Part 6. Kasus Pertama

1697 Kata
Janu menggeram ketika melihat bukti-bukti lain yang disodorkan Pak Fendi. Mereka sedang bertemu di sebuah restaurant. Pak Fendi tidak bisa menunggu hingga pagi untuk bisa menemui Janu dan memperlihatkan beberapa bukti yang baru saja ia dapatkan dari orang-orang yang menyusup ke kelompok Dondi. Orang yang sedang mereka selidiki. “ Jadi Dondi ternyata hanya seekor kucing ?” tanyanya yang langsung diangguki Pak Fendi. Padahal selama beberapa bulan mereka melakukan penyelidikan, mereka sudah yakin bahwa Dondi adalah si anj*ng yang mereka cari. Istilah yang mereka pakai untuk orang yang paling bertanggung jawab. “ Benar. Bukan dia anj*ng yang kita kerjar.” Janu mendesah. Dia pikir kasus pertama yang ditanganinya akan segera berakhir, setelah mendapatkan titik terang tentang seseorang bernama Dondi. Namun ternyata kasus itu tidak sesederhana yang dipikirkannya. Pekerjaannya sekarang memang dunia yang baru di masukinya. Dia masih butuh banyak bantuan dari orang lain, dan juga pengalaman. Dan Pak Fendi adalah salah satu orang yang membantunya dengan tulus. Mereka sudah saling kenal selama 3 tahun terakhir. “ Sepertinya orang yang kita cari ini benar-benar sudah ahli dibidangnya. Dia sudah merencanakannya dengan sangat rapi. Selimutnya berlapis-lapis hingga kita akan kesulitan menemukannya.” Pak Fendi bukan orang baru dalam kepolisian. Pria itu sudah 15 tahun mengabdi pada kesatuan, dan kasus yang sedang diselidikinya juga bukanlah kasus pertama. Ia sudah cukup berpengalaman dalam dunia ini. Ia yakin orang yang mereka cari bukanlah orang sembarangan. Dia memiliki banyak kaki tangan, dan juga memiliki banyak hubungan dengan para pejabat. Dia akan mudah untuk menangkapnya. “ Sepertinya memang begitu.” Janu menatap Pak Fendi yang terlihat sedang memikirkan sesuatu. “ Ada kemungkinan ini orang yang sama yang menunggangi kasus pelepasan hutan di daerah puncak.” Janu mengetukkan jari-jarinya diatas meja. Akan semakin menarik kalau ternyata mereka adalah orang yang sama. “ Apa yang harus kita lakukan sekarang ?” tanya Janu setelah mencoba memikirkan langkah selanjutnya, namun ia masih merasa belum yakin. “ Dari informasi yang kami dapat, minggu depan Dondi akan pergi ke Singapura. Kami akan mengikutinya. Kemungkinan besar dia akan bertemu dengan si Anj*ng besar diluar Indonesia untuk mengecoh kita.” Janu menganggukkan kepalanya. Kemungkinan itu sangat masuk akal. Mereka pasti sudah mencium kemungkinan sedang di selidiki, mengingat beberapa pejabat yang menerima suap sudah mereka tangkap. “ Semoga benar. Saya sudah tidak sabar ingin tahu siapa si Anj*ng besar ini.” Janu mengalihkan sebentar tatapannya pada beberapa lembar bukti baru yang di bawa Pak Fendi. “ Apa para tikus itu belum ada yang buka suara ?” Pak Fendi mendesah berat. Pekerjaannya untuk membuat tangkapan mereka membuka suara dan mengakui siapa dalang dibalik kasus tersebut masih belum berhasil. Entah apa yang diberikan di anjing mengingat para kaki tangannya begitu setia menutup mulut untuk melindunginya. “ Belum. Mereka masih setia menutup rapat mulut mereka.” *** Pertemuan mereka berakhir setelah makan malam. Janu melajukan kembali mobilnya menuju sebuah apartement yang baru ditempatinya beberapa bulan terakhir setelah ia kembali dari sebuah desa kecil di Surabaya. Setelah sampai, ia bergegas naik ke lantai dua belas, tempat unitnya berada. Dia merasa lebih praktis tinggal diapartemen dibanding rumah. Letaknya juga tidak terlalu jauh dari pusat kota, juga kantor tempatnya sekarang bekerja. Bukan hal mudah bagi seorang Januari Bagaskara untuk bisa membeli satu unit apartemen dikawasan elit seperti yang ditempatinya sekarang. Butuh perjuangan dan kerja keras. Dia tidak akan pernah melupakan perjuangan sang Ibu dalam menyekolahkannya. Penuh peluh dan tetes air mata. Dia bersyukur diberi tuhan otak yang tergolong cerdas, dan dia yakin mewarisi itu dari sang Ibu. Dengan kecerdasannya, ia berhasil masuk perguruan tinggi negri melalui jalur PMDK. Setelah lulus S1, dia juga berhasil mendapatkan bea siswa penuh di Yale University. Dia tidak pernah berkecil hati meskipun berasal dari keluarga miskin. Jangan tanyakan dari mana dia membeli pakaian-pakaiannya karena dia bahkan lebih sering mendapatkannya dari pasar loak. Bagi seorang Januari Bagaskara, selama ia masih bisa makan … itu sudah cukup. Ia membuka pintu apartemennya, dan langsung disambut kegelapan, serta keheningan. Memang apa yang bisa dia harapkan saat dirinya hanya tinggal seorang diri di tempat itu. Sudah tidak ada sosok Ibu yang akan selalu menunggunya pulang. Tidak ada suara lembut sang Ibu yang akan selalu menanyakan bagaimana harinya. Setelah menutup kembali pintu apartemennya, tangannya bergegas menyalakan saklar lampu hingga terang berganti menyapanya. Langkahnya terhela masuk menuju dapur. Diambilnya gelas dan sebotol air dingin dari dalam lemari pendinginnya. Mengisi penuh gelas dengan air dingin, kemudian Ia teguk hingga tandas. Ia duduk di kursi bar yang sengaja dia letakkan di dekat dapur. Matanya menyapa seluruh ruangan. Seandainya sang Ibu masih ada, beliau pasti menyukai dapurnya. Hobi sang Ibu memasak bisa tersalurkan. Dia tidak menyangka bahwa ternyata sosok sederhanya yang sangat menyayanginya itu bukanlah wanita biasa. Dia berasal dari keluarga terpandang. Hidup bergelimang harta. Dan demi dirinya, wanita yang selama ini ia kenal bernama Kartini itu sanggup melepaskan semuanya. Tangannya bahkan tak lagi terasa halus. Kedua tangan yang sebelumnya hanya terbiasa menyentuh piano itu selalu terasa kasar. Ia bahkan rela menjadi pembantu rumah tangga, juga memulung untuk bisa menghidupi putranya. Matanya memanas, dadanya terasa sesak. Ia sudah membaca seluruh isi tulisan dalam buku diari itu. Pengorbanan Ibu nya tak akan pernah sanggup dia balas. Januari tidak akan pernah bisa melihat dunia andai Shameeta tidak melindunginya sedemikian erat. Menyembunyikan keberadaan mereka berdua sedemikian rapat hingga tak ada satupun dari keluarganya, juga keluarga mantan suaminya mengetahui keberadaan mereka. Shameeta … merubah seluruh identitas dirinya. Tidak ada lagi Shameeta setelah ia keluar dari tempat terkutuk itu. Kedua tangan Janu terkepal erat, saat mengingat bagaimana sang ibu menuliskan perlakuan yang dia dapat dari seseorang yang seharusnya menjadi pelindungnya. Ingin rasanya ia menghancurkan mereka yang sudah menyakiti Ibunya terlalu dalam. Memfitnahnya, hingga Ibunya tak punya pilihan lain selain menghilang. Mereka, orang-orang terkutuk itu seharusnya mendapatkan balasan, tapi lihatlah … setelah 29 tahun, saat akhirnya Januari bisa melihat dengan jelas siapa dirinya, orang-orang itu justru hidup bak di surga dunia. Ibunya selalu bilang, setiap perbuatan pasti ada balasannya. Tapi mengapa mereka masih belum menerima balasan yang seharusnya sudah mereka dapatkan jauh-jauh hari. Dering suara ponsel membuat tangannya bergerak masuk kedalam saku jaketnya. Matanya memicing melihat nama si penelpon. “ Halo … “ “ Janu … kenapa kamu nggak pernah balas pesan-pesanku ? telponku juga sering kamu abaikan.” “ Aku sibuk Gea … “ terdengar suara desah tak terima dari ujung telepon. “ Bisa kita ketemu besok ?” cukup lama Janu terdiam. “ Janu ..!! “ Teriakan Gea membuat Janu menggelengkan kepala. Masih belum berubah, pikirnya. “ Sorry Gea … besok aku ada pertemuan penting. Apa apa ? bilang saja.” Gea berdecak. Ia kesal. Kenapa terlalu sulit untuk bisa mendapatkan sedikit saja perhatian dari pria yang sedang dihubunginya. “ Aku kangen … “ jawab lirih Gea. Giliran Janu yang mendesah. Gadis yang sudah dikenalnya selama 5 tahun itu masih belum mau menyerah meskipun sudah berulang kali ia menolaknya. Hidupnya terlalu rumit untuk membina hubungan yang berbau romantisme. “ Sudah sering kukatakan. Aku tidak berniat dengan hubungan romantis. Kalau kamu keberatan dengan pertemanan kita, kamu bi--” “ Nggak mau. Apa sih yang kurang dariku ? sudah lama kita berteman. Lima tahun Janu. Apa sesulit itu buat kamu untuk bisa menerimaku ?” “ Maaf Gea … aku benar-benar--” “ Besok aku akan datang ke tempatmu bekerja.” Potong Gea cepat. Dan suara bunyi “ Klik” terdengar begitu saja. Janu menghela nafas panjang. *** Benar saja, keesokan harinya, begitu Janu melangkah memasuki lobi gedung tempatnya bekerja, seorang wanita dengan rambut ikal sebahu sudah menunggunya. Wanita itu langsung berdiri dari sofa tempat ia semula duduk, tersenyum, lalu melangkah mendekati Janu. Janu mendesah kala Gea, wanita yang sudah lima tahun ia kenal itu langsung bergelayut manja di lengan kanannya. “ Kamu ngapain pagi-pagi sudah ada di sini ?” Janu menghentikan langkahnya, tangannya mencoba melepaskan belitan tangan Gea. Gea berdecak tidak suka. Wajahnya memberengut. “ Aku sudah bilang akan mendatangi tempat kerjamu.” “ Dan seingatku aku belum mengijinkanmu.” Gea medengus. ia menatap tak percaya pria di sampingnya yang memiliki hati sedingin es di kutup utara. “ Kamu nggak pernah mau kuajak ketemu.” Tuduhnya yang memang benar adanya. Janu hanya meliriknya sebentar. “ Aku sibuk Gea.” Janu mendesah saat matanya menyapu lobi dan menyadari bahwa mereka sudah menjadi bahan tontonan di tempatnya bekerja. Dia menarik paksa tangan Gea ke balik guci besar yang terletak di lobi. Berharap bisa menghalangi pandangan orang-orang yang masih penasaran melihat drama mereka. “ Tolong jangan mempermalukanku ditempat kerjaku sendiri.” Janu menatap tajam Gea yang terperangah. Gea menggelengkan kepalanya. “ Aku tidak pernah ingin mempermalukanmu.” Gea mendengus. “ Jadi sekarang kamu juga tidak mau terlihat bersamaku ?”. Rahang Janu menggeretak. Dia kembali menarik tangan Gea, membawanya keluar dari lobi. Gea berusaha menahan langkahnya, namun pada akhirnya dia justru terseret. Gea menghentakkan tangannya begitu langkah Janu berhenti. “ Kamu keterlaluan Janu !!!” matanya memerah menatap penuh kemarahan pria yang sayangnya sudah terlanjut mengambil hatinya. “Kamu yang keterlaluan.” Tekan Janu. “ Kamu tahu aku baru saja bekerja di tempat ini. Dan tempat ini bukan perusahaan seperti tempatmu bekerja.” Janu menunjuk tulisan besar yang terpampang di depan gedung. Ia menghela nafas panjang. “ Sekarang pergilah. Aku akan menemuimu saat waktuku sudah longgar. Aku tidak bisa bermain-main dengan pekerjaanku Ge.” Tatapan Janu melembut. Biar bagaimanapun, Gea sudah menjadi sahabatnya selama 5 tahun terakhir. Gea yang berasal dari keluarga kaya, anak seorang Hakim ternama di kota Jakarta, tidak pernah merasa malu berteman dengan Janu yang bukan siapa-siapa. Mata Gea sudah berkaca-kaca. Janu paling benci melihat seorang wanita menangis. “ Ayolah Ge … kamu juga harus bekerja.” Janu melihat jam yang melingkar dipergelangan tangan kirinya. “ Aku ada meeting pagi ini.” Janu memperhatikan tempat parkir. “ Kamu ke sini bawa mobil atau naik taxi ?” tanyanya ketika tidak melihat mobil yang biasa Gea pakai. “ Diantar sopir Papa.” Jawab Gea pada akhirnya. Janu mendesah. Dia tidak bisa mengantar Gea ke kantornya. Gea memperhatikan Janu yang terlihat gelisah. Ia tahu ia yang salah kali ini karena sudah mengganggu pekerjaan Janu. Pria di hadapannya ini memang sudah bukan pria biasa lagi. “ Masuklah … aku akan cari taxi.” Gea mendorong tubuh Janu untuk kembali masuk. Janu menarik nafas panjang. “ Maaf .. “
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN