Langkah mereka kian mantap. Seluruh pasang mata itu mengawasi dengan tajam. Bak mata elang yang siap menukik terjun ke bawah untuk menangkap mangsanya. Mereka dengan sangat hati-hati dan juga teliti dalam bertindak. Saat mereka akan melewati rumah itu. Pemandangan yang sama mereka dapati. Benar saja, rumah itu masih sama penuhnya dengan makhluk itu seperti hari kemarin.
Mereka merunduk tanpa aba-aba. Mempersiapkan senjata yang sudah mereka bawa. Hito, Lucas, bahkan Willan telah siap melakukan penyerangan. Ini adalah hari William. Ketangkasannya dalam kecepatan dan ketepatan mengenai bom diperlukan. Dengan perlahan dia merayap menuju rumah tersebut. dia begitu gesit. Satu, du, tiga, entah sudah berapa banyak bom yang dia letakkan di dekat rumah tersebut. Dia memberikan kode dengan tangannya. memberikan isyarat pada mereka untuk mundur dan bersembunyi di balik bangunan. Dengan cepat dia berlari. Bersamaan dengan suara yang dia timbulkan. Makhluk-makhluk itu menoleh. Tidak membutuhkan waktu lama. Mereka berhambur keluar. Berdesakan. Saling mendorong satu sama lain. Wajah yang sudah tidak karuan itu terlihat sangat menyeramkan. Darah-darah kering, rambut awut-awutan, dan warna tanah dan darah yang tercampur membentuk wanra hitam dan berbau tidak enak. Mereka terus melangkah keluar.
“Tiga, dua, satu!” William berhitung. Tepat dihitungan ke tiga bom-bom yang telah dia pasang itu meledak dengan sangat keras. Beberapa dari prajurit bahkan menutup telinga mereka karena saking kerasnya. Tubuh-tubuh itu hancur tak bersisa. Sementara beberapa makhluk terpelanting jatuh ke tanah dengan sangat keras. Potongan-potongan tubuh itu berhambur ke mana-mana. Bahkan mendarat di kepala Rico. Hingga membuat bekas merah di pipinya.
“Iyuh!” ejek Leo. Kemudian dia terbahak-bahak.
Rico membuang sisa potongan itu. Mengusap wajahnya dengan lengan kanannya. Dia melirik ke arah Leo yang masih saja tertawa.
“Jika kau tidak diam, aku akan memasukkan potongan daging busuk ini ke mulutmu!” ucapnya dengan nada kesal. Leo memang tidak tahu tempat untuk bercanda. Dia selalu begitu. Orang paling santai di timnya. Leo menghentikan tawanya. Membayangkan daging itu akan masuk ke dalam mulutnya saja dia sudah merasa mual. Dia menggeleng perlahan. Memegangi perutnya yang terasa seperti sedang diaduk-aduk.
“Huek!” tubuhya bahkan langsung merespon pada hal itu. Dia sangat mengenal Rico, dia tidak pernah main-main dengan ucapannya. Lebih baik dia diam. Dari pada harus mendapatkan trauma besar karena dagiing busuk itu masuk ke dalam mulutnya. Menghindari ancaman adalah hal terbaik yang bisa dia lakukan untuk saat ini.
Setelah memastikan keadaan aman. Mereka melanjutkan perjalan kembali. Masih dengan langkah yang sama, dan kewaspadaan yang kian mereka tingkatkan. Setidaknya satu masalah telah mereka lalui. Mereka berlari, menuju tempat gedung tersebut. Mempercepat langkah mereka dengan sekuat tenaga. Sebelum ada makhluk yang akan kembali menyerang mereka. Suara langkah merek berderap kompak. Perjalanan itu terasa sunyi. Leo sudah tidak lagi berceloteh. Dia memilih diam, setelah mendapatkan ancaman dari Rico.
Setelah berjam-jam mereka berjalan. Akhirnya mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak. Kota itu memang baru beberapa tahun ditinggalkan. Bahkan beberapa dari mereka juga pernah tinggal di sana. Tapi, melihat kondisinya saat ini. rasanya terlalu sulit untuk mengingat posisi dan letak suatu tempat.
Lucas membuka tab. Memeriksa posisi mereka. Dia menhela napas panjang. Saat mengetahui mereka masih jauh dari tujuan. Dia menatap anggota timnya. Lelah, jelas tergambar di wajah mereka.
“Kita masih butuh sekitar satu jam untuk sampai ke gedung A. Rasanya, tidak mungkin jika kita harus kembali ke markas setelah sampai di sana. Bagaimana jika kita menginap di gedung tersebut untuk malam ini?” ucapnya. Dia tentu harus mendiskusikan hal itu. Dia tidak akan gegabah mengambil keputusan besar. Karena, itu menyangkut nyawa banyak orang.
Lucas menunjukkan posisi mereka. Tab itu dia balik dan dia perlihatkan pada rekan timnya.
“Kita di sini, dan gedungnya di sebelah sini. Menurut tab yang sudah dirancang dari pusat ini, kita masih butuh satu jam untuk bisa sampai ke sana,” lanjutnya. Dia menunjuk pada dua titik yang berwarna berbeda. Letak posisi mereka dan juga posisi gedung yang akan mereka tuju.
“Perjalanan menuju gedung A membutuhkan sekitar empat hingga lima jam dari markas. Menurutku, itu ide yang bagus, kapten. Akan terlalu membuang waktu jika kita harus bolak-balik dari gedung ke markas.” Hito mengeluarkan pendapatnya. Jika mereka melakukan itu, mereka bisa menghemat waktu. Melakukan pencarian di gedung itu dengan lebih banyak waktu. Dengan begitu, mereka bisa lebih cepat menyelesaikan misi tersebut. Segera kembalu ke rumah dan berkumpul dengan keluarga lagi.
“Bagaimana dengan yang lain? Apa kalian setuju?”
“Tapi ... bagaimana dengan Jo dan tiga rekan kita yang ada di markas?” timpal Kevin. dia mengucapkannya tanpa melihat ke arah Lucas. Dia terlihat cuek, memaikan pedang yang dia pegang ke arah pohon.
“Itu juga yang menjadi pertimbanganku. Meminta mereka untuk ikut ke sini, rasanya tidak mungkin. Harus ada salah satu dari kita yang kembali dan mengajak mereka. Apakah ada yang bersedia?” lucas melihat ke arah mereka satu per satu. Tak ada jawaban dari mereka. Semua diam. Terlalu lelah sampai di titik itu. Tinggal sebentar lagi sampai. Kembali ke markas? Rasanya seperti menghadiahkan diri pada para makhluk yang siap menyerang kapan saja itu.
“Aku sih mau, kalau ada mobilnya,” ucap Leo dengan santainya. Dia bahkan tersenyum tipis. dan menaikkan alisnya sekali saat Lucas dan yang lainnya menatap ke arahnya.
“Wah, rupanya kau ingin aku memasukkan daginng busuk ke muluutmu, ya?” sahut Rico.
Leo beringsut mundur, dia menarik tubuh Hito dan bersembunyi di belakangnya. Hal itu membuat beberapa dari mereka terkekeh.
“Kalau ada mobil yang bisa dipakai, kenapa kita harus susah-susah jalan kaki selama berjam-jam?” ucap Luucas. Dia benar-benar ingin menjitak kepala anggotanya itu.
Leo hanya mengangkat kedua jarinya. Menunjukkan rasa ingin berdamai pada sang kapten.
“Ini kawasan elit, pasti ada banyak mobil yang bisa kita temui di sektar sini!” celetuk Roy. Dia tersenyum penuh arti. Rekan timnya melihat ke arah dia dengan tatapan tidak mengerti.
“Apa yang sedang kau rencanakan? Senyuman itu membuatku merinding!” sahut Hito. Dia sangat mengenal Roy. Pria satu itu memang menyukai otomotif. Mengutak-atik perkakas mobil, motor, dan berbagai macam kendaraan lainnya. Dia bahkan pernah merasa Roy lebih cocok membuka bengkel daripada harus berjibaku dengan senapan dan ranjau di medan perang.
“Pasti ada mobil yang masih bisa kita kenakan!” ucapnya dengan penuh semangat. Dia berdiri, dan memberihkan tangannya dengan menepuk-nepuk beberapa kali.
“Kau mau ke mana? Walau pun ada, ini sudah hampir enam tahun! Mana ada mobil yang masih bisa menyala dalam kurun waktu ini?” Rico menimpali ucapannya.
“Kita tidak akan tahu, sebelum mencoba!” ucapnya dengan sangat serius.
“Hito! Ikut aku!” lanjutnya.
“Kau gila! Tidak mau!” jawab Hito. Kali ini, dia menarik tubuh Leo dan bersembunyi di belakangnya. Leo terkekeh pelan saat menyadari tingkah Hito yang sedikit menyindirnya.
“Kau ingin mengistirahatkan kakimu, bukan? Ayo!” ajaknya. Dia terlihat begitu bersemangat. Seolah dia telah menemukan tujuan dari perjalanan tersebut. dia bahkan menarik lengan Hito dengan paksa. Tapi, ada sebuah tangan yang mengehntikannya.
“Roy, apa kau yakin dengan hal ini?” dia mencoba menghentikan langkah Roy dengan hati-hati. Karrena, dia juga sangat berharap bisa menemukan keajaiban di sana. Mendapatkan sebuah mobil adalah hal yang mungkin mustahil. Tapi, tentu dia dan rekan timnya yang lain membutuhkan dan mengharapkan itu bisa terwujud.
“Aku ingat daerah sini, ada sebuah bengkel mobil besar. Aku sangat yakin, koleksi mobil dari pemilik bengkel masih ada di sana.” Roy dengan penuh semangat mengatakannya.
“Ya, meskipun harus bekerja lebih keras, memeriksa aki, bensin dan juga beberapa kabel yang mungkin saja sudah dimakan oleh tikus-tikus yang kurang kerjaan,” lanjutnya.
“Kenapa kau terdengar seperti Leo!” gumam Hito saat mendengar rekannya itu mengatakan hal yang lucu.
“Perjalanan kita masih satu jam lagi. Kita harus sampai di sana sebelum gelap!” ucap Lucas.
“Kapten, percayalah padaku!” ucapnya.
Tanpa banyak bicara lagi. Dia menarik lengan Hito. Dia mengajaknya berlari ke arah kanan. Dengan membawa senjata di tangan.
“Jika kita tidak menemukan mobil itu, aku akan menembak tepat di bijimu!” ancam Hito. Tapi, dia masih mengikuti ke mana rekannya berlari.
“Jika kau menemukannya, aku akan sangat bersyukur karena bijiku aman!” ucapnya sambil tertawa terbahak.
Hito menggeleng dengan senyuman di wajahnya. Baru kali ini dia bisa merasa sedikit tenang dalam melakukan tugas itu.
***
Fero sedang berada di ruangan serba putih. Dia bahkan mengenakan pakaian pelindung tubuh berlapis-lapis, lengkap dengan kaca mata dan masker yang dobel. Dia bersama dua orang rekannya sedang fokus dengan sampel yang baru saja akan mereka kupas hingga akarnya.
Di sebuah meja tergeletak sebuah kepala dengan kedua mata yang melotot. Rambut kering, dan juga wajah bulat yang terlihat menyeramkan. Beakas-bekas darah yang bercampur dengan keirngat dan tanah mengering di sekitar wajah dan kepalanya. Sejauh dari pengelihatan mereka, kepala itu tampak biasa saja. Seperti kepala manusia pada umumnya.
“Kalian siap?” tanya Feri. Dia meregangkan tangan ke atas. Kedua rekannya juga melakukan hal yang sama. Lalu, mereka menggoyang-goyangkan tangan mereka ke udara sebentar.
“Siap!” jawab keduanya.
Di tangan mereka ada pisau bedah yang sudah siap membuka setiap inci dari sampel itu.
“Aku akan mulai mengambil rambutnya. Kalian bisa mengambil bagian yang lain dan letakkan di kotak-kotak itu.” Fero memberikan arahan pada keduanya. Mereka hanya mengangguk paham dan mulai melakukan tugasnya. Fero memulai dnegan menyayat kulit kepalanya. Tidak ada darah yang menetes. Sudah mengering sejak hari di mana kepala itu terputus dari lehernya.
“Tidak bisakan matanya ditutup? Aku merasa ngeri dipelototi oleh zombi!” ucap Jery, dia bergidik ngeri. Dia bahkan menutup sela jarak pandangnya pada sampel tersebut.
Steve menyikutnya dengan pelan. “Bagaimana kalau kau saja yang menutupkan matanya? Sekakian doakan dia agar bisa istirahat denga tenang di alam sana!” balas Steve.
“Tutup mulut kalian! Sebelum aku menguliti kalian hidup-hidup di sini!”
Suara Fero membuat keduanya terdiam seketika. Tidak ada suara lain selan bunyi sayatan pada sampel. Sebagian kulit kepala telah di ambil. Rambutnya, kulit wajah, telinga, bahkan Fero mencongkel mata makhluk itu dengan sekali gerakan. Steve dan Jery hanya bisa terdiam dan melongo melihat kecepatan tangan rekan kerjanya itu. Mereka menelan ludah secara bersamaan. Fero terlihat tak mempunyai perasaan saat mencongkel mata it dari tempatnya. Steve tidak membayangkan jika dia melakukan kesalahan dan benar-benar akan dikuliti oleh Fero di sana.
“Bawa semua ini ke ruang uji. Minta mereka melakukan uji dua kali. Kita harus bisa mendapatkan hasil yang sempurna. Apa penyebab manusia-manusia ini menjadi makhluk seperti ini, ya?” Fero mengucapkannya dengan tenang. Tangannya bahkan menggelindingkan kepala itu ke kiri dan kanan. Seolah dia sedang memegang bola dan memainkannya.
“Nona, itu bukan bola!” ucap Steve. Kemudian dia mempercepat langkahnya ke luar dari ruangan tersebut. sebelum Fero menangkapnya dan mengulitinya hidup-hidup. Mengantarkan sampel yang sudah mereka kumpulkan untuk diteliti oleh tim lain yang bertugas untuk hal itu.
Jery terkekeh pelan, lalu senyum di wajahnya kian pudar. Saat kedua mata fero menatapnya dengan tajam.
“Aku akan mnemani Steve.” Dia mengucapkan itu sambil keluar dari ruangan tersebut. sebelum kemarahan Fero kembali.
Fero menggelengkan kepalanya dengan pelan. Kali ini dia sendiri. Hal itu membuat dia merasa sepi. Kemudian kembali mengingat tentang kejadian malam itu. Malam terakhir Bob terlihat di ujung matanya. Dia memejamkan matanya sekejap. Lalu mengembuskan napas panjang.
Pria itu masih juga belum menghubungiku. Apa dia tidak percaya denganku?
Lucas masih belum mengiriminya pesan atau pun telepon.
“Ah sial! Aku lupa, mereka tidak membawa ponsel! Ponsel satelit hanya akan membuat ucapanku terrekam dan mereka akan melenyapkan aku seperti Bob!” dia berbicara sendiri. Penyesalannya begitu besar. Dia benar-benar ingin membantu mereka agar bisa selamat dari sana. Tapi, dia juga masih ingin hidup dan menyelesaikan penelitian yang sedang dia lakukan.
“Siapa yang bisa membantuku?” dia berpikir keras. Mencari nama yang mungkin bisa menolongnya. Sebuah nama yang mungkin bisa membawa rekan timnya kembali dengan selamat. Tapi, siapa?
***
“Oh Tuhanku!” Leo menggelengkan kepalanya. Suara Leo membuat rekannya yang lain ikut melihat ke arah yang sedang dia lihat. Saat dia menangkap sosok makhluk aneh itu di lantai dua rumah tersebut. Dia menelan ludah. Menoleh ke arah rekan timnya yang lain. Mereka pun mempunyai ekspresi kengerian yang sama.
“Hanya tersisa satu bom,” ucap William. Dia menghela napas panjang. Dia tidak lagi membawa amunisi. Masuk ke sana dengan melawan satu per satu. Rasanya akan membuang-buang tenaga dan waktu.
“Kapten? Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Leo dengan suara yang sedikit gemetar.