Apa Urusanmu?

1122 Kata
Reiner mengangguk. “Ya. Tentu. Sejak aku belum bertemu dengan JIhan, kalian sudah menjalin hubungan. Sampai akhirnya kami harus berpisah untuk selamanya karena kondisi jantungnya yang sudah tidak bisa diselamatkan lagi.” Tristan terperangah mendengarnya. “Jihan … dia sudah pergi?” Reiner mengangguk pelan. “Ya. Sudah lebih dari satu tahun, dia pergi.” “Aku turut berdukacita, Reiner. Kami baru tahu kabar duka ini.” “Terima kasih. Tunggu Yara di sini, Tristan. Aku sudah harus pulang. Yang tabah, yaa.” Reiner kembali menepuk bahu Tristan kemudian pergi dari ruangan sana. Bahkan Reiner tidak sempat untuk memberi tahu Tristan bahwa Yara mengalami kecelakaan dengannya. Beruntung, Reiner selamat dan tidak mengalami luka serius seperti Yara. ** Dua hari berlalu …. Yara akhirnya membuka matanya. Sayup-sayup ia menatap ke seluruh penjuru ruangan tersebut. “Sssttth …,” lirih Yara sembari memegang kepalanya yang terasa berat dan sakit. “Sayang ….” Masih segar di ingatan, Yara mengingat kejadian itu. Suara yang memanggilnya juga masih sangat ia kenali. “Pergi, Mas!” titah Yara mengusir Tristan. Senyum yang sedari tadi terbit itu lantas pudar. “Sayang, kamu masih sakit. Janga—“ “Jangan pernah memanggilku dengan sebutan itu lagi!” ucap Yara dengan suara cukup tinggi. “Sudah siuman, Ra.” Dokter Reiner mengulas senyum kemudian memeriksa kondisi Yara yang baru saja membuka matanya. “Yara. Akhirnya lo sadar juga. Gue bilang apa, Yara. Biar kami antar. Astaga!” Dhita—dengan hebohnya masuk ke dalam dan kini tengah berdiri di samping sahabatnya itu. Yara menatap Reiner yang ada di depannya. “Kayak kenal,” ucapnya dan terus menatap Reiner dengan lekat. “Reiner Atmaja?” Reiner terkekeh pelan. “Tidak perlu disebut nama panjangnya juga, Yara.” “Eh, iyaa bener Reiner. Kamu … kamu, jadi dokter?” Reiner mengangguk. “Kondisi kamu sepertinya sudah membaik. Ingatan kamu masih sangat tajam dan senang, berjumpa dengan kalian lagi. Masih sahabatan dengan Dhita, masih menjadi istrinya Tristan. Serasa mengulang masa SMA dulu.” Yara menelan saliva dengan pelan. “Dia sudah bukan suamiku lagi.” Reiner menepuk bahu Yara. “Karena sudah delapan tahun nggak kunjung hamil? Jangan khawatir. Tristan sudah mendaftarkan kalian untuk program bayi tabung. Nanti tinggal periksa kondisi rahim kamu saj—“ “Nggak perlu! Keputusanku sudah bulat untuk berpisah dengannya. Dan terima kasih, sudah memberi tahu soal itu.” Yara berucap datar bahkan kini tidak ada satu pun orang yang dia lihat. Reiner hanya menelan saliva dengan pelan kemudian melirik Tristan yang tengah menatap Yara dengan tatapan sayunya. “Tapi, Yara. Setelah kita berhasil, aku janji akan segera menceraikan Lily. Kita harus melakukan program itu, Sayang.” “Nggak!” pekik Yara kemudian menatap lelaki itu dengan nanar. ** Reiner mengerutkan kening mendengar Yara yang mengusir Tristan bahkan sudah tidak mau lagi bertemu dengan suaminya itu. “Lily? Siapa wanita itu?” gumamnya pelan. Dhita kemudian menghampiri Reiner. “Sebaiknya kita nggak perlu ikut campur. Biarkan mereka menyelesaikan masalahnya.” Reiner mengangguk patuh kemudian keluar dari ruangan tersebut. “Ada apa, Dhita?” tanya Reiner setelah keluar dari kamar rawat Yara. Dhita menghela napasnya dengan pelan. “Tristan nikah lagi karena itu cewek hamil anak Tritsan. Nggak izin dulu ke Yara. Itu, yang buat Yara marah besar. Dan ya, karena nggak ada keturunan.” Reiner geleng-geleng kepala. “Tristan tidak pernah memberi tahu kalau dia menikah lagi. Mohon-mohon tidak ingin berpisah dengan Yara.” Reiner kemudian menoleh dan menatap Yara yang tengah menatap datar Tristan. “Sudah kamu tandatangani kan, surat cerainya? Aku akan pergi ke luar negeri setelah berpisah denganmu.” “Sampai kapan pun aku tidak akan pernah menceraikan kamu, Yara!” tegas Tristan memberi tahu bila dirinya tidak menandatangani surat permohonan cerai itu. “Apa kamu bilang?! Mas!” Yara memegang kepalanya yang masih terasa sakit itu. Reiner bergegas masuk ke dalam dan merebahkan tubuh Yara dengan menekan tombol di belakang bangsal agar perempuan itu kembali berbaring. “Kondisi kamu masih lemah, Yara. Jangan dulu berteriak-teriak seperti itu,” ucap Reiner memberi tahu. Air mata Yara kembali berlinang. Ia kemudian mengusapnya dan menghela napas dengan pelan. “Tinggalkan aku sendiri di sini. Aku tidak ingin bicara dengan siapa pun termasuk Tristan!” ucapnya mengusir semua orang yang ada di sana. “Sayang. Kenapa kam—“ “Tristan. Sebaiknya turuti perintah Yara. Biarkan kondisinya pulih terlebih dahulu.” Reiner menasihati lelaki itu agar mau keluar menuruti perintah dari Yara. Tristan kemudian keluar dengan melangkah pelan. Sementara Reiner masih ada di sana dan menatap Yara yang masih menoleh ke samping kiri. “Yara. Aku baru tahu kalau suamimu menikah lagi. Aku pikir, alasanmu ingin berpisah dengannya karena kalian belum juga diberi keturunan.” “Menikah lagi.” Yara tersenyum lirih. “Bahkan mereka sudah menjalin hubungan selama enam bulan, kemudian hamil. Andaikan dia meminta izin terlebih dulu kepadaku, mungkin sakitnya tidak akan separah ini, Reiner. Dia tidak memberi tahu aku lebih dulu. Seolah aku tidak dianggap olehnya.” Yara kemudian menghela napas pelan. “Batalkan program itu, Reiner. Aku tidak berniat untuk kembali padanya. Dia sendiri yang memilih menikah lagi. Selama ini aku sudah berusaha menyembuhkan kondisiku tanpa sepengetahuan dia.” Yara merintih lirih kemudian memejamkan matanya. Memerat semua air mata lalu menarik napasnya dengan pelan. “Jadi, sebenarnya kamu sedang berusaha?” tanya Reiner sekali lagi. Yara mengangguk. “Sudah kan, memeriksanya? Aku ingin istirahat, Reiner. Jangan biarkan Tristan kemari lagi. Aku tidak ingin melihatnya lagi.” Reiner menghela napasnya kemudian menarik selimut hingga ke d**a Yara. Perempuan itu lantas menoleh dan menatap Reiner yang tengah mengulas senyum tipis kepadanya. “Istirahatlah. Kamu memang butuh istirahat.” Reiner kemudian keluar dari ruangan tersebut. Menghampiri Tristan yang masih di sana bersama dengan Dhita dan juga Vita. “Tristan. Kenapa kamu tidak memberi tahu aku sebelumnya kalau kamu menikah lagi? Wanita mana yang tidak sakit hati mendengar kabar orang yang dia cintai menikah lagi tanpa sepengetahuan dia?” Tristan kemudian menoleh pelan kepada Reiner yang berdiri di sampingnya. “Karena aku tidak pernah menganggap pernikahan itu ada. Aku tidak pernah berniat mengkhianatinya. Kamu tidak tahu apa-apa, Reiner.” “Tapi, Yara menganggapnya bahkan dia tidak mau melihatmu lagi, Tristan. Itu artinya, luka dalam hatinya sangat dalam. Kamu telah mematahkan hati seorang perempuan dengan cara yang cukup hina menurutku. “Kalau kamu masih menganggap Yara sebagai istrimu. Apa pun yang terjadi, diizinkan atau tidak, kamu harus tetap memberi tahunya. Kalau sudah seperti ini, kamu sendiri yang merugi. Kamu akan kehilangan cinta, kebahagiaan dan semua yang sudah kalian lalui selama delapan tahun itu.” Tristan kemudian beranjak dari duduknya. Menatap lekat wajah Reiner dengan deru napas yang menggebu. “Apa urusanmu bicara seperti itu padaku?” tanya Tristan tampaknya tak suka dengan ucapan Reiner yang terdengar tengah menyudutkan dirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN