Zia belum jadi pulang. Ia masih menunggu Kai dan Nini masuk kamar dulu baru pulang. Ponselnya berbunyi.
"Assalamualaikum, Abba."
"Wa'alaikum salam. Zia dimana, Sayang?" Tanya El pada Zia.
"Aku di rumah Nini, Abba. Tunggu Kai dan Nini masuk kamar dulu baru pulang." Zia memberitahu Abba nya.
"Oh disitu ya sudah. Tidak apa-apa. Sampaikan salam Abba dan Amma ke Nini dan Kai ya." El meminta disampaikan salamnya.
"Iya, Abba."
"Ya, sudah. Assalamualaikum, Sayang."
"Wa'alaikum salam, Abba."
Ponsel dimatikan oleh Zia.
"Salam dari Abba dan Amma."
"Wa'alaikum salam."
"Nini mau ke kamar." Nini berkata pelan.
"Ayo, Nini." Zia membantu mendorong kursi roda Nini. Kai dibantu Risman berjalan ke arah kamar. Aay dan Rara bantu membawa ke dalam kamar.
"Sudah kalian pergi saja. Kami mau istirahat sebentar," ujar Kai dengan nada pelan. Aay, Rara, Zia, dan Risman ke luar dari dalam kamar Nini.
"Kami mau ke kamar atas dulu ya." Aay berkata lembut.
"Iya, Kai." Zia dan Risman menjawab bersamaan.
"Nini ke atas ya."
"Iya, Nini."
Aay dan Rara naik ke lantai atas.
"Aku pamit pulang ya, Paman." Zia merapikan kacang rebus, jagung bakar, dan ayam goreng.
"Bawa pulang aja semua. Disini nanti nggak ada yang makan." Risman menyuruh Zia membawa pulang semuanya.
"Yang lain gimana nanti?"
"Nggak usah dipikirin."
"Aku bawa ya." Zia merapikan kacang rebus, jagung bakar, dan ayam goreng mini. Semua dimasukkan ke dalam plastik.
"Aku pulang." Zia melangkah ke luar dari pintu samping. Risman mengikuti langkah kakinya.
"Sampai rumah mandi. Ganti baju yang bagus lalu ke musholla." Risman bicara pelan.
"Iya. Aku seperti masih kecil aja sih!" Zia cemberut dianggap seperti masih anak-anak.
"Zia memang masih kecil." Risman mengusap kepala Zia.
"Ih, sudah besar!" Zia wajahnya marah.
"Iya. Tidak usah marah."
"Salim." Zia meraih telapak tangan Risman dicium dengan kedua tangannya.
"Zia pulang ya. Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
Risman menatap lekat gadis yang ia cintai itu. Gadis itu sudah pergi jauh meninggalkan rumah Nini dan Kai. Setelah Zia sampai ke rumahnya, Risman pergi meninggalkan tepi jalan masuk ke dalam rumah.
Zia tiba dihalaman rumah. Sepeda motor ia parkir di garasi. Lalu ia masuk ke dalam rumah.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
Zia menyalami Nini, Kai, Abba, Amma, dan Via. Via diambil Zia dari pangkuan ibunya.
"Apa tuh?" El menunjuk ke plastik diatas meja.
"Kacang, jagung rebus, ayam goreng mini."
"Buat kita?" Tanya El.
"Iya. Via mau ayam?"
"Mau!"
Zia mengambilkan ayam goreng untuk Via.
"Zia mau minum?" Tanya Elia.
"Tidak Amma. Paman Raka tidak pulang?"
"Paman Raka tidak pulang. Susah nyari hari libur." Elia menjawab karena memang Elia yang paling tahu jadwal libur.
"Kasihan Paman Raka. Acil Rika sibuk, Paman Raka juga sibuk." Zia kasihan melihat Acil dan Amma nya.
"Dalam seminggu harus ada libur satu hari." Elia mengingatkan.
"Kalau Zia berani bikin kue gimana ya?" Zia memikirkan bagaimana caranya membuat kue.
"Semua tergantung Zia Sayang. Kalau Zia berani ya bisa." Kata Nini pada Zia.
"Zia mau sih bisa, tapi takut. Dari kecil nggak diajarin bagaimana dong?" Zia bergidik membayangkan memasak di dapur.
"Kalau Zia mau ya lakukan. Kalau Zia tidak mau ya tidak usah Sayang." Elia menatap putrinya.
"Zia takut." Zia bergidik membayangkan memasak di dapur. Sejak kecil Zia tidak pernah di ajari ke dapur. Sejak masih kecil dia selalu takut ke dapur.
"Tidak apa-apa. Yang penting nanti Zia punya teman bisa masak. Jadi Zia nggak harus masak." El tidak mengharuskan putrinya ke dapur. Zia bukan perempuan yang diharuskan ke dapur.
"Kalau prianya Risman, Zia tidak harus memasak." Al tertawa.
"Aamiin."
"Risman mungkin takdirnya harus lebih kuat dari seorang ibu." El berkata pelan kepada Zia.
"Paman Risman memang harus kuat Abba." Zia menyahut dengan senyum dibuat tegar.
"Semoga saja Risman bisa jadi andalan Zia, aamiin."
"Aamiin."
*
Pagi ini Zia datang ke kebun Risman. Ia ingin membantu di kebun. Zia memarkir motornya dibawah pondok. Lalu mendekati Risman yang sedang menyapu halaman.
"Assalamualaikum, Paman." Zia menyapa Risman.
"Wa'alaikum salam, Alhamdulillah sampai disini." Risman tersenyum melihat gadis kecil itu menyapa dengan ceria.
"Aku mau bantu Paman. Gaji ya." Zia duduk ditepi pondok.
"Mau digaji berapa?" Tanya Risman.
"Berapa aja. Yang penting dapat gaji." Kata Zia berkata dengan tegas.
"Sehari lima puluh ribu mau?" Tanya Risman. Risman senang kalau Zia mau membantunya di kebun, walau mungkin tidak bisa sehebat dua karyawannya.
"Zia mau digaji berapa aja. Tapi gajinya setiap hari ya." Zia mengajukan syarat.
"Jadi gajinya dibayar tiap sore?" Tanya Risman.
"Iya." Kepala Zia mengangguk membenarkan.
"Iya, nanti sore jam empat Zia, Paman gaji." Risman berjanji akan membayar gaji Zia setiap sore.
"Asyik beneran ya." Zia merasa senang sekali.
"Iya. Ayo pakai sepatu boat bisa tidak? Sebentar aku ambilkan." Risman beranjak naik ke pondok di kebunnya, kemudian mengambil sepatu boat di sana.
"Nah ini lebih besar sedikit dari ukuran kaki kamu, Sayang." Risman menyerahkan kotak sepatu boat pada Zia. Zia menerima kotak pemberiannya. Kotak dibuka.
"Ih besar sekali, Paman. Nantilah Zia beli sendiri." Zia menolak untuk memakai sepatu tersebut.
"Ya sudah." Risman pasrah saja Zia tidak mau memakai sepatu baru karena kebesaran.
"Sekarang Zia ngapain?" Zia bingung harus berbuat apa.
"Zia cabuti rumput yang ada di sekitar sini aja ya." Risman menunjuk ke rumput yang ada di tepi selokan.
"Iya deh!" Zia memasang lagi topinya. Risman jadi kasihan melihatnya. Tapi dibiarkan dulu sebentar. Setelah sudah tiga puluh menit dipanggil Zia oleh Risman.
"Zia!"
"Ya."
"Sini!"
"Ya!"
Zia mendekat ke arah Risman. Risman kasihan melihat Zia kepanasan dibawah terik matahari. Wajah Zia merah padam, pertanda terbakar panas matahari pagi.
"Apa, Paman?" Zia mendekat.
"Duduk sini sebentar!" Risman menepuk kursi dari ban mobil. Zia duduk di kursi itu.
"Ih Zia mau apa duduk di sini?" Zia bertanya kebingungan.
"Istirahat dulu." Risman berkata dengan santai.
"Ih baru aja kerja setengah jam, masa disuruh istirahat." Wajah Zia cemberut.
"Zia kepanasan. Wajah Zia merah padam. Paman tidak mau Zia sampai sakit karena kerja disini." Risman mengingatkan Zia jangan sampai sakit. Kalau Zia sampai sakit ia pasti akan ikut kesusahan. Karena itu ia harus ikut menjaganya dengan baik.
"Dulu Zia memang sering sakit. Kalau sekarang Zia sudah jarang sakit." Zia yakin ia tidak akan mudah sakit. Tapi Risman tetap mencemaskannya. Bagi Risman, Zia tidak mudah mengatasi kondisi tubuhnya. Harus telaten dan teliti, agar tidak mudah drop dan jatuh sakit.
*