kasih, lalu menduduki kursi di seberang sang Kepala Sekolah.
“ Januari anak yang pintar. Dia selalu mendapatkan peringkat pertama selama ini. Tapi apa yang dia lakukan hari ini benar-benar mengecewakan Bu.” Kartini menatap tak percaya pria di depannya. Pria itu mendesah.
“ Kenyataannya memang seperti itu. Saya juga tidak ingin mempercayainya. Dia menghajar dua orang siswa lainnya hingga babak belur.” Kartini terperangah. Matanya mengedip berkali-kali.
“ Itu … tidak mungkin Pak.” Kartini menggeleng tidak percaya. Putranya tidak mungkin seganas itu. Dia anak yang manis. Sang kepala sekolah yang bernama Bramanta itu mengangkat gagang telpon. Meminta seseorang di seberang sana memanggil Janu untuk datang ke ruang kepala sekolah. Tak lama, pintu kembali terkuak, memunculkan sosok Januari dengan beberapa luka lebam di mukanya. Kartini segera beranjak. Dengan tergesa-gesa ia menghampiri sang putra. Wajahnya tampak panik.
“ Mana yang sakit Janu ?” Kartini memeriksa tubuh sang putra. Janu menggeleng.
“ Janu tidak apa-apa Bu. Hanya luka kecil.” Kartini menyentuh luka robek di sudut bibir sang putra hingga Janu meringis.
“ Sudah diobati ?” Janu mengangguk. Kartini kembali menegakkan tubuhnya kala mengingat sedang berada di ruang kepala sekolah. Ia menoleh ke belakang, lalu menuntun sang putra mendekat. Mereka berdua duduk di depan kepala sekolah.
“ Ibumu tidak percaya kamu sanggup menghajar dua orang temanmu.” Kartini menoleh kearah sang putra yang sedang menundukkan kepala.
“ Apa benar ?” tanya Kartini lirih. Janu mengangguk, membuat Kartini menghela nafas berat.
“ Kenapa ?” Janu mengangkat wajahnya, menatap sang Ibu.
“ Karena mereka menghina Ibu.” Kartini tercekat. Ia menatap sayu sang putra.
“ Mereka bilang Ibu bukan wanita baik-baik. Punya anak tanpa suami “ sesaat Janu kembali menunduk. “ Mereka bilang Ibu … “ Ia Kembali mengangkat wajahnya, dan bertemu tatap dengan kedua mata sang Ibu “ Pelacur.” Ucapnya lihir. Kartini membelalakkan matanya. Nafasnya terasa tercekat. Bukan hanya sekali dia mendengar penghakiman orang tentang dirinya yang membesarkan anak tanpa suami, tapi tetap saja masih terasa sakit kala ia kembali mendengarnya. Ia tahu anaknya salah karena sudah berkelahi, namun ia juga tidak bisa menyalahkan Janu sepenuhnya setelah mendengar alasan dari mulut sang putra. Ia hanya ingin melindungi sang Ibu. Kartini menoleh kearah sang kepala sekolah.
“ Anak saya salah karena berkelahi. Bapak bisa menghukumnya. Tapi saya juga tidak terima anak saya di hina. Dia bukan anak haram. Dia lahir dari pernikahan yang sah secara hukun dan agama, meskipun pada akhirnya saya lebih memilih membesarkannya sendiri.” Tangan Kartini bergerak membuka tas lusuh yang dibawanya. Ia mengeluarkan buku nikah yang masih disimpannya, lalu menyerahkannya pada sang kepala sekolah. Mata sang kepala sekolah membelalak begitu membuka buku nikah yang diterimanya. Kepalanya terangkat untuk menatap wanita di depannya. Wanita dengan pakaian sangat sederhana. Meskipun begitu, garis-garis kecantikannya masih bisa dengan jelas terlihat. Dalam hati ia mengucap … pantas saja ia merasa familiar dengan wajah di depannya. Siapa yang tidak mengenal keluarga Yusuf, dan Husein. Memang sudah lama tidak pernah terdengar kabar tentang wanita di depannya setelah kasus itu.
“ Saya harap Bapak bisa bijak untuk tidak menyebarkannya. Cukup bapak tahu bahwa anak saya bukan anak haram. Apa yang Bapak ketahui sekarang, saya harap bisa tetap tersimpan.” Kartini menoleh pada sang putra. “ Demi anak saya.” Ia kembali menoleh pada sang kepala sekolah. Bramanta mengangguk kala menangkap sirat memohon pada kedua manik wanita di depannya.
“ Jangan khawatir Bu.”
Sejak saat itu tidak ada lagi yang membulinya. Janu tidak paham apa yang diperlihatkan Ibunya kepada sang kepala sekolah saat itu, tapi apa yang Ibunya lakukan hari itu menjadikan hari-hari Janu lebih baik. Tanpa pandangan rendah, dan bullian dari teman-temannya. Ibunya memang pahlawannya. Selamanya akan seperti itu.