Risman pulang dari warung es teler dengan menggunakan jalan arah pergi. Karena tidak mau bertemu dengan Zia, yang dari bakso mampir dulu ke warung kacang tanah dan jagung rebus. Zia ada di warung itu bersama dengan Arjuna. Risman memilih jalan satunya agar tidak bertemu Zia.
Zia terlihat santai saja menunggu jagung bakar, sambil mengobrol dengan Arjuna. Risman merasa sedikit cemburu tapi berusaha ditahannya. Risman tidak ingin menampilkan terlalu berlebihan dalam menampilkan sikapnya. Risman ingin terlihat biasa saja, tidak terlalu menunjukkan rasa cemburu.
Risman tiba di rumah, tenyata di rumah ada Shana dan Alshad.
"Anak-anak mana?" Tanya Risman saat tak melihat ketiga anak Shana.
"Dibawa nenek dan kakek. Paman Risman darimana?" Shana menjelaskan dimana anak-anaknya berada.
"Aku baru pulang dari warung es teler."
"Sama Zia?" Tanya Alshad.
"Sendirian. Zia tidak boleh makan es teler."
"Oh iya, aku lupa."
"Anak-anak ke mana?" Tanya Risman.
"Nggak tahu Amma dan Abba ke mana membawa mereka."
"Kalian nggak ingin jalan?"
"Mau pergi. Kepingin makan bakso. Pinjam motor, Paman." Shana minta pinjam motor pada Risman.
"Nih, pakai aja." Risman menyodorkan kunci motor pada Shana.
"Ayo, Bang!"
"Abang ingin nitip apa?" Alshad bertanya pada Risman.
"Tidak usah." Risman menggoyangkan telapak tangannya.
"Ya sudah nanti kita belikan apa kek."
"Kami berangkat ya."
"Ya. Hati-hati di jalan."
Shana dan Alshad naik ke motor Risman. Risman hanya menatap dengan senyuman.
Setelah Shana pergi Risman ingin masuk ke dalam. Tapi niatnya batal. Zia masuk ke halaman.
"Assalamualaikum." Sapa Zia.
"Wa'alaikum salam."
Risman menanti Zia turun dari atas motor.
Zia turun, lalu mendekati Risman. Kedua tangannya mencium punggung tangan Risman.
"Zia bawain dari depan. Nini dan Kai kemana?" Zia duduk di kursi teras samping. Zia membuka yang ia bawa.
"Zia tadi makan di depan ya?" Tanya Risman.
"Iya. Mau ajak Paman makan bakso, nggak enak. Jadi Zia makan sendirian. Nini dan Kai kemana, Paman?" Zia mencari Nini dan Kai.
"Nini dan Kai ke rumah Afi." Risman menjawab cepat.
"Ya sudah makan aja ini, Paman." Zia membuka bungkus kacang rebus, jagung bakar, dan bungkusan ayam goreng.
"Zia marah?" Risman menatap lekat wajah Zia. Zia balas menatap lekat wajah Risman.
"Aku mau marah. Tapi takut, nanti dicuekin Paman."
Risman tersenyum menatap wajah cantik gadis kecil itu.
"Jangan marah ya. Aku tidak akan marah kok sama Zia." Risman berkata dengan perasaan halus, agar Zia tidak ngambek.
"Aku bingung harus bagaimana. Mau marah belum boleh, diam saja salah juga. Tahu ah!" Wajah Zia cemberut.
"Zia harus belajar sabar."
"Masih harus nunggu berapa bulan lagi. Capek menunggu!"
"Sabar dong!"
"Tahu ah Zia mau pulang!"
"Jangan marah dong!" Risman memegang lengan Zia dengan cepat agar jangan pergi kemana-mana.
"Kita harus bicara yang pelan. Jadi tidak diburu waktu." Risman berusaha berbicara dengan lembut.
"Nanti sajalah, aku mau pulang." Wajah Zia tetap cemberut.
"Jangan marah dong."
"Aku tidak marah. Aku cuma sedang bosan."
Risman melihat air mata Zia hampir jatuh.
"Zia. Waktunya masih ada beberapa waktu lagi. Zia harus sabar." Risman mengingatkan Zia agar bisa menahan diri.
"Zia tahu kok."
"Kalau Zia sudah tahu, Zia harus bisa sabar." Risman mengingatkan Zia.
"Zia sudah tahu kok. Zia mau pulang sekarang."
"Jangan marah kalau mau pulang."
"Zia tidak marah. Zia berusaha sabar."
"Tidak mau tunggu Nini dan Kai dulu?"
"Tidak ah, Zia mau pulang."
Zia berniat berdiri saat mobil masuk dihalaman rumah.
"Nini dan Kai datang," ucap Risman.
Zia berjalan cepat menyusul ke dekat mobi.
"Cicitku Sayang." Kai menyapa Zia.
"Kai." Zia memegang tangan Kai, kemudian memegang tangan Nini.
"Jalannya sudah mulai sulit," ucap Nini pada Zia. Nini harus duduk di kursi roda.
"Tidak apa, Nini. Yang penting masih ada Zia." Zia mendorong kursi itu ke teras rumah. Risman menuntun Kai. Sedang Aay dan Rara berjalan santai di belakang mereka.
Zia membawa Nini ke ruang tengah.
"Nini mau dibawa ke kamar?" Tanya Zia.
"Nini ingin duduk disini dulu. Nyalakan televisinya, Sayang." Suara Nini pelan saja.
"Baik, Nini." Zia langsung menyalakan
Televisi.
"Mau yang mana, Nini?" Tanya Zia.
"Apa aja, Sayang."
"Ini ya."
"Iya boleh. Zia darimana tadi?"
"Dari makan bakso." Zia menjawab pertanyaan Nini nya.
"Makan sama Risman?" Tanya Kai.
"Tidak, Kai. Zia tadi makan sendiri, ketemu Bang Juna jadi barengan deh." Zia menjawab dengan cepat pertanyaan Kai nya.
"Oh kok tidak janjian dengan Risman, Zia." Tanya Kai.
"Paman Risman sibuk di kebun, Kai. Jadi Zia beli bakso sendirian, eh nggak tahunya ada Bang Juna." Zia terkekeh pelan ingat Bang Juna.
"Oh."
"Sebentar ya, Zia ambilkan kacang rebus, jagung bakar, dan ayam goreng."
Zia ke teras samping mengambil belanjaannya.
"Bagaimana kabar kebun, Risman?" Kai bertanya pada Risman.
"Alhamdulillah kebun jauh lebih baik sekarang, Kai. Tanaman yang ada semakin baik." Risman menjelaskan.
"Syukurlah. Semakin bagus tanaman di kebun semakin baik, Man." Kai merasa tenang mendengar kabar tanaman di kebun bagus hasilnya."
"Iya, Kai."
Zia kembali masuk. Rara datang dengan membawa teh hangat.
"Ini kacang rebus, jagung bakar, dan ayam goreng mini." Semua diletakan Zia di atas meja.
"Nini mau kacang rebus, Zia." Nini minta diambilkan kacang rebus.
Zia mengambilkan lalu mengupas kacangnya langsung.
"Terima kasih ya, Sayang." Nini berterima kasih setelah dibantu Zia.
"Zia tinggal disini saja. Tidak usah pulang ke rumah lagi." Kai berharap Zia mau pindah ke rumah ini.
"Zia masih kecil, Kai." Zia tertawa pelan.
"Zia tidur disini jadi rumah ini ramai nanti." Aay ikut bicara.
"Kalau Zia tidur disini rumah kami sunyi nanti." Zia tertawa membayangkan kamarnya kosong karena tidak ada orang.
"Wira kapan datang, Zia?" Tanya Aay.
"Empat bulan lagi, Kai."
"Kalau Wira datang nanti bisa kamu minta ijin untuk nginap disini." Kata Aay memberitahu.
"Dilihat sajalah, Kai. Semoga aja diijinkan Amma dan Abba." Zia berharap diijinkan Amma dan Abba nya menginap di sini.
"Usia kamu sembilan belas tahun berapa bulan lagi, Zia?" Tanya Kai pada Zia.
"Enam bulan lagi, Kai."
"Sudah hampir sampai ya waktunya." Kai tidak percaya usia Zia sudah hampir sampai sembilan belas tahun.
"Paman Risman tuh tidak percaya!" Zia cemberut ke arah Paman Risman.
"Bukannya aku tidak percaya, Sayang. Tapi kamu terlalu kecil." Risman minta maaf pada Zia.
"Zia nggak mau besar, Kai." Wajah Zia cemberut karena dibilang kecil.
"Zia badannya kecil, tapi tidak takut sama orang besar." Kai memuji Zia.
"Zia biar kecil tidak takut pada orang besar. Zia hebat kok, Sayang." Rara memuji Zia.
"Terima kasih, Nini." Senyum Zia hadir lagi.
*