Nggak jadi Cerai, kan?

987 Kata
Reiner menelan saliva dengan pelan lalu tersenyum tipis. “Ya. Aku memang tidak pantas ikut campur dengan urusan rumah tangga kalian. Aku hanya ingin menyampaikan ini saja. Yara ingin membatalkan program bayi tabung itu. “Entah karena memang sudah bulat keputusannya untuk tetap pergi dari hidupmu atau karena kondisinya yang tidak memungkinkan untuk memiliki keturunan. Sepertinya Yara tengah menyembunyikan rahasia besar darimu.” Reiner kemudian pamit pergi dari sana setelah memberi tahu apa yang dikatakan oleh Yara tadi kepadanya. Agar diberi tahu kepada Tristan bila dia tidak menginginkan program bayi tabung itu. Dengan langkah cepat, ia kemudian masuk ke dalam kamar rawat Yara. “Sayang. Aku akan menceraikan Lily bila usaha kita untuk mendapatkan anak dengan cara itu berhasil—“ “Kalau berhasil. Kalau tidak? Sudahlah, Mas. Semuanya sudah selesai. Apa lagi yang kamu harapkan dari aku? Bahkan papa kamu sendiri yang sudah mengusirku, menempatkan Lily di dalam rumah itu!” Yara kemudian membuang muka lagi setelah memotong ucapan Tristan. Keputusannya sudah bulat, tak mau mengambil program tersebut. Lelaki itu kemudian meraup wajahnya dengan kasar. “Tapi, Yara ….” Tristan menghela napas dengan pelan. “Kamu akan berhenti mengejarku bila tahu yang sebenarnya, Mas. Tapi, itu tidak penting. Jangankan kondisiku, pernikahan kita pun tidak ada artinya bagi kamu.” Tristan kemudian duduk lemas di samping sang istri. “Maafkan aku, Yara. Aku ingin memperbaiki rumah tangga kita lagi. Aku mencintaimu, Sayang. Sungguh.” Tristan berucap dengan pelan. Yara menggelengkan kepalanya dengan pelan. “Aku sudah tidak percaya dengan kata-kata dari mulutmu itu. Pergilah! Sudah tidak ada kata kita lagi. Jangan mengikatku. Lepaskan aku dan lanjutkan bahagia itu dengan istri barumu.” Tristan menggeleng lagi. “Bahagiaku hanya bersamamu, Yara.” “Bulshit! Ucapanmu hanya membuatku ingin tertawa mendengarnya, Mas. Sudahlah, tidak perlu banyak mengumbar cinta kalau pada akhirnya kamu menyalahgunakan hal itu dengan cara berkhianat.” Tristan mencoba meraih tangan Yara. Ingin sekali menggenggam tangan perempuan itu karena merindukannya. Namun, tentu saja Yara menepisnya. Sebab tidak ingin disentuh lagi oleh lelaki yang telah menanamkan pedih dalam hatinya. “Pergi, Mas! Kehadiran kamu di sini hanya memperlambat kesembuhanku!” sengalnya kemudian. Tristan hanya menelan salivanya mendengar ucapan sarkas dari Yara. Sudah tidak ada kata damai lagi dalam hidup Yara untuk Tristan. “Apa yang kamu sembunyikan selama ini, Yara? Andai aku mengetahuinya, mungkin perni—“ “Aku menyembunyikan itu semua karena aku tidak ingin kamu merasa bersalah atas apa yang telah kamu buat ke aku, Mas!” ucap Yara dengan mata menatap nanar wajah Tristan. “Kenapa kamu bicara seperti itu, Sayang?” “Aku menolak program itu karena tidak akan bisa tumbuh di rahimku. Jangan berharap banyak padaku dan tetaplah bersama dengan Lily. Aku … aku sudah tidak sempurna. Rahimku mengalami infeksi.” Tristan mengerutkan keningnya. Bingung dengan ucapan dari istrinya itu. “Maksudmu apa, Yara?” Perempuan itu mengusap wajahnya lalu menghela napasnya dengan pelan. “Kita sempat hampir memiliki anak. Tapi, keguguran.” Tristan menganga mendengar rahasia yang selama ini tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Tubunya terasa lemas kala tahu yang sebenarnya. “Rahimku luka dan akhirnya terpaksa janin itu keluar lagi. Dokter melarangku memiliki anak lagi sampai luka itu sembuh. Tapi, hingga kini rahim itu belum juga mau sembuh. Selama ini aku menjaga kehamilan karena aku masih ingin hidup. “Aku sudah pasrah, Mas. Sudah menerima keadaan bila nanti kita harus berpisah. Tapi, kamu sendiri yang memilih bertahan denganku. Karena ulah kamu juga karena terlalu semangat bila sedang menyentuhku.” Yara kemudian mengusap air mata yang jatuh di pipinya. Sakit rasanya memberi tahu apa yang sebenarnya tengah dia alami. Menyimpan semua rahasia itu seorang diri karena tidak ingin melukai perasaan Tristan. “Aku pernah meminta kita untuk berpisah. Tapi, kamu berjanji akan menerima aku apa adanya. Kenyataannya tidak seperti itu. Meski pernikahan itu bukan inginmu, tapi kamu sudah mengingkarinya.” Yara kembali berbicara. Ia kemudian menatap Tristan dengan mata sayunya. “Aku ingin cerai, Mas. Lepaskan aku agar aku tidak menjadi beban kamu lagi.” Tristan menggeleng dengan pelan. “Nggak. Kamu bukan beban aku, Sayang. Kita saling mencintai. Kamu harus tetap ada di sampingku.” Yara tersenyum lirih. “Sudah ada Lily, untuk apa masih mengharapkanku.” “Lily bukan alasan untuk kita berpisah.” “Nyatanya karena kehadiran dia, aku memilih pergi.” “Dan aku ingin kamu kembali lagi. Jangan pergi, aku mohon. Kamu boleh menjaganya selamanya, kalau kamu ingin. Untuk kesehatan kamu juga, Yara.” Yara terdiam. Mendengar ucapan Tristan membuatnya merasa bersalah. Apa yang sebenarnya terjadi? Perasaan apa yang membuatnya seperti ini? “Yara. Please.” Tristan memohon. Ia tidak ingin pergi. “Sampai seratus kali pun kamu menggugat cerai aku, tidak akan pernah aku kabulkan.” Yara hanya menelan saliva dengan pelan. Tidak menjawab apa-apa lagi. Sebab rasanya tidak akan pernah berhenti. ** Satu minggu sudah Yara dirawat di rumah sakit. Kini, perempuan itu tengah duduk menyandar di sandaran bangsalnya. “Hei!” Reiner menghampiri Yara kemudian duduk di depan perempuan itu. Yara tersenyum tipis. “Aku baru tahu, kalau istri kamu sudah pergi. Bagaimana dengan anakmu?” “Shabila? Dia baik. Setiap minggu kami selalu mengunjungi makamnya.” Yara mengangguk-anggukkan kepalanya. “Pasti sulit sekali melepas kepergian dia. Tapi, mau gimana lagi. Tuhan lebih sayang dia.” Reiner mengangguk seraya mengulas senyumnya. “JIhan sudah bahagia di sana. Aku pun harus bahagia di sini. Aku tidak ingin terlalu larut dalam kesedihan karena kehilangan dia. Meski aku sangat mencintainya bahkan hingga kini pun masih belum bisa mencari penggantinya.” “Sepertinya tidak akan, yaa. Fokus membesarkan Shabila saja. Dia juga kayaknya nggak minta mama baru lagi.” Reiner terkekeh pelan. “Setahun lamanya JIhan pergi dari hidup kami, Shabila diasuh oleh Naina, adiknya JIhan. Kamu pasti kenal dengan dia. Selama ini, kalau aku sedang kerja, dialah yang merawatnya. Jadi, sepertinya mungkin tidak perlu mencari mama baru untuk dia.” Yara mengulas senyum tipis. “Hebat!” “How with you? Nggak jadi cerai, kan?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN