Risman menceritakan tentang kasus Dila.
"Jadi Dila itu mau dijodohkan dengan Pak Tandi?" Tanya Kai Zia.
"Iya, Abba. Tapi Pak Tandi itu tidak memaksa." Risman secara jelas menceritakan.
"Bagus kalau begitu."
"Kalau berjodoh ya kasihan Dila. Tandi kan umurnya sudah seusia El." Amma teringat dengan El.
"Kalau berjodoh kasihan juga Dila, Amma. Dia masih muda, kasihan kalau berjodoh dengan Pak Tandi." Risman kasihan andai Dila berjodoh dengan Pak Tandi.
"Tapi aku penasaran bagaimana istri Pak Tandi?" Zia bertanya penasaran.
"Ya sudah batal, tidak jadi," kata Risman.
"Padahal cocok loh Dila itu dengan Pak Tandi." Zia membayangkan Dila menikah dengan Pak Tandi.
"Dila masih muda, ya tidak cocok dengan Pak Tandi, Zia." Risman tidak setuju Dila menikah Pak Tandi.
"Tidak tua benar, masih tuaan Abba, Paman." Zia menganggap Pak Tandi lebih muda dari Abba nya.
"Umurnya sudah empat puluh tahun, Dila dua puluh tahun, tentu saja tidak cocok " Risman menganggap tidak cocok karena perbedaan usia dua kali lipat.
"Tapi Pak Tandi ganteng!"
"Apa!?" Tanpa sadar mata Risman melotot. Elia, Nini, dan Kai Zia tertawa bersama-sama. Zia juga ikut terkekeh.
"Tapi Pak Tandi masih jauh kalah ganteng Paman Risman kok. Sebab Paman Risman yang paling Zia cinta." Zia seraya tertawa berkata hal seperti itu.
"Tenang saja, Man. Zia tidak akan pindah ke lain hati. Hanya Risman pria pertama, pria terakhir, dan satu-satunya. Semoga kami semua panjang umur sehingga bisa menyaksikan walimah pernikahan kalian nanti, aamiin." Kai berdoa untuk kebaikan mereka semua.
"Aamiin."
Risman menarik nafas lega. Perasaannya pada Zia sudah pasti. Hanya perasaan Zia padanya masih tiga perempat hati. Risman harus sabar menunggu cinta Zia seratus persen kepadanya.
Abba Zia datang tak lama kemudian.
"Jadi Zia bekerja di kebun kamu, Risman?" Tanya El pada Risman.
"Alhamdulillah jadi, Bang." Risman menjawab dengan pasti.
"Bisa tidak?"
"Bisa, Abba. Aku sudah puluhan tahun melihat Paman kerja masa masih belum bisa." Wajah Zia cemberut.
"Yang kamu bisa cuma begitu saja, tidak paham kerja sesungguhnya. Kalau sekarang kamu sudah bisa syukurlah. Abba bangga sama Zia. Zia artinya hebat!" El mengacungkan kedua jempolnya.
"Kerja baru sehari masa langsung dapat dua jempol El?" Kata Kai.
"Sehari Zia sudah hebat, Kai." Wajah Zia cemberut lagi disebut Kai belum hebat. Kai tertawa gelak mendengar protes Zia.
"Yah terserah Risman saja. Zia sudah ngerti kerja di kebun atau belum." Kai pasrah pada penilaian Risman.
"Risman makan malam disini aja ya." Kata Elia pada Risman.
"Terima kasih, Kak. Aku makan di rumah saja. Kasihan Nini dan Kai kalau aku makan diluar. Nini dan Kai semakin tua, tidak bisa kemana-mana lagi. Kalau pergi paling ke sini, kerumah Afi, begitu saja." Risman mengatakan kemana saja biasanya Nini dan Kai pergi.
"Zia usianya hampir sembilan belas. El berarti lima puluh tahun. Amma tujuh puluh. Nini delapan puluh delapan tahun. Kai sembilan puluh tiga tahun. Aduh tua sekali kita. Alhamdulillah panjang umur semuanya. Semoga Nini dan Kai bisa melihat cicit kalian, aamiin." Nini mengucapkan doa dengan sepenuh hati.
"Aamiin."
Semua ikut mengaminkan doa Nini.
Risman ada di sana sampai Maghrib hampir tiba. Ia pamit pulang ke rumah untuk mandi lalu pergi ke mushola.
*
Pulang salat isya, keluarga El semuanya singgah ke rumah Nini.
Via tidak ikut, karena sudah tidur.
"Zia kerja di kebun Risman ya?" Tanya Abi pada Zia.
"Iya. Paman Abi kapan nikah nih?" Zia balas bertanya. Abi tertawa ditanya tentang menikah.
"Menunggu jodoh Zia. Belum bertemu ini. Carikan dong!" Abi meminta dicarikan jodoh pada Zia. Saat ini usianya tiga puluh enam tapi belum ada ketemu jodoh nya.
"Paman nih pemilih barang kali." Zia agak takut mencarikan karena Abi sudah kelewatan usianya.
"Untung Afi sudah nikah. Jadi tidak apalah kalau santai saja." Abi terkekeh pelan.
"Sudah kelewat batasnya, Abi." Elia ikut bicara.
"Iya, Kak. Maunya sih sudah lewat umurnya. Santai sajalah kalau sudah ada jodohnya." Abi sudah pasrah saja pada nasibnya.
"Adik Shana bagaimana. Kapan mau nikah juga?" Tanya El.
"Sepertinya ada niat sama adik Paman Risman." Zia menatap Risman. Risman terkejut mendengar ucapan Zia. Ia sendiri tidak ada kepikiran tentang hal itu.
"Yang benar, Zia?" Tanya Risman untuk lebih meyakinkan.
"Iya. Coba nanti Paman tanya." Zia minta Risman untuk bertanya pada kedua adiknya.
"Tanya yang benar. Jadi pasti betul atau tidak. Kalau memang betul baguslah. Dipercepat saja pelaksanaannya. Akad nikah, pesta rakyat, sekalian pasar malam." El mengusulkan pesta rakyat.
"Iya, Bang. Nanti aku coba tanyakan pada si kembar." Risman berjanji untuk menanyakan hal itu pada adiknya.
"Kalau resepsi lagi, ramai lagi di sini," ujar Nini.
"Semoga kita masih panjang umur semua. Kalau bisa sampai Zia dan Risman menikah dan memiliki anak, aamiin." Doa Kai diaminkan semua orang.
"Aamiin."
Risman memikirkan tentang adik-adiknya itu benar tidak ada niat ingin menikah dengan adik Shana. Risman bertekad bertanya nanti saat ada waktu senggang.
"Kalau adikmu ada niat benar ingin menikah dengan Si kembar, Man, dipercepat saja. Jadi waktu yang ada tidak dibuang percuma, Man." Kata El agar Risman lebih memperhatikan. El takut Risman lebih perhatian ke masalah kuliah saja tidak mau memperhatikan keinginan hati adiknya sendiri.
"Iya, Bang." Risman mengangguk.
"Risman nanti dengan Zia tidak lama lagi. Jangan lupa loh ya, Man. Gadisnya sudah cantik. Zia juga jangan lupa dengan niat baik bersama Risman." Aay bertutur dengan suara lembut mengingatkan Risman dan Zia agar tidak sampai lupa. Risman menatap ke arah Zia. Zia tertawa kearah Risman.
"Perempuan apalah Kai. Kalau pria mau ya ambil saja. Perempuan pasrah saja." Zia bersikap seolah terserah Risman.
"Jangan terserah Risman dong. Kalau sudah yakin, harus dibicarakan."
"Iya, Paman. Nanti kalau sudah waktunya kita bicarakan." Risman berusaha tersenyum.
"Paman Risman kalau urusan kita dibuat gampang. Zia mah tidak penting." Wajah Zia selalu cemberut kalau bicara tentang urusannya dengan Risman.
"Bukan begitu Sayang. Urusan kita tentu kita atur saat sudah tiba waktunya." Risman berusaha mengingatkan Zia untuk sabar, jangan terburu-buru waktu mengejarnya.
"Zia sebal bicaranya nanti-nanti, seakan Zia nggak penting." Zia masih saja tebar pesona mencari perhatian Risman.
"Tidak begitu, Sayang. Jangan marah dong. Zia cantik kok. Selalu paling cantik." Risman memuji Zia agar Zia tidak cemberut.
"Hhh, Zia mau cemberut, mau tertawa, mau senyum, tetap saja sama. Cantik tak ada beda. Putri Abba yang paling cantik, paling pintar, tak ada yang menyamai. Zia paling istimewa. Abba sayang Zia." El bicara dengan tatapan penuh keyakinan.
*