“Oke teman-teman, kegiatan malam ini adalah kegiatan yang paling menyenangkan karena kita bakalan ada sesi permainan. Yeay!” ujar Riana ceria, ketua OSIS.
“Permainannya simpel kok, pesertanya terpilih dari kocokan. Nanti pesertanya harus bercerita di depan banyak orang sesuai dengan tema. Temanya nanti acak sesuai dengan hasil kocokan,” lanjut Riana.
“Aduh yang benar saja. Kita kan lagi happy-happy, masak harus ngarang bebas macam pelajaran Bahasa Indonesia. Bosen!” keluh salah satu anak kelas 1.
“Ah sudahlah. Bakal banyak kejutan loh nanti. Tahun lalu, ada yang jadian karena acara ini!” lanjut Riana yang membuat anak-anak lain kembali bersemangat. Cinta memang selalu menarik. Tapi, tidak bagi Tasya yang wajahnya makin malas. Dia hanya menyendiri di bagian belakang barisan.
“Oke untuk peserta pertama adalah Dinna Audina, kelas 11 IPA 2,” kata Riana setelah mengocok nama peserta. Dengan tenang, Dinna melangkah ke depan barisan sambil tersenyum.
“Nama saya Dinna, malam ini saya akan bicara tentang cinta…” kata Dinna yang diikuti oleh tepukan riuh anak-anak lainnya. Suasana juga makin riuh ketika Dinna bercerita pandangannya tentang cinta. Keriuhan itu makin memuncak ketika Delon, anak kelas 10 maju dan menyatakan cinta pada gadis berambut sebahu itu. Acara itu memang penuh kejutan.
Tetapi, keriuhan dan kebahagiaan anak-anak itu mendadak hening ketika sebuah nama disebut. Natasya Alleira kelas 11 IPA 1. Siapa juga yang tak malas mendengar nama itu. Dia kan terkenal dengan anak yang tidak menyenangkan. Benar saja ketika Tasya melangkah ke depan barisan dengan ekspresi datar, tak ada satupun yang bertepuk tangan untuknya. Pun ketika Dinna ingin menyambutnya, beberapa teman Dinna menahan tepukan tangan Dinna. Tasya berdiri tegap di depan teman-teman dan guru yang menyaksikannya. Di antara mereka juga ada Egi yang sedang duduk dengan Bia. Mereka memang selalu berpasangan seperti merpati.
“Semua orang udah tahu saya, kan?” tanya Tasya dingin dan tak ada yang menyahutnya.
“Tema yang saya bawakan adalah, teman,” ujarnya terbata sambil tersenyum cuek.
“Teman adalah sekumpulan orang b******k!” kata Tasya lantang yang disahuti dengan cemoohan anak yang lain.
“Kenapa protes? Bukannya iya! Mereka adalah sosok yang justru sering menyakiti, merendahkan kita dengan alasan sayang. Teman justru orang yang sering menghianati kita. Teman sering bilang bahwa mereka menerima kita apa adanya. Tetapi, mereka justru adalah orang pertama yang memusuhi kita, iya kan? Mereka yang paling bisa menghancurkan kita karena tahu kelemahan kita. Sebuah permusuhan justru awalnya bermula dari kata teman,” jelas Tasya yang ditanggapi pandangan sinis dari sebagian anak.
“Jangan percaya pada temanmu 100 persen, karena kamu akan mudah terjebak. Saya sudah pernah. Jangan sampai kalian merasakan berbagi kekasih dengan teman,” ujar Tasya sinis sambil melirik ke arah Bia yang wajahnya sudah merah padam.
“Kok malah menyulut permusuhan. Sudah turun saja!” ujar salah satu anak kelas IPA 2. Keributan mulai terjadi sehingga memaksa beberapa guru turun tangan.
Bu Andara menarik Tasya untuk beranjak dari tempat itu. Sedangkan, guru yang lain menenangkan para siswa agar tak sampai menghakimi Tasya. Tampaknya anak-anak semakin membenci dirinya. Tasya tak mundur. Dia sudah biasa menjadi sasaran kebencian orang satu sekolah. Di balik kekaguman mereka dengan keenceran otaknya, tersimpan kebencian dengan sifat dan sikapnya. Dengan sekuat tenaga, Tasya melepaskan tangan Bu Andara dan berlari ke arah kerumunan kembali.
“Mau apa lagi dia?” cetus sinis salah satu anak.
“Kalian pasti penasaran kan siapa teman saya? Bianca, apa yang terjadi antara kita dan Kak Egi?” tanya Tasya sambil tertawa kosong. Sesaat kemudian dia kembali ditarik menjauhi kerumunan.
Udara malam Bandung menusuk kulit. Sama halnya dengan suasana hati Tasya yang selalu dingin. Setelah berhasil membuat suasana kalut dia memilih menyendiri di dermaga kecil di atas sungai di tepi barat perkemahan. Dia meresapi udara dingin itu sambil melamunkan hidupnya. Sebenarnya dia tak ingin melakukan hal yang tadi. Namun, hatinya sudah tak tahan dengan sandiwara yang dijalaninya selama ini. Dia ingin semua orang tahu bahwa dia tak sepenuhnya tokoh antagonis. Diam-diam dia menahan tangisnya. Namun, sia-sia, dia menangis sekuat tenaganya. Dia merasa lelah karena semua ini.
“Kukira ada kuntilanak tadi,” ujar sebuah suara yang memecah tangis sesenggukan Tasya. Tasya tak bergeming, dia masih saja menangis.
“Malam ini kamu ditendang dari tenda dong!” goda suara milik Arga itu. Tasya menoleh sedikit dan melihat Arga duduk di sebelahnya.
“Jangan ganggu aku!” tolak Tasya.
“Aku mulai mengerti suasana hatimu. Ternyata ini alasanmu berulah selama ini,” ujar Arga lagi.
“Tidak usah sok tahu!” seloroh Tasya kesal. Arga tertawa lepas.
“Kita emang gak kenal. Tapi, kumaklumi sikapmu tadi. Seorang prajurit saja bisa sedih karena penghianatan, apalagi seorang gadis kecil berusia 17 tahun,” ujar Arga pelan. Tasya tak menanggapi.
“Pindah yuk dari sini, ini tempat yang paling angker di kesatuan ini!” ujar Arga pura-pura takut. Tasya mendongak dan menghapus air matanya. Dia memandang lelaki bertinggi 180 cm itu seolah menegaskan ucapan Arga.
“Iya beneran, ayo pindah saja! Lagian kamu tidak akan tidur di tenda kan malam ini?” tanya Arga lagi.
---
Arga mengajak Tasya untuk masuk ke mobilnya yang terparkir tak jauh dari perkemahan. Di mobil, Arga menyodori Tasya dengan tissu, permen pisang, dan air mineral. Dengan tenang, Tasya menerima pemberian Arga. Dia tak mau bermusuhan dengan Arga. Dia juga hanya diam ketika Arga menyalakan sebuah musik tenang dari pemutar musiknya. Tasya tahu Arga hanya berusaha bersikap baik dengannya.
“Pak Arga disuruh guruku, kan?” tanya Tasya pelan.
“Gak kok, saya gak disuruh siapa-siapa. Anak-anak perkemahan juga menjadi tanggungjawabku selama 3 hari ke depan. Saya gak maulah ada kasus siswi kesurupan. Bisa kena teguran nanti,” ujar Arga setengah bercanda.
“Emang beneran tempatnya angker?” tanya Tasya seperti ketakutan. Arga tertawa renyah.
“Ya ampun, anak kayak kamu takut sama hantu?” tanya Arga seolah tak percaya.
“Bukannya semua orang juga takut ya?” tanya Tasya malas sambil mengalihkan pandangannya.
“Gimana rasanya jadi anak paling dibenci satu sekolah?” tanya Arga lagi.
“Apa aku lagi disuruh curhat? Aku gak pernah curhat sama siapapun, itu prinsipku,” ujar Tasya cuek.
“Oke oke, kamu bilang kan tadi kalau teman itu penghianat. Kalau gitu anggap saya bukan temanmu, saya komandanmu. Seorang komandan tidak mungkin menghianati anak buahnya,” ujar Arga.
“Aku gak mau jadi anak buah, Bapak,” ujar Tasya menolak Arga.
“Panggil Kak saja Dek. Saya masih cocok jadi kakak ketimbang Bapak.”
“Gimana kalau Om?” seru Tasya.
“Ah terserah!” sahut Arga malas. Lama-lama dia sebal dengan sikap Tasya. Padahal dia hanya ingin bersikap baik. Suasana keduanya hening dan dingin.
“Maaf,” kata Tasya pendek.
“Buat apa?” tanya balik Arga.
“Sikap-sikap yang tidak menyenangkan. Aku hanya gak terbiasa berteman dengan siapapun,” ujar Tasya pelan.
“Siapapun itu tidak termasuk saya, kan? Saya tidak punya motif apapun untuk menghianati kamu, kan?” tanya Arga lagi. Tasya tercenung sebentar dan mulai mengerti perkataan Arga.
“Sebegitu inginnya ya Pak Arga berteman denganku?” tanya Tasya pelan.
“Sekarang coba kamu pikir, dari ratusan anak di sini, kenapa juga saya harus mengurusi kamu? Kerjaan saya masih banyak. Saya harus meninjau area outbond untuk besok, apel malam, memimpin anggota saya dan lain sebagainya. Bahkan saya saja belum makan malam,” jelas Arga.
“Bukan karena Pak Arga tertarik dengan saya kan?” tanya Tasya mulai takut. Arga tertawa lepas lagi.
“Kamu ini, ah sudahlah. Saya tidak memaksamu lagi. Terserah kamu mau cerita atau tidak. Malam ini tidur saja di mobil saya daripada dimusuhi 1 tenda. Saya tinggalkan kunci mobil di sini. Nanti saya minta izin ke gurumu. Tidurlah dengan nyenyak karena besok masih banyak kegiatan,” ujar Arga sambil tersenyum hangat. Tasya hanya melongo mendengar penjelasan tentara ganteng di depannya itu.
***