“Kata maaf memang terdengar menjemukan karena sudah sering kuucap. Tapi, walau itu menjemukan itu tanda kalau aku tak mau kehilanganmu, Bia. Maafkan aku atas semuanya, terimalah cintaku lagi,” ujar sebuah suara yang membuat seluruh anak yang baru saja turun dari bis bersorak-sorai.
Ternyata kedatangan Bia disambut oleh Egi yang sudah tersenyum gagah dengan seragamnya sambil membawa sebuket bunga krisan putih. Pipi Bia bersemu merah. Dia merasa terharu karena kejutan yang diberikan Egi. Semua anak makin riuh bersorak ketika Bia akhirnya memeluk Egi mesra. Terkecuali Natasya yang tetap berwajah datar walau hatinya sakit. Dia memilih untuk membuang wajahnya.
“Berlebihan,” sindir Tasya dingin sambil berjalan cepat meninggalkan kerumunan itu.
“Hei Tasya!” cergah Fania. Tasya berhenti dan menoleh sedikit.
“Kamu ini ya, gak bisa lihat temanmu bahagia. Kenapa sih kamu suka cari masalah!” kata Fania sambil mencengkram lengan Tasya. Tasya melepas paksa tangan Fania. Dia menyeringai tajam.
“Siapa temanku? Bia? Mimpi!”ujar Tasya malas. Beberapa anak mulai berbisik-bisik ke arahnya.
“Denger ya, kalau bukan karena perintah guru, kami sekelas gak mau berkelompok denganmu,” ujar Fania tajam.
“Tenang saja, aku juga tidak mau berkelompok dengan siapapun,” ujar Tasya dingin.
“Maksudmu?” ujar Fania hendak menarik kasar tangan Tasya. Namun, tiba-tiba suara Bia memecah keduanya.
“Udahlah Fan. Kita pergi saja yuk!” ajak Bia sambil menarik Fania. Tasya tak mempedulikan itu dan memilih meneruskan langkahnya.
Hati Tasya tak sama dengan wajahnya yang selalu tanpa ekspresi. Hatinya bergejolak tak karuan. Apalagi setelah mengetahui jika Egi menjadi salah satu pembinanya di perkemahan ini. Rupanya sekolah itu bekerja sama dengan anggota TNI. Tasya harus bekerja keras untuk menyembunyikan gemuruh hatinya selama 3 hari ke depan. Padahal hatinya sudah penuh dengan kemarahan, sedih, cemburu, luka, dan dendam. Bagaimana juga di mata anak-anak, Tasya adalah tokoh antagonis yang selalu menindas Bia. Padahal andai mereka tahu kalau Tasyalah yang paling terluka karena Bia.
“Natasya, Ibu harap kamu bisa bekerja sama dengan teman-temanmu selama 3 hari ke depan. Tolong jangan buat permusuhan atau hal-hal yang aneh lainnya. Lebih baik simpan tenda yang kamu bawa dan masuk ke tenda kelompokmu. Mengerti kamu?” tanya Bu Andara ketika mengetahui kalau Tasya membawa tendanya sendiri.
“Saya tidak biasa tidur dengan orang lain, Bu,” ujar Tasya malas.
“Saya tidak mau tahu. Di sini kamu bukanlah pemegang ranking 1 paralel. Kamu juga bukan pemenang olimpiade Matematika tingkat nasional. Kamu sama dengan yang lain. Ingat itu!” ujar Bu Andara sambil meninggalkan Tasya. Tasya hanya cemberut apalagi setelah melihat wajah marah wali kelasnya itu.
“Tasya!” panggil sebuah suara yang membuat Tasya malas. Mengapa dia tak bisa sendirian saja, batinnya.
“Sini aku bantu bawain barangmu. Aku penanggungjawab kelas 11 IPA 1 dan IPA 2,” kata Egi sambil meraih tas besar milik Tasya. Tasya merampas kasar barangnya dari tangan Egi. Dia tak mau menerima kebaikan Egi.
“Kamu masih marah ya sama aku?” tanya Egi ketika mendapat pelototan dari mata bulat Tasya.
“Maaf ya Pak Tentara. Saya bisa sendiri. Saya mandiri dan tidak membutuhkan orang lain. Terima kasih,” ujar Tasya sambil tersenyum datar. Egi hanya bisa melongo melihat kelakuan mantan kekasihnya itu.
Natasya hanya meringis kecut ketika kelompok kemahnya memberinya posisi di belakang tenda untuk tidur. Dia tahu mereka sedang mengucilkannya. Tasya juga tak peduli. Dia malah senang karena mendapat tempat sendiri. Dia bisa membuat dunianya sendiri seperti biasanya. Namun, wajahnya agak berubah ketika mendengar ada beberapa anak yang berbisik membicarakan tentang dirinya. Mereka mengatakan bahwa Tasya memusuhi Bia karena Egi menolak cinta Tasya. Jelas itu adalah sebuah kebohongan. Mengapa sesuatu yang ingin disimpannya rapat itu bisa menjadi gosip tak jelas.
“Jangan didengerin, Tasya,” ujar sebuah suara yang memecah konsentrasi Tasya. Wajahnya mendadak dingin ketika melihat Dinna berusaha mengajaknya bicara.
“Hai aku Dinna,” ujar Dinna manis sambil menyodorkan tangannya. Tasya heran mengapa ada yang mau mengajaknya bicara, terutama anak kelas Bia.
“Mau apa?” tanya Tasya dingin. Dinna menggeleng tegas.
“Gak usah khawatir Tasya. Aku Natalicious kok,” ujar Dinna ceria.
Tasya bingung mendengar penuturan Dinna. Kemudian kebingungan itu terjawab ketika Dinna mengeluarkan sebuah buku kecil dan tebal. Buku itu berisi foto-foto Natasya ketika memenangkan beberapa penghargaan, ketika Tasya menang olimpiade, dan foto-foto Tasya lainnya. Rupanya Dinna dan beberapa anak lainnya membentuk sebuah grup bernama Natalicious. Grup itu ternyata berisi anak-anak yang menyukai dan kagum pada prestasi Tasya.
“Kamu udah bikin kami terinspirasi dan kami bisa juara kelas. Makasih ya Natasya,” ujar Dinna tulus. Tasya hanya melongo mendengar penuturan Dinna. Di antara sekian banyak orang yang membencinya, ada yang menggemarinya diam-diam.
“Masa sampai kayak gitu?” tanya Tasya datar. Dinna mengangguk senang.
“Ayo makan siang bersama kami!” ajak Dinna senang.
“Gak, makasih,” ujar Tasya menolak ajakan Dinna sambil beranjak pergi. Wajah Dinna terlihat kecewa namun kemudian dia tersenyum misterius.
“Tasya memang selalu keren!” gumamnya sambil tersenyum.
---
Baru saja tangan mungil Tasya hendak membuka kotak makan, langkah itu terdengar mendekati tubuh mungil Tasya. Wajah senang Tasya berubah menjadi kecut karena selalu ada yang menganggunya. Dia bergumam tak bisakah dia sendirian saja. Setidaknya ketika dia makan. Paling tidak dia tak harus berpura-pura cuek dan dingin. Paling tidak dia juga bisa menjadi dirinya sendiri.
“O jadi ini si pembuat onar yang tidak mau kumpul sama temannya!” ujar suara itu. Tasya menoleh kesal pada pemilik suara itu. Ekspresi matanya tetiba berubah ketika melihat lelaki tinggi berseragam doreng itu. Arah matanya langsung membaca tulisan di d**a kanannya. Arga Dimas Aditya.
“Siapa namamu?” tanya tentara muda bernama Arga itu sambil membaca nama di name tag Tasya.
“Natasya Alleira,” ujar Arga lagi. Tasya beringsut malas menghindari Arga.
“Bapak mau apa?” tanya Tasya malas. Arga tertawa.
“Pantesan namamu mendapat garis bawah merah, ternyata begini ya. Gini ya Dek, tujuan acara ini supaya kalian bekerja sama, saling membantu, saling menerima satu sama lain, saling berteman, dan saling memahami. Bukan seperti kamu ini yang malah menyendiri. Membuat dunia sendiri,” ujar Arga menyeramahi Tasya.
“Lalu?” tanya Tasya malas tanpa menatap Arga. Arga lantas menangkap wajah Tasya.
“Kenapa kamu di sini, Dek? Ayo kembali ke kelompok!” suruh Arga.
“Gak, makasih,” ujar Tasya pendek.
“Tidak usah manja!” kata Arga sambil memegang kedua pundak Tasya.
“Jangan sentuh saya, saya bisa teriak. Bapak bisa dituduh macam-macam,” ujar Tasya dingin. Arga bergeming, dia heran dengan kelakuan gadis berusia 17 tahun di depannya itu. Dia memang susah diatur.
Tasya kembali meneruskan makannya. Dia tersenyum samar. Dia tahu pasti tentara itu takkan berani mengusiknya lagi. Siapa suruh menganggu dirinya. Pasti mereka sudah diberi tahu tentang karakteristik Tasya yang memang menonjol di banding teman-temannya. Apalagi tadi Arga bilang Tasya mendapat garis bawah merah. Pasti dia menjadi pusat perhatian bagi para pembinanya itu.
“Selamat sore Adik-adik. Perkenalkan nama saya Arga Dimas Aditya, pangkat letnan satu. Jabatan Komandan Peleton 1 Taikam Yonif Para Raider 305 Tengkorak. Usia saya 26 tahun, 9 tahun lebih tua dibanding Adik-adik, kan? Saya adalah ketua pembina kalian selama 3 hari di sini,” sambut Arga di hadapan para siswa SMA 1 Bandung. Anak-anak itu bersorak-sorai, terutama anak perempuan yang terkesima dengan penampilan Arga. Kecuali Tasya yang hanya melirik ketus.
“Baik, sebagai tanda dibukanya kegiatan kita, saya mau salah satu anak masuk ke kolam itu dan mengambil pita berwarna kuning di dasar kolam,” ujar Arga lantang. Anak-anak bergidik karena melihat air kolam yang berwarna hijau karena lumut. Arga mesem samar dan tiba-tiba membuat pernyataan mengejutkan.
“Saya mau Natasya Alleira kelas 11 IPA 1 yang mengambil pitanya!” ujar Arga yang membuat Tasya mendongak kaget. Dia tak menyangka Arga menyimpan dendam. Anak-anak yang lain langsung berbisik-bisik. Apalagi ketika Tasya akhirnya maju ke depan barisan anak-anak.
“Ini pelampungnya!” ujar Arga sambil menyodorkan sebuah pelampung kecil.
Namun, wajah Tasya lebih sinis. Dia tak menanggapi Arga dan langsung melompat ke dalam kolam hijau itu. Arga terkejut bukan main dengan kelakuan Tasya. Egi juga hanya bisa melongo melihat tindakan mantan kekasihnya itu. Dengan lincah Tasya menyelam ke dasar kolam dan mengambil pita kuning itu. Tindakan Tasya disambut tepuk tangan riuh dari beberapa anak termasuk Egi. Egi memang sedang berusaha mengambil hatinya lagi.
“Puas?” tanya Tasya sambil menyerahkan pita kuning itu di tangan Arga dengan kasar. Lalu dia berlalu begitu saja meninggalkan kerumunan anak-anak.
***