17. Bersiap Menyerang

1875 Kata
Fero menelan ludah. Dia menunduk lemas di dalam mobil. Bagaimana mungkin dia bisa beristirahat dengan tenang. Sementara kedua matanya telah menjadi saksi kekejaman para manusia gila harta itu. Dia berharap Lucas akan segera menghubunginya. Sehingga dia bisa memberi tahu pada dia. apa yang telah terjadi pada rekannya. Kejadian ini tidak boleh terulang lagi. harapan untuk bisa kembali ke keluarga mereka hanyalah bayangan semu. Tidak akan mungkin bisa menjadi nyata. Para prajurit itu hanya akan tercatat sebagai prajurit yang gugugr dalam tugas. Tidak akan lebih dari itu. Hal yang mereka butuhkan adalah harta. Bukan kepala zombi yang dibutuhkan para peneliti. Misi terselubung itu memang sangatlah merugikan para prajurit. Mereka berangkat dengan penuh semangat untuk menuntas wabah yang tersisa. Tapi, nyawa mereka hanyalah seperti pion catur bagi para atasannya. Mereka digunakan sebagai penjaga untuk melindungi harta mereka. Mobil berhenti. Fero mengusap air matanya. Menghirup napas dalam-dalam lalu, dia mengembuskannya perlahan. Dia menganggukkan kepalanya sekali. Lalu menyemangati dirinya sendiri. “Kamu bisa Fero! Lakukan yang terbaik! Jalanmu masih panjang! fokus!” dia mengucapkan itu pada dirinya sendiri. Dengan satu tangan yang dia kepalkan. Sopir yang sedang duduk di sampingnya hanya memandang heran padanya. Tapi, Fero tidak menggubris hal itu. Dia turun dari mobil dan segera mengambil kotak yang berisi sampel dari makhluk aneh yang tercipta tanpa sengaja di sana. Dengan langkah mantap dia berjalan masuk ke dalam labooratorium besar itu. Di sana, kehadirannya telah ditunggu oleh banyak peneliti lainnya. Mereka sudah tidak sabar untuk mendapatkan hsail dari penelitian mereka. Hal apa yang membuat serum itu menjadi gagal dan menciptakan makhluk menyeramkan seperti itu. Pria dan wanita berpakaian putih panjang menunggunya di dalam. Saat dia membuka pintu. Mereka bertepuk tangan dengan riuh. Fero hanya tersenyum. Lalu, membungkuk sebentar. Dia menyerahkan kotak berisi sampel itu kepada sang pimpinan. Ucapan selamat bergulir terus menerus kepadanya. Setelah mereka selesai dengan penyerahan sampel. Mereka pun mulai kembali pada kesibukan mereka masing-masing. Tersisa dua orang rekan dekat Fero yang masih ada di sana, Steve dan juga jery. “Bagaimana? Apakah itu seperti di fiml-film zombi?” tanya Steve dengan suara kekehan tawanya yang khas. Jery menyikut lengannya. Ini bukanlah saat yang tepat untuk membahas itu. Fero meliriknya dengan tajam. Bibirnya mengerucut dan tangannya mengepal. Dia sangat siap untuk mendaratkan sebuah pukulan di wajah kawannya yang menyebalkan itu. “Aku tidak tahu, aku rasa ... semua ini salah, iya enggak sih? Bagaimana menurutmu, Jer?” fero membuka obrolan. Mereka berbicara sambil terus berjalan ke arah ruangan mereka. “Salah? Kenapa kau bisa berpikir hal semacam itu? Ini kan untuk kebaikan semuanya. Kita menyelamatkan peradaban dengan penelitian ini!” jawab Jery dengan sangat yakin. Tidak ada keraguan dalam suaranya sama sekali. Fero menoleh, menatapnya dengan tajam. “Apa kau yakin? Aku rasa ... ini benar-benar hanyalah sebuah topeng keramah-tamhan. Di mana menyembunyikan kebusukkan yang mengerikan!” ucapnya. Dia terus berjalan lurus. Sementara kedua rekannya tiba-tiba menghentikan langkah mereka. Keduanya tidak mengerti engan arah pembicaraan fero. Hal apa yang dia sebut sebagai keramah-tamahan, juga hal yang dia sebut sebagai kebusukkan? Apa yang sebenarnya telah terjadi di sana? Hingga membuat rekannya itu menjadi berubah sudut pandang tentang penelitian itu. “Menurutmu, apa yang sudah terjadi di sana? Hingga membuat wanita dengan penuh semangat itu mengubah cara pandangnya? Sebelum ini, dia bersikeras berangkat ke sana.” Steve mengajak Jery untuk membahas sikap Fero yang terlihat aneh di mata mereka. “Kau benar, pasti ada sesuatu yang telah terjadi. Kita harus mencari tahu!” jawab Jery. Fero menoleh, dan menatap kesal pada mereka berdua. Saat dia menyadari dia telah dibiarkan berjalan sendirian di sana. “Tunggu, tali sepayuku tadi lepas!” jawab Jery asal. Setidaknya, dengan begitu dia bisa memberikan alasan yang cukup jelas padanya.   *** Malam itu terasa begitu panjang. lucas terdiam sendirian di sudut ruangan. Dia menantikan kabar kedatangan Bob di markas. Tapi, tak kunjung ada laporan itu darinya. Dia mulai resah. Mulai berpikir aneh dan merasa curiga. Terlebih, sikap fero yang menunjukkan kejanggalan sebelum dia naik ke dalam helikopter. Sebuah tepukan di pundaknya, membuat dia menoleh. Lamunannya buyar seketika. Dia mendapati Hito datang dan kemudian duduk di sampingnya. “Ada apa, Kapten? Aku melihatmu sejak tadi. Kau terlihat resah, ada apa?” Hito mengucapkannya dengan santai. Seperti permintaan Lucas sebelumnya. “Aku rasa ... ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh Fero tadi. Entah kenapa, tidak ada laporan sampainya Bob di markas. Apakah ini tidak aneh?” Lucas menceritakan rasa resahnya. Hal yang menghantuinya, hingga dia tidak bisa istirahat sejak kepergian mereka tadi. “Tenanglah ....” Hito menepuk pundak sang kapten. “Mungkin, dia terburu-buru pulang menemui keluarganya. Buukankah istrinya akan segera melahirkan?” lanjutnya. Dia tersenyum, dan mencoba menenangkan sang kapten. “Kau benar, mungkin dia memang langsung terburu-buru pergi ke istrinya. Hingga terlupa untuk melaporkan kalau dia telah sampai di sana.” Lucas mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia kini merasa sedikit tenang. Pendapat Hito ada benarnya. Banyak kemungkinan yang terjadi, termasuk hal itu. “Kita harus fokus dengan misi dan semua rekan yang ada di sini. Jika kau saja tidak fokus, bagaimana dengan kami?” lanjut Hito. Dia memberikan semangat seperti yang pernah Lucas lakukan padanya sebelumnya.   “Terima kasih,” jawab Lucas. Dia berdiri dari duduknya. “Ayo, kita tidur, besok pagi pekerjaan akan semakin berat. Kita tidak pernah tahu, apakah makhluk-makhluk yang ada di rumah itu masih berada di sana. Atau bahkan telah berkeliaran!” lanjutnya. Hito tersenyum. Dia merasa lega, karena semangat sang kapten telah kembali. fokusnya pun sudah dia tentukan. Melanjutkan misi dengan segera. Menyelesaikannya ddengan baik, lalu kembali ke rumah bersama dengan keluarga. Simpel sih, tapi tidak sesimpel kenyataan yang akan mereka hadapi di sana. Mereka berdua akhirnya memilih untuk tidur. Hari esok masih panjang. Tapi, di sudut ruangan itu ada William yang masih terjaga. Jemarinya dengan cekatan meracik bahan-bahan. Dia melakukannya sama persis dengan yang sudah sering dia lakukan. Dia membuatnya berbentuk bulatan-bulatan kecil. Bulatan itu adalah bom asap. Dia mulai mempersiapkan semuanya. Tugasnya sudah harus mulai dia lakukan. Membuat bom dan melakukan penyerangan. Makhluk aneh yang dia lihat tadi siang terlalu banyak jumlahnya jika dibaningkan dengan jumlah rekan timnya. Mengebom mereka adalah cara paling efisien. Meskipun nantinya akan menjadikan suasana menjadi cukup mencekam. Tapi, itulah tujuan dia ada di sana. Dia harus melakukan tugasnya dengan baik. menajaga rekannya yang lain dari serangan. Ya, kalau tubuh mereka hancur. Mana mungkin mereka bisa menyatu dan berdiri kembali. Tidak perlu repot-repot memenggal kepala mereka satu per satu.   ***   Pagi yang cerah untuk melakukan aktifitas. Mereka telah berisap. Bukan seorang prajurit jika tak bisa sarapan sambil bersiap. Mereka mengunyah makanan dengan menggunakan kembali pakaian khusus itu. Ada pula yang sambil mengikat tali sepatu. Mereka sibuk dengan persiapan mereka masing-masing. Senjata-senjata yang diperlukan. Teermasuk bom yang sudah William siapkan. Mereka berdelapan kembali melangkah. Mendekat ke arah gedung A. Sayangnya, sesaat mereka akan keluar dari gedung tempat markas mereka. Mereka dikejutkan dengan suara-suara aneh yang mereka dengar. Dengan perlahan mereka berjalan menuruni tangga. Mereka siaga. Dengan sigap senjata berjenis Sub-Machine-Gun (SMG) mereka pegang dengan sikap bersiap menyerang. Satu per satu anak tangga telah mereka lewati. Lantai ke emat aman, tak ada sosok yang menyerang mereka di snaa. Kemudian mereka melanjutkan ke lantai tiga. Di sana mereka menyisir tempat itu. Melihat ke dalam ruangan-ruangan satu per satu. Hingga akhirnya mereka tiba di salah satu ruangan yang tampak mencurigakan. Lucas mmembrikan arahan pada rekannya. Mengatur tempat meereka berdiri. Beberapa ada yang berada di belakang untuk melindungi. Dia hanya menggunakan arahan dengan tangan, tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Jemarinya membuat kode satu, dua dan di hitungan ketiga. Mereka mendobrak paksa pintu ruangan itu. Senjata-senjata itu mengacung dan siap meluncurkan tembakan. Ternyata, dari balik pintu itu ada beberapa prajurit dari kelompok lain, yang juga sama mengacungkan senjata mereka. Melihat itu adalah rekan dari kelompok lain. Mereka menurunkan senjatanya. Merasa lega, itu bukanlah makhluk mengerikan. Disambut dengan makhluk itu sebelum keluar dari gedung rasanya sangat tidak menyenangkan. “Bagaiman kalian bisa sampai di sini? Ini jauh dati gedung B, di mana Clark?” tanya Lucas pada mereka bertiga. Wajah-wajah prajurit itu tampak kelelahan. Pakaian khusus mereka tiak mereka kenakan. Wajahnya lusuh dan terlihat tidak segar sama sekali. Setelah beberapa saat saling sikut, akhirnya salah satu dari mereka pun membuka mulut. “Kami, terpisah dari tim.  Makhluk itu sangat banyak! Bagaimana kita bisa keluar dari sini?” ucap prajurit itu dengan suara parau. Terdengar dengan jelas dia snagat ketakutan. “Tenanglah, ceritakan dengan jelas apa yang terjadi pada kalian. Di sini aman.” Hito mencoba menennagkan mereka. Dia mendekat dan mengajak mereka untuk duduk bersama. Pada akhirnya, mereka mengurungkan diri untuk pergi melanjutkan perjalanan. Mereka memutuskan untuk menenangkan ketiga prajurit dari tim lain tersebut. “Kemarin, kami salah arah. Dan ternyata, di sana banyak sekali makhluk itu. Mereka menyerang dengan sangat brutal. Bom yang kami lemparkan hanya bisa membuat separuh dari mereka terbunuh.” Dia diam sejenak. Lalu mengatur napas. Dia mengusap wajahnya sekali. Seolah mencoba mengusir rasa ngeri yang dia rasakan kemarin. “Suasana cukup kacau. Kami melarikan diri ke arah yang berbeda dengan kapten. Aku tidak bisa kembali ke sana. Beberapa rekan telah terinfeksi oleh mereka. Dan mereka langsung bersikap seperti mereka.” Dia melanjutkan ceritanya. Mendengar itu, Hito, Lucas dan rekannya yang lain saling berpandangan. Suasana di sana ternyata tidak seaman yang diucapkan oleh Jendral. Makhluk itu masih banyak. Entah dengan cara apa mereka masih bisa hidup sampai saat ini. Jika itu karena serum, mungkin saja itu bisa terjadi. Hito berpikir keras. Bagaimana mungkin? Apakah serum itu benar-benar bisa membuat panjang umur? Tapi, bukankah mereka telah mati?   “Kalian tinggallah di sini, Jo, kau tidak perlu ikut melanjutkan ke sana. Temani mereka di sini. Segera laporkan apa pun hal yang terjadi!” perintah Lucas pada Jo yang sedang duduk di sampingnya. Jo mengangguk, “Siap, kapten!” ucapnya dengan penuh keyakinan. “Baiklah, kami masih harus menyelesaikan misi. Melanjutkan dan memeriksa kondisi di sana. Kalian berhati-hatilah di sini!” ucap Lucas. Kemudian mereka pun melanjutkan langkah. Meninggalkan mereka berempat di sana. Jo mengajak ketiga rekannya itu menuju lantai atas. Ke tempat di mana mereka biasa beristirahat. Semenatara itu, Lucas, Hito, dan rekannya yang lain melanjutkan perlajanan menuju gedung A. Mereka harus sangat berhati-hati. Kali ini, mereka berfokus untuk menyerang ke rumah yang saat itu mereka lihat banyak makhluk di sana. Mereka harus membasmi mereka agar bisa aman melanjutkan perjalanan. “Wil, kau sudah menyiapkannya?” tanya Lucas. William mengangguk, dia tak banyak bicara. Tapi, di balik diamnya itu menyimpan kengerian luar biasa. Di dalam tas yang sedang dia kenakan saat ini ada begitu banyak bom yang sudah dia ambil dari penyimpanan. Jika diperlukan, dia akan melemparkan semua bom itu ke arah rumah yang penuh dengan zombi tersebut. dia telah siap melakukan tugasnya. Di samping itu, Hito pun merasa sama. dia merasa harus bisa selamat dalam kondisi apa pun. Karena, dia ingat dengan jelas. Janji makan malam bersama dengan sang buah hati masih belum bisa dia tepati. Dia harus kembali ke sana. Dia harus kembali dalam keadaan selamat. Dia harus kembali untuk menepati janji pada keluarganya. Dia harus kembali, bagaimana pun caranya. Dia bertekad untuk membasmi makhluk itu dengan tangannya sendiri. Dia bersiap dengan senjata di tangannya. bukan hanya dia rekannya yang lain pun dalam posisi yang siap menyerang. Mereka sudah lebih kuat dari sebelumnya. Pengalaman mengajarkan banyak hal pada mereka. Termasuk bagiamana cara menghadapi serangan dari makhluk menyeramkan itu.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN