Risman menatap Zia dengan perasaan sayang yang harus disembunyikan.
"Yang namanya sakit tidak bisa ditolak. Aku berharap Zia jangan sampai sakit, Sayang." Risman berkata dengan lembut.
"Sudah ah, Zia mau lanjut kerja nih, jadi tidak sia-sia." Zia berdiri dari duduknya.
"Minum dulu, Sayang. Setelah itu lanjutkan kerja yang ini saja." Risman menunjuk yang ia maksudkan untuk dikerjakan Zia. Zia membungkuk mengambil air di dalam gelas, lalu diangkat ke mulut. Setelah diminum ia letakan lagi.
"Aku mengerjakan ini saja lagi ya?"
"Iya." Kepala Risman mengangguk.
"Okelah kalau begitu." Zia berjongkok dibalik tumpukan tanaman yang akan di tanam. Risman tersenyum melihat wanita cantik yang menarik hatinya itu. Zia terlalu memikat untuk diabaikan. Pesonanya melebihi apa yang orang lain bayangkan bagi Risman. Zia pesonanya mengalahkan pesona apapun juga. Risman juga tidak mengerti kenapa ia bisa tergila-gila pada Zia, walau masih bisa ia tutupi tanpa harus membuka rahasia hati.
"Bos!"
Mendengar suara memanggil Risman menoleh.
"Ada apa?" Tanya Risman.
"Ada yang mencari tanaman Bos. Ada empat orang."
"Oh. Ayo ke sana. Zia aku ke sana dulu ya." Risman berkata pada Zia.
"Iya."
Risman pergi menemui orang yang ingin membeli tanamannya. Ada beberapa tanaman yang diperlukan orang itu. Bukan hanya orang itu saja. Ada tiga orang lain lagi datang untuk membeli bunga. Risman melayani mereka dengan gembira.
*
Risman dan Zia makan siang dulu dengan makanan dari rumah. Zia yang pulang mengambil ke rumah. Pagar mereka tutup selama dua jam. Agar mereka bisa istirahat sekaligus salat sebentar. Mereka salat dulu sebentar. Setelah itu salat Dzuhur dulu, dilanjutkan dengan makan bersama. Zia membantu menyiapkan makan. Piring, cangkir, cuci tangan, nasi, sayuran, ikan, sambal, semua dipersiapkan. Ikan pais patin, sayur lalapan, tidak lupa sambal Acan pedas luar biasa.
"Paman tahan banget makan pedas begini?" Tanya Zia.
"Iya. Enak sekali sambalnya Zia." Risman memang sangat menyukai sambal yang dibuat oleh Acil di rumah. Rasanya pas menurut Risman apalagi dicampur dengan campuran mangga.
"Terlalu banyak campurannya Paman." Zia kurang suka sambel yang banyak campurannya.
"Yang banyak cuma mangga muda saja, Zia." Risman menjelaskan tentang sambal yang banyak campurannya.
"Pedas sekali, aku tidak tahan!" Zia memilih lebih banyak minum karena merasa lebih kepedasan.
"Makan sambalnya sedikit saja, Sayang," ujar Risman pada Zia.
"Sudah sedikit, Paman. Memang rasanya pedas banget." Zia meminum air dengan cepat.
"Pelan-pelan saja makannya."
"Memang sudah pelan. Pedasnya selangit." Zia mengomel karena merasa kepedasan.
Risman tertawa melihat Zia kepedasan.
"Wira kalau ada disini pasti senang benar."
"Bang Wira memang senang makan yang pedas. Zia nggak tahan." Zia minum lagi.
Risman tertawa melihat Zia.
"Kalau sudah selesai dimakan pisangnya. Itu tadi kemarin aku petik." Risman menunjuk pisang yang ia petik semalam.
"Ini masih kenyang." Zia masih terus meminum air putih karena pedas yang ia rasakan.
"Acil kalau masak untuk aku di kebun memang selalu pedas, Sayang." Risman mengingatkan Zia.
"Aku jadi ikut kepedasan." Zia berseru tidak kuat menahan pedas.
"Sabar, Sayang." Risman meminum air putih. Lalu Risman membereskan bekas makan.
"Biar aku aja."
"Kamu masih kepedasan. Ini biar aku aja yang merapikan." Risman membersihkan bekas makan.
Sebentar saja Risman selesai membereskan semuanya.
"Kamu mengantuk tidak?" Tanya Risman pada Zia.
"Biasanya aku tidur siang sih dengan Via." Zia jadi membayangkan tidur siang dengan adiknya.
"Kalau kamu tidak di rumah dia tidur dengan siapa?" Tanya Risman.
"Dengan Nini kalau Amma sedang repot."
"Via baik sekali ya, mau tidur dengan siapa saja." Risman memuji Via.
"Aku deh yang tidak baik sepertinya." Wajah Zia jadi cemberut.
Risman tertawa mendengar gerutuan Zia.
"Zia memang istimewa. Tidak seperti orang lain. Buat aku Zia terbaik selamanya." Risman menatap Zia dengan bangga.
"Untung Zia cantik ya." Zia tersenyum sambil mengedipkan matanya. Risman tertawa gelak.
"Eh apa tuh?" Zia menatap heran ke arah seorang gadis yang lari ke arahnya.
"Dila!"
Risman memanggil Dila.
"Zia tolong aku!"
"Kamu kenapa?"
"Aku dikejar ayah tiriku. Tolong sembunyikan aku."
Risman dan Zia saling tatap.
"Sembunyi saja di belakang. Antar Zia."
"Ayo."
Zia membawa Dila ke belakang. Lalu ia balik lagi.
"Ayo kita ke depan." Risman mengajak Zia ke depan.
"Ih, ayah tirinya datang." Zia memperhatikan tiga orang yang baru datang dan bicara dengan dua orang karyawan Risman.
"Bos ada orang lewat sini?"
"Tidak ada. Pak Suro cari siapa, Pak?" Risman bertanya pada Pak Suro.
"Anak saya, Pak. Anak saya pergi dari rumah nggak tahu kemana." Pak Suro mencari ke pondok kebun dengan tatapan matanya.
"Tidak ada siapa-siapa ke tempat ini, Pak." Risman berkata dengan nada lembut.
"Terima kasih kalau begitu, Pak."
"Mari." Risman memberi senyum pada ayah tiri Dila itu.
Tiga orang pria itu naik lagi ke atas sepeda motor mereka.
"Permisi, Pak." Pak Suro berpamitan.
"Silakan." Risman mengangguk dengan pelan. Dua buah sepeda motor itu segera bergerak menjauh dari kebun.
"Tunggu beberapa saat lagi baru kita temui Dila." ujar Risman pada Zia.
"Dila ada di sini, Bang?"
"Iya. Dia sembunyi di pondok," jawab Risman.
"Oh."
Setelah menunggu beberapa waktu, Risman dan Zia sepakat untuk menemui Dila.
"Dila."
Zia dan Risman menemui Dila di belakang rumah.
"Ayahmu tadi ke sini. Ada apa sebenarnya, Dila?" Zia mengajukan pertanyaan kepada Dila.
"Aku ingin dinikahkan dengan Pak Tandi, Zia."
"Hah, Pak Tandi yang seumur ayahmu itu. Dia itukan sudah punya istri, Dila." Zia sangat terkejut mendengar Dila akan dinikahkan dengan Pak Tandi.
"Sekarang kamu mau pergi kemana?" Tanya Risman. Tentu tidak mudah mencari tujuan pergi ke mana setelah ibunya meninggal.
"Aku mau ke rumah Bapak di Martapura." Dila menjawab dengan pikiran mantap.
"Apa ayahmu mau menerima kamu Dila?" Tanya Zia.
"Aku baru saja menelepon ayahku. Ayahku nanti akan menjemput ke sini. Saat ini Ayahku sedang ada di jalan. Aku suruh Ayahku menjemput ke sini." Dila mengatakan dengan harapan agar tercapai keinginannya.
"Berarti kamu tunggu di sini saja, Dila."
"Semoga saja tidak lama. Aku takut sekali." Dila kelihatan pucat wajahnya.
"Ayahmu kenapa begitu, ingin menikahkan kamu dengan orang yang lebih tua dari kamu?" Zia bertanya kepada Dila.
"Aku tidak tahu, Zia. Aku hanya diberitahu kalau akan dinikahkan. Aku sangat terkejut saat tahu Pak Tandi yang akan dinikahkan." Dila mengusap air mata yang jatuh di pipinya.
"Pak Tandi itu bukannya sudah punya istri ya?" Tanya Zia.
"Yang aku tahu begitu. Istrinya itu sakit keras."
"Oh begitu ya." Zia jadi berpikir sakit apa istri Pak Tandi itu sebenarnya.
*