Memutuskan untuk Bercerai

1177 Kata
Tristan menoleh pelan kepada istrinya itu lalu menghela napasnya dengan pelan. “Jangan memberiku pilihan seperti itu, Sayang. Sudah jelas aku akan memilihmu—“ “Kalau kamu lebih memilihku, ceraikan saja istri barumu itu! Sampai kapan pun aku tidak akan pernah mau dimadu. Aku bukan mandul. Hanya perlu waktu yang cukup lama saja sampai mendapatkan keturunan.” Tristan menelan saliva dengan pelan. Bahkan, ia tidak bisa juga harus menceraikan Lily yang dipilihkan oleh kedua orang tuanya untuk menikah lagi. “Jangan halangi aku, kalau kamu sendiri belum bisa memilih. Aku pergi!” ucapnya kemudian melangkahkan kakinya kembali. Namun, lagi-lagi Tristan menahan perempuan itu untuk pergi. Menarik koper itu hingga masuk ke dalam kamarnya. “Mas!” pekik Yara menatap nanar wajah Tristan. “Yara. Aku memilih kamu dan aku berjanji, setelah dia melahirkan anak untuk kita, aku akan langsung menceraikan dia, Sayang. Aku hanya menginginkan kamu, aku hanya ingin hidup bersama kamu. Aku mohon, jangan tinggalkan aku sendiri di sini.” “Andai kamu memberi tahu yang sebenarnya padaku, mungkin semuanya tidak akan pernah seperti ini. Kamu, yang memilih untuk meruntuhkan rumah tangga kita, Mas. Jangan halangi aku pergi. Kamu dan dia akan memiliki buah hati.” “Yara! Beri aku waktu satu tahun saja, aku mohon, Sayang.” Tristan kembali menghampiri Yara yang tengah menggenggam kopernya dengan erat. “Jangankan satu tahun, Mas. Baru beberapa menit saja aku tahu kamu menikah lagi sudah buat aku sakit! Kamu mau membunuh aku secara perlahan, huh? Aku bukannya egois, Mas. Banyak kok, bahkan lebih dari dua puluh tahun lamanya mereka menanti buah hati, ada … yang kayak kamu? Menikah lagi tanpa izin dulu ke istrinya?” Yara menarik napasnya dalam-dalam seraya menatapnya nanar. “Itu sama dengan kamu tidak menghargai aku lagi, Mas,” ucapnya dengan pelan. “Mau ke mana kamu, Yara?” tanya Fery—ayah Tristan. Yara menoleh ke arah sang mertua yang entah sejak kapan dia ada di sana. Lalu menoleh ke samping kiri di mana ada perempuan cantik berdiri dengan dress selutut yang dia kenakan. “Pa. Kenapa Papa membawa dia kemari? Aku sudah bilang, jangan pernah membawa dia ke sini, Pa.” Tristan menghampiri Fery dan juga istri mudanya. “Karena Papa tahu, kamu tidak akan pernah mau mengunjunginya kalau tetap tinggal di rumah orang tuamu. Mulai malam ini, Lily tinggal di sini!” ucap Fery dengan tegas. Tristan menggelengkan kepalanya. “Papa nggak ada ngomong sebelumnya, Pa.” “Untuk apa bicara terlebih dahulu pada kamu, Tristan? Sudah satu minggu kalian menikah, dan sekali pun kamu tidak pernah berkunjung ke rumah untuk menemui istrimu!” Tristan mengusap wajahnya lalu menoleh pada Yara yang masih berdiri di ambang pintu kamar. “Oh! Kebetulan sekali dia ada di sini. Setidaknya Mas Tristan tidak akan kesepian,” kata Yara berucap sinis. “Yara. Kamu istri aku. Tidak baik kalau pergi tanpa izin suami. Aku tidak akan pernah memberi kamu izin untuk pergi!” ucap Tristan kembali melarang Yara pergi. Perempuan itu tersenyum miring. “Sudah ada ….” Ia menarik napasnya dalam-dalam. Bahkan ia tidak sudi menyebut nama madunya itu. “Sudah ada Lily yang akan tinggal di sini. Kamu akan dilayani dengan baik atau mungkin jauh lebih baik dari pelayananku selama ini.” Tristan menggelengkan kepalanya. “Kamu yang terbaik, Sayang.” Ia lalu menatap Fery. “Pa. Aku akan ke rumah Papa. Bawa dia kembali. Jangan membuat masalah lagi, Pa. Aku moh—“ “Apa yang kamu harapkan dari istri kamu itu, Tristan? Selama delapan tahun ini Papa sudah bersabar menunggu!” pekik Fery tampak marah setelah diminta Tristan untuk pulang. “Oh! Sudah delapan tahun ya, mereka menikah? Memangnya kenapa sih, kok bisa nggak punya anak begitu?” tanya Lily dengan suara sombongnya. Seolah dirinya sangat yakin bila ia pasti akan memberikan keturunan kepada Tristan secepat mungkin. “Karena tidak sehat, Lily. Mana mungkin lama sekali tidak memiliki anak kalua kondisinya baik-baik saja.” Fery semakin memperkeruh dan membuat batin Yara ingin sekali menjerit di sana. Tristan memijat keningnya lalu menghela napas kasar. “Pa. Tolong, hargai perasaan Yara. Aku tahu Papa kecewa. Tapi, Papa juga tahu kalau aku ‘terpaksa’ menikah dengan dia!” ucap Tristan seraya menunjuk tepat di wajah Lily. Perempuan itu lantas menoleh dengan wajah memelasnya. Menatap kepada Fery seolah tengah mencari pembelaan dari lelaki berusia lima puluh lima tahun itu. Plak! “Kurang ajar kamu, Tristan! Kamu tidak pernah bicara seperti itu sebelumnya. Kamu sendiri yang memberi usul untuk menikah lagi karena kamu pun tak yakin kalau Yara akan memberimu keturunan!” pekik Fery dengan lantang. Yara semakin geram mendengarnya. Sementara Tristan membolakan matanya dengan wajah terkejutnya. Yara tersenyum lirih dan menatap nanar wajah Tristan. “Keputusanku untuk pisah denganmu sudah bulat, Mas. Apa yang kamu katakan tadi hanyalah kebohongan agar aku tetap di sini,” ucapnya lirih. “Sayang. Itu semua bohong! Aku tidak pernah bicara seperti itu sekali pun!” ucap Tristan seraya mencoba menarik tangan Yara. Perempuan itu mengempaskan tangannya. “Kamu sudah banyak membohongiku, Mas. Untuk apa aku bertahan di sini kalau kamu sendiri meragukanku?” pekik Yara dengan derai air mata yang kembali luruh di sudut matanya. Tristan menggelengkan kepalanya lemas. Lalu menoleh kepada papanya. Ada rasa kecewa dalam dirinya karena telah menudingnya meminta untuk menikah lagi. “Pa! Aku tidak pernah bicara seperti itu pada Papa. Kenapa Papa malah membuat masalah ini semakin runyam?!” pekik Tristan marah. Marah karena sudah dituduh oleh ayahnya sendiri. Fery kemudian tersenyum miring. “Kamu tidak akan ingat karena kamu bicara seperti itu saat kamu mabuk. Selama ini kamu menggunakan topeng untuk menutupi kesedihanmu karena tidak kunjung memiliki anak dengan Yara, Tristan!” Fery kemudian tersenyum miring. “Kamu tidak akan ingat karena kamu bicara seperti itu saat kamu mabuk. Selama ini kamu menggunakan topeng untuk menutupi kesedihanmu karena tidak kunjung memiliki anak dengan Yara, Tristan!” Yara tak tahu lagi harus bicara apa. Kesakitan hatinya semakin menculat dalam dirinya. Tangannya menggenggam erat koper yang sedari tadi ia pegang. Yara menatap Tristan penuh kecewa. Ia lalu berkata dengan mata menatap nanar wajah Tristan. “Mas. Ayo cerai!” Satu minggu berlalu .... Yara benar-benar menghilang dari Tristan bahkan tidak pernah mau menerima panggilan dari lelaki yang masih menjadi suaminya itu. Namun, ia sudah tak lagi menganggap Tristan suaminya. Sebab sudah ada Lily yang telah menghancurkan rumah tangganya. “Bu Yara. Surat permohonan cerai Anda telah selesai dibuat. Akan tetapi, pihak pengadilan meminta tanda tangan persetujuan dari suami Anda untuk proses sidang pertama.” Alex—pengacara Yara menghampiri perempuan itu yang tengah duduk di sebuah café yang tak jauh dari tempat ia bekerja. Ia yang dulu jarang sekali mengunjungi tempat usahanya yakni toko buku, kini hari-harinya hanya disibukan dengan kegiatan di tempat usahanya tersebut. Yara kemudian menghela napasnya dengan panjang. “Sebenarnya saya sudah malas, menemui dia lagi, Pak. Bisakah Anda membantu saya untuk memberikan surat itu kepada dia?” tanya Yara meminta tolong agar Alex saja yang memberikan surat permohonan cerainya. “Baik, Bu. Kirim alamat rumah Pak Tristan saja, nanti saya ke sana untuk meminta Pak Tristan menandatangani permohonan ini.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN