Ekspresi wajah Natasya terlihat dingin seperti es moka yang sedang digenggamnya. Dia duduk sendiri di sebuah kedai kopi tempat janjiannya dengan Egi. Egi mengajaknya bertemu selepas dinas di pukul 5 sore. Tak lama kemudian, wajah Natasya menghangat karena melihat kedatangan Egi. Namun, dia kembali mendatar ketika menyadari Egi masih memakai seragam militernya.
“Kenapa cemberut? Aku terlambat ya?” tanya Egi sambil meletakkan kunci mobilnya di depan Natasya.
“Kenapa harus seragaman, Kak?” tanya Natasya dingin.
“Maaf deh, kelamaan kalau ganti baju. Kamu gak pesan makanan? Pulang sekolah pasti kelaparan kan?”tanya Egi perhatian. Egi terlihat cuek walau banyak pengunjung kafe yang memandanginya.
“Aku sudah pesan, pancake ice corn. Pesanlah makananmu,” ujar Natasya dingin.
“Tasya, kok jutek gitu? Oh ayolah, masak kamu marah karena melihatku berseragam,” bujuk Egi.
“Aku cuma gak suka orang lain nglihatin kita.”
“Itu tandanya kamu jadi pusat perhatian. Bagus dong!” hibur Egi.
“Apa bagusnya diperhatikan orang? Toh, kita bukan pasangan,” celetuk Natasya lirih.
“Apa Tasya? Sorry, aku sambil baca SMS dari anggotaku,” kata Egi sambil memegang ponselnya. Natasya menggeleng pelan dan tersenyum samar.
“Eh, kamu senyum ya?” ujar Egi ceria. Natasya hanya menunduk sambil meminum es mokanya yang hampir habis. Gadis dingin itu hanya bisa tersenyum pada Egi.
“Sudahlah Kak. Buat apa menghiburku kalau kamu sendiri sedang susah. Aku tak berhasil membujuk pacarmu,” ujar Natasya cuek.
“Hem, iya juga. Memang aku yang salah kok. Seharusnya aku yang lebih berusaha membujuk Bia. Seharusnya aku lebih sabar kalau pacaran dengan anak SMA,” seloroh Egi tanpa sadar menyentuh hati Natasya.
“Kamu sangat baik pada Bia, tapi tidak denganku.”
“Tasya, maksudku…” kata Egi kikuk seolah baru berbuat kesalahan.
“Apa sih yang kamu lihat dari Bia? Apa yang kurang denganku? Buat apa kamu masih bersama cewek yang kurang minat padamu. Kalau kamu sama aku, aku gak akan marah-marah cuma karena kamu gak balas SMS kayak gini,” omel Natasya yang membuat air muka Egi berubah. Dia merasa bodoh karena sudah menyinggung Natasya. Susah payah dia membuat Natasya mau berteman dengannya, tapi tanpa sadar dia menyinggung Natasya lagi.
“Natasya, aku minta maaf ya sudah melibatkanmu dalam masalahku dan Bia. Aku memang bodoh. Salahkan saja aku, Tasya,” ujar Egi sambil memohon pada Natasya yang sudah berwajah dingin.
“Ini alasanku kenapa aku gak mau berteman atau dekat dengan kalian. Kamu selalu belain Bia. Kamu selalu tunjukkan kalau kamu lebih mencintainya. Kamu jahat, Kak,” ujar Natasya sambil mengangkat tasnya dan beranjak pergi dari Egi. Hatinya tentu saja terluka dan sakit. Susah payah Natasya membuka hati dan menganggap semua baik saja, tapi dia tak bisa memungkiri kalau dia masih sangat mencintai Egi.
Natasya berjalan cepat meninggalkan kedai kopi itu walau Egi terus saja memanggilnya. Egi berhasil mengejarnya dan berusaha menahan langkah Natasya. Dengan sekuat tenaga, Natasya melepaskan pegangan tangan Egi. Dia sudah malas bertemu dengan Egi. Dia juga sudah malas berurusan dengan Bianca. Egi akhirnya menyerah menahan langkah Natasya. Lelaki tinggi itu akhirnya meninggalkan Natasya beranjak pergi. Dia tak mau semakin menghancurkan Natasya.
---
Natasya duduk di sebuah bangku bis pariwisata yang akan membawanya ke Kabupaten Karawang. Sekolahnya akan mengadakan perkemahan di sebuah pangkalan militer dalam rangka mengisi liburan semester. Dia duduk sendiri dan menolak beberapa anak yang ingin duduk dengannya. Seperti biasa, dia memang tak mau berteman dengan siapapun walau banyak anak tertarik padanya. Dia lebih suka membuat dunia sendiri dengan mendengarkan musik dari ponselnya menggunakan headphone. Hati Tasya semakin dingin semenjak pertengkarannya dengan Egi sore itu. Dia tahu pasti saat ini Egi sendirian tanpa kekasih dan teman. Egi kehilangan Bia dan dirinya.
Sementara itu, di kursi belakang, Bia terlihat murung walau Fania mengajaknya bercanda. Dia merasa tak enak hati karena berada di satu bis dengan Tasya. Padahal Bia sudah cukup senang karena tak sekelas dengan Tasya. Bagaimana pula dia adalah yang paling bersalah karena telah menyakiti Tasya. Belum lagi dia teringat dengan pembicaraannya dengan Egi kemarin sore. Pembicaraan yang berakhir dengan tangisan Bia.
“Kita sudahi saja hubungan ini, Kak,” ujar Bia pelan.
“Tuh kan kamu ngomong begitu lagi. Bia, aku kan sudah minta maaf. Aku harus gimana supaya kamu bisa maafin aku,” bujuk Egi sambil memandang Bia yang enggan menatapnya.
“Aku cuma mau kita putus,” ujar Bia lagi. Egi tak ingin itu terjadi pada mereka.
“Dek, jangan semudah itu dong memutuskan hubungan kita. Aku tahu kesalahanku, aku gak akan cuekin kamu lagi. Aku janji bakal lebih sabar menghadapimu,” bujuk Egi.
“Kak, sadar gak sih, hubungan kita nih gak sehat. Kita bersatu di atas penderitaan Tasya. Selama setahun berpacaran denganmu, aku terkurung dalam rasa bersalah,” jelas Bia.
“Iya, aku tahu. Kita sudah melewati banyak hal bersama. Apa kamu yakin melepaskanku begitu saja. Apa kamu yakin Tasya akan memaafkanmu kalau kita putus?” tanya Egi.
“Setidaknya di antara kami gak ada yang bersama Kak Egi kan?”
“Kenapa kamu ngomong kayak gitu sih, Dek?” tanya Egi lunak.
“Sebenarnya apa sih yang bikin Kak Egi suka sama aku? Sampai Kak Egi melukai Tasya? Apa kekurangannya? Dia cantik, pandai, pintar, punya segudang prestasi dan lainnya,” tanya Bia sambil menangis.
“Kamu sudah tahu jawabannya kan.”
“Aku butuh ditegaskan lagi, Kak.”
“Bia, berapa kali harus kutegaskan. Aku suka kamu yang sederhana. Kamu selalu ada buat aku tidak seperti Tasya. Kamu selalu memilihku tidak seperti Tasya yang selalu sibuk belajar. Kamu selalu manis tidak kaku seperti Tasya.”
“Tuh kan, kamu selalu bandingkan aku dengan Tasya!” ujar Bia marah.
“Bukannya awalnya juga begitu! Kamu menarikku karena sifatmu berbanding terbalik dengan Tasya!” kata Egi membalik omongan Bia.
“Bia, masalah kita kali ini cuma karena aku gak balas SMSmu, sudah! Kenapa harus merembet ke masalah yang lain sih?” ujar Egi bingung.
“Karena awal dari semuanya itu adalah kesalahan kita, Kak,” balas Bia.
Bianca sadar dengan apa yang telah dilakukannya. Bagaimana juga dialah yang telah merebut Egi. Siapa suruh Tasya punya manner seperti itu? Mana ada lelaki yang tahan dengannya? Apa Bia salah kalau akhirnya Egi berpaling padanya. Bia memang tak secerdas dan secantik Tasya. Tapi, dia punya kepribadian yang hangat dan membuat orang lain nyaman dengannya. Bia berusaha menenangkan hatinya. Dia tak peduli lagi dengan perasaan Tasya. Bagi Bia, siapa yang dipilih Egi itulah yang terpenting.
“Bia, jangan diam saja dong! Jangan khawatir karena kita satu kelompok dengan Tasya. Kita pasti lindungi kamu kok” ujar Fania yang mengagetkan Bia. Hati Bia khawatir karena tahu kalau mereka akan menjadi 1 kelompok. Pasti suasana di antara Bia dan Tasya akan sangat kaku dan canggung.
“Kita satu kelompok sama dia?” tanya Bia kaku. Fania mengangguk lesu. Masuknya Tasya ke kelompok kelas Bia tentu menjadi hal yang tidak menyenangkan bagi seluruh kelas. Bagaimana pula siapa yang suka berdekatan dengan Tasya?
***