Khilaf 12

2082 Kata
"Ndra, saya boleh main lagi ke rumah kamu?" tanya Egar tiba-tiba ketika baru saja masuk kembali setelah beristirahat. "Kapan?" Aku balik tanya. "Hari Jum'at atau Sabtu ini. Mama tadi kirim WA, katanya Deblo udah kangen. Kalau ada waktu mungkin semua mau diajak main-main ke mall atau kemana aja yang mereka mau. Kamu ada acara gak?" "Jum'at saya ada kemping, Gar. Ya kalau mau main, main aja," balasku datar. Ada perasaan canggung dengan keadaan yang benar-benar kaku formal ini. Kami terbiasa bicara bebas dengan panggilan 'lu-gua' bahkan lebih sarkas lagi. Tiba-tiba sudah hampir sebulan ini berubah menjadi 'saya-kamu'. Oh my God, geli sekali hati ini. sudah kaya pasangan Rohman dan Jumasih aja, hehehe. Tidak bisa dipungkiri, Egar memang sangat dekat dengan Deblo. Mereka bisa menghabiskan waktu berduaan saja. Egar memang selalu mengatakan ingin punya adik. Si Deblo pun jangan ditanya lagi. Siapapun yang sanggup membelikannya berbagai merek ice cream, akan dijadikan dewa dan panutan olehnya. Anggap saja mereka memang ditakdirkan untuk simbiosis mutualisme. Tak salah dugaanku. Pulang sekolah Deblo langsung menyambutku dengan banyak cerita tentang Egar yang akan mengajaknya main ke mall dan ke kolam renang. "Siapa aja yang diajak, Aa diajak gak?" tanyaku sambil menggendong dan mencium rambutnya yang bau matahari. "Mama sama Gayatri ikut, Teteh mah gak mau, gak bisa renang," balasnya sambil mencium pipiku. "Emang Deblo bisa renang?" tanyaku sambil mencubit pipinya yang merah, tampaknya dia baru selesai mengikuti lomba lari keliling kampung bersama anak-anak lainnya. "Kan mau diajarin sama A Egar, Gayatri juga mau diajarin. Aa mau ikut?" "Aa mau kemping ke hutan, cari burung sama bunga. Dede mau bunga apa mau burung?" "Dede mah mau sepeda, kaya De Ingga." "Gak nyambung ah, muuuah dasar! Sayang udah emam belum?" "Udah, tapi mau emam lagi disuapin Aa." Tanpa berganti pakaian, aku langsung ke dapur dengan tetap menggendong si manja dan super keras kepala. Teteh sedang menyeterika pakaian, sementara Bapak sudah pasti sedang ngobrol dengan Mang Jumasih di kebunnya. Bapak sering menghabiskan sorenya di sana. "Ma, Ajiz suka ke sini gak?" tanyaku pada Mama yang sedang mencuci perabotan. "Tiap pulang sekolah juga ke sini. Makan doang terus pergi lagi." Sudah cukup keterangan dari Mama. Ajiz ternyata tidak benar-benar pergi ke Hongkong, syukurlah. Sebenarnya aku ingin bertanya, apakah dia ngasih uang sama Mama atau tidak. Setahuku, jika sedang punya rizki, dia selalu berbagi dengan Mama, Deblo atau kadang si Teteh. Daripada menimbulkan pertanyaan lain, terpaksa aku telan sendiri rasa penasaran ini. Lebih baik nanti selesai Asyar ke rumahnya, ngobrol sama Mamanya langsung. Bu Memel tidak pernah bisa menahan mulut untuk menceritakan apapun yang terjadi dengan anak kesayangannya. Selesai Asyar aku kembali menggendong Deblo ngajak main ke rumah Ajiz. Betapa terkejutnya saat baru saja masuk, Bu Memel langsung menyodoriku gudeg nangka dan tempe mendoan. Sayangnya aku dan deblo baru saja selesai makan. "Tumben Ma, masak ginian?" tanyaku heran sambil mencicipi gudegnya yang memang bener-bener enak. "Rencananya Mama mau jualan masakan A, kebetulan Ajiz kemarin nyuruh nambahin dagangan, katanya dia mau kasih modal, kan Ajiz dikontrak sama tim sepak bola mana gitu, buat pertandingan Camat Cup," lanjut Bu Memel dengan wajah yang berseri-seri. "Hmm, cocok Ma, ni gudeg bakalan viral, masakan Mama pasti selalu juara, hehehe," timpalku kemudian. Sudah cukup penjelasan singkat dari Bu Memel tentang uang yang sekarang dimiliki Ajiz. Rupanya dia akan pergunakan untuk memodali Mamanya. Tapi halalkah uang itu ? I don't know. Setidaknya itu lebih baik daripada dihabiskan untuk sekedar hura-hura. Setelah puas ngobrol ke barat ke timur, aku pun berpamitan dan ternyata Gayatri pun sudah tak sabar ingin segera jalan-jalan dengan Egar. Genap sudah 5 hari aku sama sekali tak melihat batang hidung Ajiz, apalagi batang yang lainnya. Dia selalu datang ke rumah di saat aku sedang tidak ada. Hari ini seluruh pengurus OSIS lama dan baru yang berjumlah 74 orang akan melaksanakan perjusami di Bumi Perkemahan Gunung Bunder, Bogor. Aku, Andi Apoch, Rully, Selvy, Yudi dan Ahmad sudah berada di lokasi sejak pagi, guna mengurusi segala keperluan peserta termasuk membawa akomodasi yang dibutuhkan selama kegiatan. Begitulah seksi sibuk, untungnya ada seorang Tionghoa yang sangat menyenangkan, penuh semangat, slebor dan super berbaur dengan pribumi se-Nusantara Raya. Semua tugas kami kerjakan dengan riang gembira, penuh canda tawa. Walau keringat sudah membasahi tubuh kami. Seluruh peserta disarankan memakai pakaian bebas, karena seragam sekolah akan dipakai besok saat upacara pelantikan. Gangguan akan selalu ada. Gangguan buatku datang sudah pasti dari Selvy. Kakak kelas yang super m***m itu maksa ikut berangkat bareng kami. Aku sudah menduganya tujuan dia memang menggangguku. Untung saja ada Rully, siswi sekelasku yang harus berangkat duluan karena dia koordinator bidang konsumsi. Rully dan Selvy selalu bolak-balik ke warung melayani segala keperluan kami sekaligus melengkapi persiapan bahan makanan dan lain-lain untuk semua peserta nanti. Selvy yang sebenarnya tidak akrab dengan Rully jadi ikut sibuk dan akrab. Setiap mereka kembali dari warung, aku mendengar ocehan keduanya yang sangat menggelitik, hingga akhirnya terpaksa aku mengajak Selvy bicara empat mata. Aku sangat penasaran seperti apa makhluk super ganteng yang mereka perbincangkan dan katanya gak ada apa-apa dibanding diriku. Pelecehan! "Ganteng kan? Hendra Irawan yang katanya Cogan, lewat! Gagah, jantan dan uuuh, senyumnya itu loh Ndra, ada manis-manisnya gimana gitu. Tapi sayang nyokapnya gak mau jauh," oceh Selvy seraya menunjukan beberapa foto yang aku yakin dia mengambilnya secara nyolong. Beberapa saat aku tertegun memandang layar hape Selvy yang memperlihatkan seorang pemuda yang katanya pemilik warung, sedang duduk manis dekat seorang wanita yang katanya juga ibunya si pemuda. Mataku tak lepas dari memandangi foto itu. Beberapa kali pula aku memandangi wajah Selvy yang sok mesem-mesem kegenitan. "Lu kenal, Ndra?" tanya Selvy kemudian. Tampaknya dia heran melihat perubahan raut wajahku yang tiba-tiba tegang. "Lu, kenalan gak, siapa namanya?" Aku balik bertanya dengan mata yang tetap tertuju pada layar hapenya. "Kenalan dong ah, masa cogan segila itu dianggurin. Namanya Purnama, kalau nyokapnya dipanggil Bu Haji aja," jawab Selvy sumringah. "Purnama?" seruku tertahan. Gak salah ini 'Ajiz Purnama Sidiq' lanjutku dalam hati. Selvy mengangguk bangga. "Nama dan orangnya sesuai banget ya, wajahnya ganteng bak bulan purnama, hehehe. Lu serius kenal dia Ndra? mau dong kenal sama Purnama." Selvy kembali memastikan. "Dia bener pemiliki warungnya?" tanyaku lagi. "Ih kepo amat sih. Emang lu kenal mereka gak? Gue gak tahu siapa pemilik warungnya, yang pasti saat belanja gue dilayani sama si ganteng itu atau Bu Haji." Selvy mengernyitkan dahi, tampaknya dia semakin heran melihat ekspresi wajahku. Pikiranku langsung melayang kemana-mana dengan segudang pertanyaan yang tak mungkin dijawab Selvy. Sedang apa Ajiz dan Bu Haji Anna berada di warung itu? Apakah mereka benar-benar membuka warung di sini? Ada apa Ajiz dengan Bu Haji? Apakah setelah pengintaian itu mereka mengadakan perjanjian lain? Berarti selama ini Bu Haji bukan ke Tasikmalaya ikut Pak Ganjar, tapi ada di sekitar sini bersama Ajiz! Pantas saja cowok baper itu gak pernah nginep di rumahku. Berarti.... "Sel, lu bisa bantu gua, buat ke warung itu, ini wajib diselidiki. Mereka ini buronan!" ucapku asal jeplak dengan nada yang sangat serius. "Hah! Yang bener lu? Lu serius Ndra?" Selvy terperanjat. "Hehe, buronan gua sih. Dia teman gua yang kabur dari rumahnya. Gua mesti nyelidiki tapi mereka gak boleh tahu. kita harus nyamar!" "Siap, buat Hendra apa sih yang enggak. tapi tahu kan syaratnya, hehehe?" Selvy mesem-mesem gak jelas. Untuk beberapa saat aku membelalakkan mata memelototinya. Sudah lama Selvy secara terang-terangan mengatakan ingin memegang si ganteng bengkok. Walau terkadang dia bisikkan dalam canda, namun menurutnya jangan dianggap bercanda. "Oke, tapi sebentar and cuma pegang doang di balik celana kan?" Aku bicara kepalang tanggung. Gak masalah si ganteng bengkok sedikit ternoda, yang penting aku bisa mendapat kejelasan Ajiz dan Bu Haji yang menurutku sangat membingungkan. Aku berdiri dari jongkok dan Selvy pun mengikutinya. Tangannya langsung terjulur ke arah selangkanganku dan dengan sangat lembut dia memegang dan mengelus-elus si ganteng bengkok yang anehnya ikut-ikutan berdiri juga. Untung saja kami berdiskusi di balik pohon besar. Tak ada yang akan melihat tangan Selvy yang makin nakal mengelus-elus selangkanganku di balik celana jeans yang makin menggelembung. Aku pun berdiskusi dengan sedikit mendesah. Drama penyamaran pun selesai kami bahas. Tanganku segera menyingkirkan tangan Selvy yang mulai maksa mau membuka retsletingnya. "Hmmm kepalang udah ngeceng, keluarin dulu dong Ndra, dikit aja!" desah Selvy maksa. "No way!" sergahku sambil merapikan posisi si bengkok ke kiri yang justru menyamping ke kanan. Dengan memakai masker, kaca mata hitam dan topi rimba pinjaman dari Andi, aku berjalan gagah mendampingi Selvy menuju warung yang katanya berjarak tidak lebih dari 200 meter dari buper. Selvy menunjuk sebuah rumah sederhana yang sudah tua. Usianya tergambar dari genting dan dinding bilik bambunya yang terlihat usang. Rumah berukuran kira-kira 5 x 5 meter itu sepertinya memang diperuntukkan untuk warung, hanya ditambah dapur atau minimal sebuah kamar untuk beristirahat. Sesuai skenario, aku menjadi orang bisu, dan Selvy tidak boleh memanggil namaku. Saat aku masuk ke warung dan duduk di depan meja yang biasa dipakai untuk makan mie rebus, aku benar-benar dikejutkan dengan pemandangan yang berbeda dengan foto Selvy tadi. Tidak ada Ajiz di warung ini, yang ada justru Bu Haji Anna dengan Sandi. Jadi Sandi tidak pulang kampung? b******k! Di balik kaca mata hitam, masker dan topi rimba yang nyaris menutupi seluruh wajah, aku menatap Selvy dengan menghujamkan tanda tanya. "Eh Bu Haji anaknya yang ganteng kemana?" Selvy tampaknya mengerti tatapanku yang menusuk jantungnya. "Baru aja pulang, capek kali dia baru pulang sekolah. Biasanya nanti sore ke sini lagi, kalau gak ujan, kenapa Neng?" jawab Bu Haji Anna bangga. Dia benar-benar tak menyadari jika lelaki yang duduk si samping Selvy adalah tetangganya yang juga pernah mengintipnya di saung sawah. "Kalau ini siapa? boleh juga Bu Haji. Masih anaknya juga atau..." Selvy menunjuk Sandi yang sedang merapikan dagangan. Sepertinya Sandi baru pulang belanja. Beberapa belanjaan yang masih terbungkus kantong semen tampak berjejer di lantai, antri menunggu dibuka dan dirapikan. "Hehehe, anak ketemu gede, Neng!" jawab Bu Haji malu-malu. Sandi pun membalikan badan dan menatap Selvy sambil tersenyum. "Oh suaminya Bu Haji, ya?" Selvy bertanya antusias, sepertinya dia sendiri baru melihat Sandi dan tak percaya jika itu suaminya Bu Haji. Jadi anak atau cucu malah lebih pantas. "Insya Allah, hehehehe" jawab Bu Haji seenak perutnya dan benar-benar tak tahu malu. "Aduuh, hebat ya Bu Haji masih bisa mendapatkan cowok sehebat ini. Muda, ganteng, gagah lagi, uuuh pastinya Bu Haji senang ya punya suami seperti ini, hehehehe," goda Selvy. Bu Haji dan Sandi hanya tersenyum malu-malu sambil bertatapan. Pancaran sinar mata dari keduanya tampak sekali senang dan bahagia. Gila! Ingin rasanya aku membuka masker dan seluruh penutup wajah, lalu memaki-maki si Sandi yang beberapa malam lalu sempat menangis di depanku. Mengaku menyesal telah mengkhianati Pak Ganjar majikannya. Dia katanya akan kembali ke kampungnya dan mengurusi Anisa serta bayinya yang sebentar lagi akan lahiran. Sandi dan Anisa memang belum menikah. Selvy memesan mie rebus, kopi dan dua bungkus rokok untuk dibawa ke tenda. Sambil menunggu Bu Haji yang membuatkan kopi dan mie rebus, mulut Selvy tak berhenti menanyakan banyak hal yang telah aku atur tadi. Namun sayang, dia banyak bertanya tentang Ajiz, karena memang aku tidak mempersiapkan pertanyaan tentang hubungan Bu Haji dengan Sandi. Namun demikian, dari obrolan santai antara Selvy dengan Bu Haji, bisa ditangkap sejumlah kebohongan super besar yang keluar dari mulut wanita berpakaian syar'i itu dan dibenarkan oleh Sandi, sang pengkhianat yang pecundang! Fakta kebohongan Bu Haji, mengaku jika Ajiz anak bungsu Bu Haji dari suaminya terdahulu. Dia sekolah di salah satu SMA Favorit, dan baru kelas dua. Ajiz tinggal di rumah utama, namun hampir setiap hari datang ke warung, terkadang sampai menginap. Kebohongan lainnya, Bu Haji dan Sandi sudah menikah tiga bulan yang lalu. Sebelumnya Bu Haji menjanda selama sepuluh tahun sejak suaminya meninggal. Sebelum tinggal di sini, mereka berdagang di tempat wisata lain. Ajiz suka menginap di sini? Tidur dimana? Apalah mereka tidur bertiga? Aku perhatikan rumah ini hanyalah sebuah warung yang ditambah dapur dan kamar mandi berukuran kecil serta sebuah kamar tidur yang bahkan pintunya pun hanya memakai kain gorden. Sungguh terkutuk mereka yang telah melakukan pembohongan publik. Pak Ganjar yang masih sehat dan segar bugar bahkan mereka sebut sudah meninggal. Dimana sisa keimanan dan nurani Bu Haji sebagai seorang wanita, istri, ibu dan nenek? Mengapa aparat setempat percaya saja dengan mereka? Apakah para penegak hukum lingkungan itu sudah disogok rupiah yang cukup besar hingga tidak peduli lagi dengan kelengkapan surat-surat pendatang baru? Pemirsah, fenomena apa yang sesungguhnya terjadi? Apa perjanjian yang disepakati antara Bu Haji, Sandi dan Ajiz? Ternyata kasus Bu Haji, Sandi dan Ajiz, bukanlah kejutan yang luar biasa. Masih ada kejutan sangat edun yang kutemui nanti malam. Kejadian yang sangat tidak masuk akal dan sepertinya akal memang tak akan sanggup menerimanya. ^^^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN