4. Keraguan

1266 Kata
“Roger, tim Alpha sudah sampai di markas. Ganti!” ucap sang ketua tim. Disusul dengan laporan tim lainnya. “Tim Betha sudah samapi di markas dengan selamat. Ganti!” “Tim Gamma sudah sampai di markas, kami sipa melaksanakan tugas. Ganti!” “Laporan kalian diterima. Segera membangun markas dengan segala peralatan yang kalian bawa. Simpan logistik dengan baik. Gunakan sebijak mungkin. Kami, akan terus memantau perkambangan kalian di sana. Selamat bekerja. Semoga sukses!” begitulah penerimaan laporan tiap-tiap tim kepada pemimpin pusat. Setelah medengar perintah itu. Mereka segera melakukan tugas mereka masing-masing. Meletakkan barang-barang dan juga segala macam peralatan yang dibutuhkan. Layar-layar komputer telah mereka rakit dengan segala macam perangkat kerasnya. Listrik yang sudah dinyalakan sejak sebelum mereka tiba. Sudah bisa digunakan dengan baik. Hal itu, memudahkan mereka memetakan daerah. Mecari tempat aman, juga sebagai penghubung dengan para petinggi pemerintahan yang mengutus mereka pergi ke sana. Dengan tujuan yang berlatar belakang penelitian. Walau di dalamnya terbesit hal lain, yaitu keserakahan. Beberapa rak telah mereka susun dengan baik. Logistik dan juga senjata mereka susun dengan rapi. Juga agar mereka bisa mengambilnya dengan mudah. Hidup dalam beberapa hari ke depan tanpa kepastian. Mereka harus bisa semaksimal mungkin menjaga diri dan juga kelompoknya. Beberapa tempat telah digeser-geser perabotnya. Memberikan ruang untuk mereka bisa beristirahat di markas tersebut. “Hito, kau adalah penyelam terbaik di kelompok. Persiapkan dirimu dengan baik. besok, kita akan memulai pencarian lewat sungai.” Sang kapten memberikan arahan padanya. “Siap, Kapten!” jawabnya dengan sikap sempurna. Juga mengangkat tangan seraya memberikan hormat padanya. “Besok, kita akan mulai berpencar. Setiap Tim akan membentuk markas baru di tempat paling dekat dengan bangunan-banguan yang telah ditunjuk.” Hening sejenak. Kemudian, sang kapten melanjutkan ucapannya. “Kita akan menyeberang ke arah sungai sebelah timur. Mencari ke gedung A, seperti yang sudah diperintahkan. Tapi, sebelum itu. Sebelum kita menyeberang menggunakan perahu karet. Kau harus sudah sampai di sana dan memastikan kondisi di sana aman.” Dia menunjuk ke arah Hito. Itu artinya, Hito harus berangkat terlebih dahulu ke sana, sendirian. Sementara kelompoknya akan menunggu di seberang sungai. Ya, memang tidak ada jalan lain. Jika mereka semua langsung pergi secara bersama-sama. Terlalu besar risiko yang akan mereka hadapi. Jika saja, tempat itu tidak aman. Maka, tidak akan ada satu pun dari mereka yang akan selamat. Walau berat hati, dia harus tetap melakukannya. Ini demi keselamatan kelompoknya. Juga sebagai tanda baktinya pada negara. Walau hal itu telah dinodai dengan tujuan licik para petingginya. “Siap, Kapten!” jawabnya dengan tegas dan percaya diri. Dia harus percaya dengan kemapuannya sendiri. Setidaknya, hal itu bisa membuat dia merasa lebih aman dan juga kuat. Jika bukan dirinya sendiri yang percaya, maka seluruh kelompoknya juga tidak mungkin bisa percaya padanya. “Sekarang, mari kita istirahat. Perjalanan besok cukup panjang. Siapkan tenaga dan mental kalian. Aku tidak ingin melihat prajurit yang merengek esok hari. Kalian ada di sini karena telah terpilih dari yang terbaik. Maka, kita harus membuktikan pada mereka semua. Bahwa kita bisa menyelesaikan ini dengan baik. Apa kalian semua siap menyelesaikan tugas ini?” “Siap!” jawab mereka serentak. “Apakah kalian siap menerima penghargaan dari para petinggi?” “Siap!” “Apakah kalian siap bertaruh nyawa demi tugas ini?” “Siap!” Mereka sama sekali tidak gentar. Itu adalah misi paling berbahaya. Tidak ada satu pun dari mereka yang siap melakukan misi tersebut. Selain karena sudah terlanjur. Dan mereka juga bahkan tidak diberitahu secara detail tugas yang akan mereka lakukan. Dan di sanalah mereka sekarang. Bertaruh nyawa, demi penelitian yang entah. Juga demi harta yang bahkan bukan milik mereka. Mereka sedang bersantai. Meregangkan otot-otot mereka yang mulai kaku. Menyelonjorkan kaki yang esok hari harus membawa mereka berjalan jauh. Mereka saling duduk di tempat masing-masing. Di antara mereka ada yang masih saling berbincang. Juga ada pula yang sudah terpejam. Sementara Hito terlalu cemas. Perasaannya campur aduk, dia tidak bisa tidur dengan tenang. Dia berbaring ke kanan dan ke kiri. Kemudian dia pun memilih duduk. Memikirkan bahwa dia harus menjadi yang pertama menginjakkan kaki di tempat yang berbahaya. Rasanya nyalinya sedikit menciut. Terlebih, saat dia mengingat janjinya dengan anak semata wayangnya. Anaknya yang menunggu kehadirannya di rumah untuk makan malam bersama. Jika dia tidak bisa selamat esok. Maka, entah akan sekecewa apa anaknya nanti. Dia mengusap wajahnya dengan kasar. Mengembuskan napas panjang lalu menghirup kembali dengan dalam. Dia melakukannya berulang-ulang. Hingga membuat Lucas sang kapten tertarik untuk memperhatikan dia. Lucas berjalan perlahan ke arahnya. Kemudian dia ikut duduk di samping Hito, yang mana tempat tidurnya berada paling samping. Melihat siapa yang datang adalah Kaptennya. Hito pun berdiri dan memberikan hormat. Tapi, tangannya diturunkan oleh Lucas. Dan diajaknya duduk bersama. “Bagaimana perasaanmu?” tanya dia dengan suara pelan. Karena tidak ingin mengganggu anggota kelompoknya yang lain. Beberapa dari mereka sudah terlelap dan terlihat tidur dengan nyenyak. Hito terdiam. Dia tidak mungkin menjawab dengan kata-kata sembarangan. Lawan bicaranya adalah seorang kapten. Dia menelan ludah dan kembali mengembuskan napasnya dengan perlahan. “Aku hanya tidak bisa tidur, Kapten,” jawabnya sambil menunduk. Jemarinya bertaut dan dia mainkan. Lucas memegang jemarinya. Hal itu, membuat Hito menoleh dan menatap ke arahnya. Keduanya saling berhadapan. Saling menatap dengan dalam. Seolah sedang berbicara dengan bahasa mata. “Kau siap dengan tugas ini? Jika kau menolaknya, kita bisa berhenti di sini. Sebelum semuanya semakin terlambat,” ucap Lucas dengan tegas namun tenang. Karena dia tahu. Tidak mungkin mereka tidak merasa takut dengan keadaan yang sama sekali tidak dapat mereka prediksikan. Mereka berada di lembah antah berantah. Tempat yang sudah diasingkan cukup lama. Tempat yang sudah tidak terjamah dalam kurun waktu lama. Lantas, sekarang mereka ada di sana dan melakukan tugas yang tidak masuk akal. Membasmi mayat hidup? Konyol! Sangat konyol. Terlebih tugas mengambil harta benda yang tertinggal di sana. Hal itu membuat mereka seolah sebagai pesuruh. Bukanlah seorang prajurit yang mengabdi pada negara. Melainkan pesuruh para petinggi yang rakus. Mata Hito tidak bisa berbohong. Dia memang takut melakukan tugas itu. Takut tidak bisa selamat dari sana. Takut tidak bisa menjalankan tugas dengan baik. Hal yang paling dia takutkan adalah tidak bisa kembali pulang. Tidak bisa melihat istri dan anaknya kembali. “Aku ... siap ....” dia menahan napas saat mengucapkannya. Dengan nada bicara yang sedikit bergetar. Dia sedang menahan tangisnya. Rasa takutnya untuk tidak lagi bisa bertemu dengan keluarganya. Sangat mempengaruhi perasaannya. “Baiklah, kita harus melakukan semuanya dengan baik. Sesuai dengan rencana yang sudah kita buat. Kau harus yakin dengan kemampuanmu. Kami semua bergantung padamu. Prajurit pemberani!” hanya itu yang bisa Lucas katakan padanya. Bukan hanya Hito, perasaannya pun ikut tidak karuan saat mendapati tugas mereka tak sesuai dengan apa yang sudah diberitahukan sebelumnya. Menurutnya, misi itu adalah misi bunuh diri. misi konyol hanya demi menyelamatkan harta mereka para petinggi. Tapi, dia tidak bisa mengelak lagi. mereka sudah berada di sana. Dan tidak ada akses untuk kembali. Selain membawa kepala mayat atau harta benda milik mereka. Sesungguhnya dia telah mengetahui. Dengan adanya pelencengan tugas itu. Artinya, mereka telah dikorbankan oleh para petinggi. Dikorbankan untuk memuaskan keserakahan mereka. Walau dibalut dengan nama tugas negara. Lucas masih memandang wajah Hito yang murung. Kemudian, dia menepuk pundak Hito dengan kuat. Mencoba memberikan sebuah pukulan semangat untuk prajurit tersebut. Menjadi yang pertama dalam menghadapi sebuah tempat yang tidak diketahui aman atau tidaknya. Bukanlah tugas yang mudah. Itu memerlukan sebuah tekad dan kepercayaan diri yang tinggi. “Terima kasih, Kap!” jawab Hito. Dia kini menegakkan tubuhnya. Menunjukkan sikap siap menghadapi apa pun pada kaptennya. Tentu saja, seluruh kelompoknya bergantung padanya. Jika ada yang tidak bisa selamat. Memang harus diminalkan jumlahnya. Walau itu berarti, dia harus mempertaruhkan nyawanya sendiri. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN