Khilaf 11

1795 Kata
Aku sudah sangat biasa dengan gaya ngambeknya Ajiz. Pagi marah, siang sudah ada lagi di kamarku. Malam marah besar, pagi buta sudah sibuk sendiri membuat bubur ayam. Kalau istilah Bapakku, Ajiz itu bermental kulit bawang, mudah marah dan mudah reda. Tapi kali ini berbeda. Sudah dua hari dua malam sang cowok baper tidak terlihat daun telinganya. Mungkinkah dia sibuk menghabiskan uang dari Bu Haji dengan berbelanja atau jalan-jalan ke Hongkong bertemu Kak Ryuni0220? Mungkin saja kan? Sandi sudah pergi dari kampung Legok Asih. Keadaan rumah Pak Ganjar pun selalu terlihat sepi. Sudah beberapa kali aku sengaja melintas dekat rumah itu, berharap ditegur Bu Haji agar bisa mengklarifikasi kisah pengintaian kami yang berakhir mahal. Namun menurut Bi Kokom yang kadang jadi pembantunya, Bu Haji ikut dengan Pak Haji ke Tasikmalaya entah untuk berapa lama. Hari-hari di sekolah berjalan seperti biasa. Egar semakin jauh, aku pun tak peduli karena sibuk dengan kegiatan OSIS dan persiapan Perjusami yang akan dilaksanakan jum'at minggu ini. Tok..tok..tok "Assalamualaikum," "Waalaikumsalam," balasku dengan dahi sedikit berkerut. Aku sangat kenal suara orang yang mengucapkan salam dan mengetuk pintu kamar. Tapi yang menjadi heran, sejak kapan manusia ajaib ini berubah santun saat hendak masuk kamarku. Setelah menggantungkan kain sarung dan peci, aku tetap tertegun menatap pintu kamar menanti Fahmi yang tidak kunjung masuk. Tok tok tok "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam. Masuk, Nyet!" balasku sedikit kesal. Tak sampai 115 detik, pintu kamar yang bercat hijau terbuka pelan-pelan. Lelaki berjuluk STMJ masuk perlahan dengan sarung, kemeja koko dan peci hitamnya. Senyumannya yang manis dan penuh misteri lebih terasa aneh lagi dengan gayanya saat masuk. Sedikit membungkuk, lalu kedua tangannya mengambil tangan kananku, langsung menciumi laksana seorang santri pada ustadnya. "Maaf, saya mengganggu istirahat Mbah," ucapnya dengan sangat santun. Pletak! Tangan kiriku refleks menjitak kepala berpecinya. Namun Fahmi sedikit pun tak mengelak atau membalas. Dia malah makin rendah menundukkan kepalanya. "Kesurupan apaan, lu?" tanyaku seraya nyengir kuda. Fahmi sama sekali tak bergeming. Kini bukan lagi laksana santri depan gurunya, tapi lebih mirip maling jemuran daleman tertangkap basah emak-emak yang marah besar, mencak-mencak sambil mengangkat dasternya tinggi-tinggi. Fahmi Rahmatullah, nama yang sangat mulia dan indah. Sesuai dengan pembawaan dan penampilan fisik sang pemilik nama. Namun dengan berlatar pendidikan dan keluarga yang sangat religius, siapapun tak akan percaya jika siswa kelas 2 Aliyah Negeri yang berwajah baby face tanpa dosa cenderung cantik ini, kolektor video porno super akut. Entah sejak kapan dia  mengkoleksi film perusak moral generasi bangsa itu. Seingatku, dia mulai berani sedikit terbuka beberapa bulan yang lalu. Bahkan belakang, dia dengan bangganya berani onani di depanku sambil nonton bokepnya. Sangat bertentangan dengan makna nama yang tersemat di dirinya. Tidak salah jika kami menjulukinya Fahmi STMJ – Shalat Terus Maksiat Jalan. Mungkinkah itu ekspresi pubertas remaja korban kemajuan zaman? Kecanggihan teknologi telah membuatnya mudah mengakses dan mendapatkan segala informasi. Termasuk untuk hal-hal yang dianggap tabu dan terlarang. Aku hanya berharap, dia segera membung semua koleksinya setelah bosan. Kami pun sudah sering mengingatkannya. Walau sama-sama nakal dan tak sehebat dia dalam melaksanakan ritual ibadahnya, namun masih waras untuk sekedar membedakan baik dan buruk. Fahmi selalu punya jawaban pembenaran atas jiwanya yang sudah kerasukan sesuatu yang bertentangan, menciderai kemuliaan dan kesucian ajaran agama dan norma susila. Fahmi bahkan sudah sangat hapal dengan istilah dan gaya-gaya persetubuhan yang tampaknya  mulai menjadi obsesinya untuk bisa mempraktekkan dan menikmati apa yang jadi konsumsi otaknya selama ini. Walau sejauh ini masih dalam taraf angan. Belum terdengar, dia berbuat m***m secara nyata. "Mbah salah saya apa?" tanya Fahmi setelah duduk di pinggir ranjang. "Banyak lah blog! Lu sering ngotori kamar suci gua dengan pejuh lu yang gak bermutu!" ucapku tanpa beban. Fahmi memang tak pernah segan memaksa mengeluarkan paksa spermanya ketika dirinya sudah tak kuasa menahan hasrat birahinya setelah nonton adegan super hot di hapenya. "Jadi itu yang membuat Mbah gak mau ngasih asihan sakti sama saya? Saya janji gak akan c**i sembarang lagi, Mbah. Tapi mengapa Mbah ngasih pelet sama si Bawang? Bukankah dia juga hobi c**i sembarangan?" protes Fahmi. Deg! Jantungku seketika berhenti berdetak. Teringat Herman yang beberapa waktu lalu menghambakan diri padakku dan menjadi murid dukun palsuku. Beberapa hari ini aku dan dia memang jarang bertemu. Di sekolah pun dia sangat jarang menemuiku mungkin karena tahu, Egar sudah tidak lagi mentraktirku. "Si Herman? maksud lu apa?" tanyaku pura-pura tenang. "Ya, si Bawang sekarang hidupnya sudah sejahtera, gara-gara mendapat mantra sakti dari Mbah." Fahmi menjawab polos dengan kepala kembali menunduk. Pletak! Untuk kedua kalinya, kepala berpeci hitam itu mendapat jitakkan halusku. "Bangke lu! Gua kira apa, lu kira gua punya ajian ngipri apa? sampai-sampai si Bawang mendadak kaya dan makmur!" sergahku dengan jantung yang masih dag-dig-dug. Skandal dukun palsu yang aku praktekan dengan Herman, tidak boleh sampai tercium siapapun. Bisa menjadi kehebohan kalau aku dianggap dukun palsu yang membodohi, memperdaya, memanfaatkan dan menipu orang lain untuk memperkaya diri sendiri. "Saya serius, Mbah!" Fahmi menatapku dengan wajahnya yang tirus, mata bulat, bulu mata lentik menggemaskan. Fahmi adalah cowok berwajah sedikit cantik. "Mau semiliarrius pun suka-suka lu aja, Blog!" timpalku seraya berlalu dari kamar hendak membuat kopi di dapur. Dengan menenteng segelas kopi panas, aku kembali ke kamar. Fahmi duduk di atas karpet merah sambil mengisap sebatang rokok yang sudah pasti dia ambil dari persediaan rokokku. Tanpa basa-basi dia menyambar dan menyesap kopiku. "Selama ini Mbah selalu menutup-nutupinya. Mengapa si Herman dikasih, sedangkan saya tidak. Kurang dekat apa lagi saya dengan Mbah?" tanya Fahmi seraya meletakkan kembali gelas kopinya di atas lantai. Aku tak menjawab. Persetan dengan ocehannya, paling dia mau mengejekku karena sudah membaca modusku yang hanya minta dibelikan hand&body lotion untuk kupakai sendiri, si Teteh atau Deblo. "Kurang apa saya sama Mbah?" Kali ini Fahmi bicara lebih serius. "Lu punya kolam gak? atau setidaknya Ikan Mas.  Kalau punya, gua bisa kasih peletnya, hahahaha," balasku untuk menghentikan ocehan sahabatku yang ahli ibadah sekaligus rajin maksiat ini. "Saya serius, Mbah. Tadi saya ketemu si Herman, ngobrol banyak tentang hubungan dia dengan Tante Yanti, mamanya Vera. Katanya itu semua berkat pelet dari Mbah." Fahmi menatap kedua bola mataku yang sedikit terbelalak dengan sangat intens. "What?" tanyaku dengan suara yang seketika tercekat di kerongkongan. Memelet Mamanya Vera? Mengapa jadi mamanya yang menjalin hubungan dengan Herman? Setahuku waktu itu dengan sangat jelas dia meminta untuk didoakan agar Verayanti Fajarina menerima cintanya. Bukan Tante Yanti, janda pemilik salon kecantikan kelas kampung yang genitnya karet empat. "Sudah seminggu Herman jadian dengan Tante Yanti. Bahkan sudah dibeliin hape segala, Mbah." "Sumpah lo?" "Sumpah Demi apapun, saya gak nyangka kalau Tante Yanti bisa tergila-gila sama si Bawang. Masa saya kalah sama dia. Apakah badan saya kurang bau bawang, Mbah?" Bibir Fahmi sedikit mencibir. Ini bukan Fahmi banget. Sepanjang sejarah, dia tak pernah usil pada siapapun apalagi sampai mencibir. "Si Bawang sekarang jarang gabung sama kita, karena hampir tiap malam main ke rumah Tante Yanti, bahkan katanya sih pernah dua kali nginep waktu si Vera gak ada di rumahnya." Fahmi melanjutkan berita tergilanya yang pernah kudengar. Tante Yanti menjalin hubungan dengan banyak lelaki, tidak mengejutkan. Sebagai pemilik salon kecil-kecilan, gaya dia memang seperti owner salon kelas kakap. Menurut gosip, salah satu alasan suaminya menceraikan dia, karena beberapa kali tertangkap basah tidur dengan lelaki hidung belang untuk mencari modal dalam upaya memajukan salonnya. Tapi mengapa sekarang memilih Herman? Apa yang bisa anak tukang becak itu berikan? Jangankan memberi modal, untuk sekedar membeli rokok atau ongkos sekolah, Herman lebih sering mengandalkan aku. "Sejak kapan lu percaya omong kosong si Herman, Em?" tanyaku pura-pura tak penasaran. Fahmi biasa kami panggil Em, kepanjangan dari Maksiat atau m***m. "Sejak saya melihat hape barunya dan membaca isi chatting antara dia dengan Tante Yanti. Gila bahasanya sudah ketinggian, mesra banget Mbah!" "Serius lu, Nyet!" Aku makin terperanjat. "Baca Embaaaah!" Fahmi menyodorkan hapenya yang berisi tangkapan layar berisi percakapan m***m antara Herman dengan Tante Yanti. Mataku benar-benar terbelalak. "Jadi?" tanyaku sambil meletakkan hape Fahmi di atas lantai. Masih bingung dan benar-benar tak percaya. "Jadi saya mohon keadilan dari Mbah. Kapan pun Mbah siap memberikan pelet itu, saya siap dengan segala syarat dan ketentuannya. Kalau sekelasnya si Bawang bisa sampai meniduri Tante Yanti, maka saya harus lebih dari itu, Mbah." Fahmi bicara santun namun sangat memaksa dan super menggelikan. "Astagfirullah Fahmi Rahmatullah! Sumpah demi Allah gua gak pernah ngasih pelet atau apapun sama si Herman. Gua hanya meminta dia untuk jaga kebersihan dirinya dan rajin beribadah. Gua rasa, kalau elu tanpa disuruh pun jauh lebih baik dari si Herman. Gua bersumpah demi langit dan bumi, gak pernah mempelajari hal-hal kemusyrikan begitu, apalagi memilikinya!" sangkalku keras dan level kesabaranku sudah berada di ujung jempol. "Jadi Mbah ragu kalau saya bisa ngasih pulsa dan ngebeliin hand&body? Gak usah dua, sepuluh botol pun bakal saya belikan. Jangankan pulsa jigow, seratus ribu pun saya sanggup. Mbah memang pilih kasih sama sohib sendiri!" Fahmi mulai sedikit meradang. "Eh busyet! Nyet, cewek lu berjejer dimana-mana. Cewek mana yang gak suka dengan wajah imut-imut tanpa dosa seperti lu? Buat apa pake pelet-pelet segala? Lagian, emang siapa yang mau lu pelet, Goblog!" Emosiku hampir memuncrat dari ujung jempol kaki. "Kan dari dulu saya udah bilang. Saya suka dengan Bu Haji Anna." Fahmi menjawab tanpa kira-kira. "Astagfirullah!" ucapku dengan mata yang nyaris loncat dari kelopaknya. Selama ini Fahmi dan Bu Haji Anna memang relatif dekat dan akrab. Fahmi pengurus pengajian remaja, sedangkan Bu Anna selalu menjadi penyumbang konsumsinya. Jadi kedekatan Fahmi dengan Bu Haji selama ini ada jerawat di balik p****t? Oh my God! Ada apa dengan manusia-manusia gila di sekitarku ini. Mengapa Herman, Egar, Sandi dan Fahmi menyukai emak-emak? Apa yang dicari mereka? Mengapa emak-emak pun melayani laki-laki bau kencur? Apa sesungguhnya yang mereka cari? Syahwat? Mengapa tidak dengan yang sebaya saja, bukankah dosanya sama saja. "Pokoknya kapan pun Mbah siap, saya akan siapkan segalanya!" ucap Fahmi seraya berdiri dan berpamitan. Aku benar-benar tak sanggup lagi bicara. Apa sesungguhnya yang ada dalam benak cowok STMJ ini? Bagaimana kalau Fahmi yang menyaksikan permesuman antara Bu Haji Anna dengan Sandi dua hari yang lalu itu. Akankah dia seperti Ajiz mengkomersilkan atau malah minta jatah dalam bentuk yang sama seperti Sandi? Amazing! Hayati benar-benar merinding, pemirsah! Bagaimana jika ada gosip yang beredar yang menyebutkan Herman dapat pelet dariku hingga dia berhasil menaklukkan janda bahenol dan itu menjadi viral di medsos? Ini sangat berbahaya. Bisa-bisa aku diusir sama Bapak karena kamarku jadi tempat praktek perdukunan super palsu, nauuzubillah! Mengapa aku dianggap memiliki ilmu pelet hanya karena ganteng? Sungguh ganteng ini menyiksaku! Bencana atau anugerah kah? Amazing, Hayati kembali merinding, pemirsah! Ternyata apa yang yang terjadi dengan Herman, Egar, Fahmi atau Sandi masih bisa sedikit diterima akal. Tapi yang aku saksikan saat kemping Pengurus OSIS, benar-benar tidak masuk akal. Susah sekali rasanya akal sehatku ini menerima dua kejadian yang asli memerindingkan sekujur tubuh Hayati ini. Sampai kini aku masih sangat menyesal menyaksikannya. Sudah semengerikan itukah dunia perlendiran Indonesiaku? Nauzubillah. Kali ini Hayati benar-benar merinding dan lelah, pemirsah! ^^^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN