Baik-Baik Saja

1051 Kata
Di kediaman Tristan. Dengan raut wajah yang kusut, tak terurus padahal ada Lily yang setia di sampingnya. Namun, penampilan Tristan berubah total kala ditinggal pergi oleh Yara. “Mas. Sarapan dulu. Dari kemarin kamu belum makan,” ucap Lily memberikan satu mangkuk bubur ayam yang dibuat olehnya. Prang! Mangkuk itu pecah karena diempas begitu saja oleh Tristan dari tangan Lily. Sehingga membuat perempuan itu terkejut bahkan terperanjat kala melihat mangkuk itu jatuh ke lantai. “Lebih baik aku mati daripada harus berpisah dengan Yara!” pekik Tristan kemudian beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam kamar. “Mas! Mas Tristan!” pekik Lily mengejar Tristan. Ia lalu berdiri di depan lelaki itu yang tengah berdiri di ambang pintu kamar. “Aku akan mengadukan hal ini kepada Papa kalau kamu masih bersikap seperti ini!” ancam Lily dengan mata menatap tajam wajah Tristan. “Minggir!” pekik Tristan tampaknya tak peduli dengan ancaman Lily. “Mas! Jauh sebelum Yara menjadi istrimu, aku sudah lebih dulu mencintai kamu, Mas!” “Aku tidak peduli! Aku hanya mencintai Yara dan kamu hanyalah wanita yang tak tahu diri karena berhasil membujuk Papa agar menikah denganku! Sampai kapan pun kamu tidak akan pernah mendapatkan cinta dariku!” Tristan menunjuk tepat di wajah perempuan itu. “Setelah aku siap menyentuhmu, kamu hamil, kemudian melahirkan, silakan pergi dari hidupku! Dari awal perjanjian dengan Papa pun begitu. Tapi, kalian malah membalikan fakta. Seolah akulah yang menginginkan pernikahan ini terjadi. “Andai Yara mau kembali dan mendengarkan semua penjelasanku, kalian semua akan malu! Jangan berharap banyak aku akan menjadi suamimu selamanya. Karena sampai kapan pun wanita yang aku cinta hanyalah Yara!” Tristan—dengan tegasnya memberi tahu kepada Lily bila dia tidak pernah bahkan tak berniat menjadi suami selamanya untuk perempuan itu. Lily geram mendengarnya. “Oh! Jadi, kamu sudah tidak takut dengan ancaman Papa untuk Yara?” ucap Lily kembali mengingatkan Tristan tentang ancaman yang akan dilakukan Lily kepada Yara. Tristan mengusap wajahnya kemudian menatap nanar wajah Lily. “Dan kamu juga harus ingat! Papa hanya menginginkan cucu dari kamu, bukan sepenuhnya menginginkan kamu jadi menantunya!” Ia lantas masuk ke dalam kamar setelah menyingkirkan Lily dengan kasar hingga sedikit terhuyung. “Mas! Buka pintunya, Mas!” pekik Lily menggedor pintu kamar Tristan. Namun, lelaki itu masa bodoh dan tidak akan pernah mau membukakan pintu untuk istri keduanya. ** Waktu telah menunjuk angka lima sore. Yara yang baru saja keluar dari toko bukunya lantas menghampiri Alex yang hendak pergi ke rumah Tristan. “Tidak ada pesan yang ingin disampaikan kepada suami Anda, Bu Yara?” tanya Alex sembari memegang amplop berwarna cokelat dengan kop surat dari pengadilan. Yara menatap amplop itu lalu menghela napasnya dengan pelan. “Tidak ada. Suruh cepat-cepat tanda tangan saja, jangan buat alasan yang buat saya semakin membencinya. Jangan harap saya mau kembali padanya.” Alex menganggukkan kepalanya lalu mengulas senyum. “Baiklah. Saya akan menyampaikannya kepada suami Anda.” “Jangan sebut dia dengan kata-kata itu lagi, Pak. Karena sebentar lagi dia sudah bukan lagi suami saya,” ucap Yara kemudian pamit kepada Alex untuk menemui para sahabatnya. Sementara Alex pergi ke rumah Tristan yang telah dikirimkan alamatnya oleh Yara kemarin sore. Sesampainya di rumah, kebetulan sekali Tristan sendiri yang membuka pintu tersebut karena berharap Yara lah yang datang. “Dengan Pak Tristan?” tanya Alex dengan ramah. “Iya, betul. Maaf, Anda siapa?” tanya Tristan dengan datar. Alex memberikan amplop cokelat itu kepada Tristan. “Saya Alex, pengacaranya Bu Yara. Dan ini, surat cerai dari Bu Yara. Tolong segera ditandatangani, Pak Tristan.” Baru saja Tristan membuka pintu, ia melihat seorang pria tengah menunggu di depan pintu rumahnya. Lelaki itu penasaran dan akhirnya membukakan pintu tersebut. “Siapa kamu?” tanyanya datar. “Perkenalkan. Saya Alex, pengacara Bu Yara. Kedatangan saya kemari untuk memberikan surat cerai kepada Anda untuk ditandatangani.” Tristan mengambil kertas itu dengan kasar lalu …. Sreeett!! Tristan merobek kertas tersebut tepat di depan Alex. “Jangan pernah bermimpi saya akan menandatangani surat itu! Sampai kapan pun saya tidak akan pernah menceraikan Yara!” ucapnya kemudian menutup pintu tersebut dengan sangat kencang. Sementara di dalam kamar. Tristan terus menghubungi Yara sembari mengganti pakaiannya. “Kamu di mana, Sayang. Sampai mati pun aku tidak akan pernah mau berpisah denganmu,” ucapnya lirih. Bahkan air matanya sudah mengalir di pipinya. Sebab tidak ingin berpisah dengan Yara. Hingga puluhan panggilan belum juga Yara menerima panggilan tersebut. Perempuan itu benar-benar tidak ingin menerima panggilan dari sang suami. “Kamu mau ke mana, Mas?” tanya Lily mencegah Tristan yang hendak pergi. “Bukan urusanmu!” ucapnya datar. Ia kemudian mengambil kunci mobil dan melangkah dengan sangat lebar keluar dari rumah tersebut. “MAS!!” pekik Lily memanggil sang suami. Namun, pria itu tak mengindahkan panggilan dari Lily. “Arrrgghh! Kenapa sih, wanita cacat itu yang kamu kejar-kejar. Yara kasih apa sih, ke kamu sampai buat kamu jadi kayak gitu? Harusnya kamu nggak perlu mengejarnya lagI! Apa yang kamu harapkan darinya!” Lily tampak marah. Hanya saja, tidak ada yang mendengarnya kecuali ART di sana yang merasa sedih karena majikannya telah dikhianati oleh suaminya. Toko buku milik istrinya sudah tutup. Berkali-kali Tristan menggedor pintu pun tidak ada yang menyahut karena memang sudah tidak ada siapa-siapa di sana. “Sayang, kamu ada di mana? Mungkinkah kamu tinggal di rumah orang tuamu? Tapi, mereka sedang tidak ada di sini. Sebaiknya aku ke sana saja. Semoga Yara ada di sana.” Tristan pernah ke rumah orang tua Yara seminggu yang lalu. Namun, orang tua Yara rupanya sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri. Juga Yara tak pernah pulang ke sana semenjak pergi dari rumah mereka. Di club malam …. Yara ada di sana bersama kedua sahabatnya yang kini tahu bila Tristan telah menikah lagi. “Lagian Tristan aja yang g****k. Mau-maunya disuruh nikah lagi sama bokapnya,” ucap Dhita membela sang sahabat yang kini tengah membenamkan wajahnya di atas meja. Yara yang sudah teler itu hanya mengulas senyum hampa. Kemudian menatap kedua sahabatnya yang masih ada di depannya itu. “Gue baik-baik aja. Bentar lagi gue akan bercerai sama dia. Nggak usah khawatirkan gue, guys! Gue yang salah, karena nggak bisa kasih anak buat Tristan. Delapan tahun menikah, dan kami belum juga diberi keturunan. Nggak ada salahnya kalau bokap Tristan nikahin anaknya sama yang normal.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN