5. Abu-abu

1553 Kata
Suasana sore di sebuah taman cukup ramai. Beberapa anak berlarian ke sana ke mari. Beberapa dari mereka bermain pasir, ada juga yang berkejaran di lapangan, ada juga yang sedang main ayunan. Mereka sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Di sisi lain, para ibu duduk bersama. Menaruh perhatian pada anak mereka masing-masing. Matanya yang tajam mengawasi gerak tubuh-tubuh kecil itu yang sedang bermain. Mereka sama sekali tidak kehilangan sosok anaknya sedetik pun. Bahkan saat Tino terjatuh, Sisca langsung berdiri dari duduknya. Dia berjalan menghampiri Tino yang sedang sibuk membersihkan pakaiannya yang terkena tanah. “Anak hebat! Kau bahkan tidak menangis!” ucap Sisca sedikit meninggikan suaranya. Agar Tino bisa mendengar ucapannya. Dia terus berjalan, dan kini telah sampai di hadapan putra kesayangannya itu. “Tentu, aku kan kuat! Seperti Ayah!” ucapnya dengan lantang. Dengan penuh percaya diri. Dengan kedua tangan dia angkat dan menunjukkan otot-otot kecil di kedua lengannya. Kemudian dia tersenyum dan memeluk Ibunya dengan erat. “Aku hampir lupa. Ini sudah sore Ibu, ayo pulang! Ayah sebentar lagi pasti sampai di rumah!” pekiknya dengan nada bahagia. Dia selalu rindu kehadiran Ayahnya. Sekarang, dia sudah mengantongi janji dengan Ayahnya. Akan menikmati makan malam bersama-sama. Dia melompat-lompat kegirangan. Dia sama sekali tidak tahu, bahwa Ayahnya tidak akan pulang hari itu. Dia sama sekali tidak menaruh curiga, bahwa janji itu akan diingkari oleh Ayahnya. Dalam pikirannya hanya ada bayangan indahnya makan bersama-sama dengan keluarga. Sisca terdiam mendengar ucapan anaknya. Dia tidak sanggup untuk berkata yang sesungguhnya. Dia juga tidak mungkin mengajaknya pulang saat itu juga. Dia harus mengalihkan perhatian dari Tino. Agar dia terlupa dengan janji makan malam itu. Perasaan anaknya pasti akan sangat terpukul. Jika dia mengetahui bahwa Ayahnya tidak akan pulang hari itu. Tidak akan duduk di sampingnya untuk makan bersama. “Ibu? Kenapa Ibu diam saja? Ayo kita pulang! Ayah akan segera datang Ibu!” ucapnya dengan penuh semangat. Dia menarik-narik lengan Ibunya. Berharap Ibunya akan segera berdiri dan mengajaknya untuk pulang. Memasak makanan kesuakaan Ayahnya. Lalu mereka akan makan bersama-sama. Tidur bersama-sama, dan terlelap hingga pagi di ranjang yang sama. “I-iya, tapi ... Bisakah kamu menolong Ibu?” ucap Sisca. Dia akhirnya menemukan cara agar Tino terlupa dengan janji Ayahnya. “Tolong? Tolong apa Ibu? Aku akan menjaga Ibu, seperti apa yang Ayah ucapkan padaku!” dia menangkup wajah Ibunya dengan kedua tangan kecil miliknya. Usapannya lembut, membuat Sisca terhanyut dalam belaiannya. “Ibu harus berbelanja banyak hal, maukah kamu membantu Ibu? Sabun dan sampo sudah habis, beberapa bahan makanan juga sudah habis. Kita harus berbelanja sebelum hari semakin petang!” jelas Sisca padanya. Dia menyebutkan beberapa macam produk yang biasa mereka beli. “Benarkah? Kita harus segera belanja semuanya, Bu!” Tino, anak laki-laki berusia sembilan tahun itu bersemangat. Dia bahkan melompat-lompat sambil memegangi tangan Ibunya. Keduanya berjalan beriringan. Menuju tempat mereka akan berbelanja. Di perjalanan saling bercerita. Saling tertawa dan berbagi hal-hal lucu satu sama lain. *** Tino memang sudah cukup lelah dengan perjalanan mereka sore itu. Tapi, sebuah kenyataan tentang janjinya dengan sang Ayah. Membuat dia merasa lebih segar. Lebih tepatnya, berusaha untuk tetap membuka mata. Agar dia bisa bertemu dan makan bersama dengan Ayahnya. Sayangnya, dia terlalu lelah. Matanya sudah tidak dapat dia kendalikan lagi. Dia akhirnya terlelap di dalam mobil saat perjalanan pulang. Sisca menoleh ke arah anaknya. Tersenyum tipis dan merasa lega. Dia mengembuskan napasnya perlahan. Setidaknya, hari ini dia tidak akan diprotes dan diberondong berbagai pertanyaan oleh putranya. Kemudian dia kembali fokus dengan jalanan di depan matanya. Menyetir mobil menuju rumah dengan hati-hati. Agar sang buah hati tak terbangun sebelum sampai di rumah. Sesampainya di rumah dia harus dengan sangat perlahan membawa tubuh sang anak yang sedang tidur. Berjalan dengan hati-hati. Dekapannya dia pererat. Agar Tino aman berada di gendongannya. Dia menidurkannya dengan perlahan. Setelah memastikan suhu kamar cukup sejuk. Dia pun mencium kening anaknya. Membelai lembut wajah tampannya. Dalam hati dia menangis sendiri. Dia sangat tahu, nanti sang anak pasti akan menangis pilu. Mengetahui sang Ayah harus bekerja lebih lama dari biasanya. Dan itu sama sekali tidak bisa lagi dia sembunyikan darinya. Dia harus menceritakan semuanya dengan jelas dan detail. Kalau tidak, dia sendiri yang akan kerepotan dengan segala bentuk pertanyaan yang diberikan oleh anaknya. “Selamat tidur, Sayang. Mimpi indah, semoga kau bisa menerima semua kenyataan ini. Kau adalah anak yang kuat!” ucapnya lirih. Sebutir bulir air mata meluncur tanpa permisi. Sisca mengusapnya dengan cepat. Lalu, dia pun segera pergi dari sana. Menutup pintunya dengan perlahan. Sebelumnya, dia masih menatap lembut pada sang anak. Sisca masih memandangi ponselnya. Tapi, tidak ada kabar apa pun dari suaminya. Ponselnya masih saja tidak mendapatkan notifikasi satu pun. Layarnya masih hitam, tanpa ada panggilan atau pun pesan. Dia mengembuskan napas dengan perlahan. Malam dingin itu harus dia lewati sendirian. Suaminya harus bertugas. Tigas aneh dan juga sangat membahayakan. Ini adalah hal yang paling dia takutkan dalam hidup. Menanti kepulangan seseorang, yang mungkin saja tidak akan pernah kembali pulang. Jam di dinding menunjukkan sudah hampir tengah malam. Dia pun memilih untuk memejamkan mata. Meraih selimut dan menariknya hingga di bawah dagu. Biasanya, jika ada suaminya, sang suami akan memeluknya dengan erat. Memberikan kehangatan padanya di setiap malam yang dingin. Masih belum terlalu lama saat dia memejamkan mata. Tino dengan tiba-tiba terbangun. Dia teringat akan janjinya dengan sang Ayah. Dia turun dari ranjangnya. Tergopoh dan sedikit berlari. “Ayah! Ayah! Maaf, aku ketiduran!” teriaknya. Dia baru saja membuka pintu kamarnya. Berlari menuju kamar kedua orang tuanya. Dia, masih terus memanggil-manggil Ayahnya. “Ayah! Apa kau sudah tidur?” pertanyaan itu meluncur dengan cepat dari mulut kecilnya. Dia mengetuk pintu kamar orang tuanya. Tapi, karena tak ada jawaban. Dia pun membuka pintu itu. Melangkah perlahan. Menarik selimut yang ada di atas tempat tidur dengan gerakan lembut. “Ayah!” “Ibu, Ayah mana?” pertanyaan itu sungguh mengiris hati. Sisca membuka matanya dengan perlahan. Masih mengumpulkan energi untuk menjawab pertanyaan dari sang anak. Dia beringsut dan duduk. Mengucek mata dan mencoba tersenyum. “Sayang, sini, naik!” ucapnya. Ya, dia tidak langsung menjawab pertanyaan dari Tino. Dia harus menjelaskannya dengan sangat perlahan. Hatinya pasti akan sangat tersakiti jika mendengar semua penjelasan dari Ibunya. Tino beranjak naik ke atas tempat tidur. Dia bergeser hingga duduk di samping Ibunya. Matanya yang masih merasa mengantuk terlihat sayu. Dia juga membulatkan matanya. Mengerjap beberapa, mencoba mengusir rasa kantuk yang menderanya. “Ayah tidak pulang, ya, Bu?” pertanyaan itu terdengar begitu pilu. Menyayat hati juga perasaan. Sisca tersenyum tipis, sungguh tak sampai hati dia untuk berkata bohong pada anaknya. Tapi, mau bagaimana pun dia harus mengatakannya. Walau sesungguhnya yang dia katakan bukanlah hal yang sejujurnya. “Ayah ... Tidak pulang malam ini, sepertinya ... Ayah bekerja lembur,” ucap Sisca. Dia mengusap kepala anaknya dengan lembut. Saat dia mengucapkan itu, ada getir dan desir menyakitkan di hatinya. Suaranya bahkan begitu lirih. Terasa tercekat di tenggorokan. “Dia ... Lagi-lagi tidak pulang.” Tino menunduk. Memainkan kedua tangannya. Keduanya terdiam sejenak. Hening mengisi kediaman mereka. “Emm ... Apakah kau mau tidur bersama Ibu malam ini? Kita tunggu Ayah pulang bersama-sama, bagaimana? Kau setuju?” ucap Sisca. Mencoba menghibur hati anaknya. Matanya mencoba menunjukkan binar ketenangan. Tapi, nyatanya dalam hatinya terasa perih. “Apakah Ibu takut tidur sendirian?” dengan sangat polos dia menanyakan itu. Sisca mengangguk setuju. Dia harus melakukannya. Hanya itu yang bisa dia lakukan untuk menenangkan anaknya. “Iya, Ibu takut, malam ini sangat dingin. Bukankah begitu? Kita bisa tidur dengan berpelukan malam ini!” Sisca mencoba memberikan gambaran yang akan mereka lakukan malam itu. Dan Tino pun setuju. “Baiklah, Ayah belum pulang. Aku akan menjaga Ibu. Aku akan memeluk Ibu dengan erat agar tidak kedinginan. Mari kita tidur, tapi ... Besok Ayah akan pulang, bukan?” Sisca dengan sangat terpaksa menganggukkan kepalanya. Bagaimana pun dia tetap harus menenangkan putranya. Entah apa yang akan terjadi besok. Akan dia pikirkan besok. Hal yang penting adalah malam ini telah usai. Anaknya tak lagi bertanya tentang sang Ayah. Dia cukup merasa tenang. Merengkuhnya dalam pelukan. Dengan sangat erat dia memeluknya. Menciumi pucuk kepalanya. Angin semilir menerpa mereka. Tino semakin beringsut. Menyelusup ke pelukan Ibunya. Ya, malam itu terlalu dingin untuk dilewati sendirian. Dengan tidur bersama, mereka bisa saling menghangatkan. Bisa saling menguatkan. Bisa saling menjaga dan juga menenangkan satu sama lain. Sisca menghela napas panjang saat dia tahu Tino telah terlelap. Dia melepaskan pelukannya dengan perlahan. Agar anak kecil yang menggemaskan itu tidak terbangun oleh gerakannya. Dia merasa tidak tenang malam itu. Bagaimana pun, dia tetap kepikiran tentang suaminya yang sedang melaksanakan tugas. Entah apa yang sedang terjadi pada suaminya. Entah hal apa yang harus suaminya lewati di medan sana. Sementara dirinya sendirian di rumah. Harus menjaga sang putra. Memberikan alasan-alasan yang bisa diterima oleh anaknya. Memberikan penjelasan tentang ketidak-pulangan Ayahnya. Sisca memijit kepalanya dengan perlahan. Kembali menarik selimut hingga dagu. Mencoba terlelap dan tidur nyenyak malam itu. Dia sangat berharap. Suaminya akan segera menyelesaikan tugasnya. Berharap suaminya selamat dan bisa pulang dengan secepatnya. Walau di sisi hatinya yang lain dia tahu. Hal itu mungkin saja tidak terjadi. Kepulangan suaminya masih belum bisa dipastikan. Keselamatannya pun sama. Abu-abu, tak ada yang jelas dalam pekerjaannya. Selain setiap perintah yang wajib untuk mereka lakukan. Hanya hal itu yang pasti. Pasti harus dilakukan dan dikerjakan. Entah apa hasilnya nanti. Kepergian mereka adalah sebuah kepastian. Tapi, kepulangan mereka ... Sama sekali tidak pasti. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN