Beberapa hari setelah kejadian yang memalukan itu, aku bertemu dengan Egar dalam suasana yang sangat canggung, dingin dan kaku.
Entah dia yang merasa malu atau memang hatiku yang mulai kehilangan simpati padanya.
Tak ada tegur sapa keakraban antara aku dan dia. Hanya sekedar basa-basi yang sangat dingin. Egar masuk ke kelas tepat saat bel masuk berbunyi dan akan segera keluar ketika bel istirahat atau jam sekolah berakhir.
Aku pun tidak pernah ke kantin. Egar pernah beberapa kali mengajak, namun itu benar-benar hanya basa-basi yang sangat basi.
'Ada baiknya bila tidak lagi bersama, terasa jauh diriku ini dengan dosa. Aku tinggalkan walau tanpa kerelaan, yang nyata kau tidak berubah.' Begitu kira-kita syair lagu Mencari Alasan yang pernah dipopulerkan Rhoma Irama bersama Sonetanya beberapa dekade yang lalu.
Lirik yang benar-benar mewakili suasana kebatinanku.
Sudah hampir dua minggu aku dan Egar bersikap dingin dan datar. Berpaling muka bila saling bertatap mata, seolah kami tidak pernah bersama. Namun sudah dua minggu itu pula otak suciku terasa lebih ringan dan normal.
Tinggal menjalani detoknasi untuk mengeluarkan segala racun cerita dan kata-kata c***l yang sudah hampir setahun mencekoki otakku.
Persahabatanku dengan Egar benar-benar retak. Sesungguhnya tidak terlalu berpengaruh bagiku. Sejak dulu aku bukan tipe orang yang suka jajan di sekolah. Biasanya jika ada uang sisa ongkos, selalu diberikan pada si Deblo.
Di sekolah tanpa Egar sama sekali tidak membuatku kebingungan karena aktif dalam kepengurusan OSIS.
Tak ada masalah dengan kesibukan dan interaksi antar siswa.
Istirahat yang bisanya dihabiskan di kantin kini bisa aku isi dengan berdiskusi antar sesama pengurus di sekretariat OSIS.
Justru Egar yang tampaknya mulai terkena dampak. Selain PR dan tugas belajar lainnya mulai keteteran, dia juga mulai terlambat datang ke sekolah.
Bahkan pernah beberapa kali tidak masuk kelas dengan alasan yang tidak jelas.
Apa yang kulakukan bukan untuk menghukumnya tapi khawatir otak dan mentalku akan makin rusak jika setiap saat dicekoki segala bentuk kemesuman.
Saat berinteraksi dengan siswa lain, aku manfaatkan juga iseng-iseng mengumpulkan info kebenaran cerita Egar tentang hubungan Faqih dengan Mamanya.
Walau tidak ada yang menjamin kebenarannya, ternyata beberapa pengurus OSIS ada yang pernah melihat Faqih dan Bu Sonny jalan-jalan di mall dan tempat lainnya.
Renald, malah pernah melihat mereka berada di lobby sebuah hotel.
"Lu percaya ucapan si Renald?" tanyaku pada Wiryawan, salah seorang pengurus OSIS dari kelas yang berbeda.
"Sangat percaya. Si Renald sendiri kan salah satu brondong mainan tante-tante, hahahaha." Wiryawan tertawa geli, entah apa yang ada dalam pikirannya.
"Anjiiir! Serius Wir?" Aku semakin terbelalak.
Renald tidak seganteng Faqih, malah dibanding Wiryawan yang berkaca mata tebal sekalipun.
"Mau tidak mau kita harus akui, di balik segala manfaat medsos banyak pula mudaratnya. Tante girang pemangsa brondong lebih mudah menemukan mangsanya. Para brondong pemuja kenikmatan dan kenyamanan hidup pun dengan mudah menemukan induk semangnya di media yang sebegitu terbukanya. Cukup bermodalkan akun fake semuanya bisa terjadi tanpa dicurigai orang sekitar," terang Wiryawan.
"Yang tante-tante cari itu apa? Bukan hanya wajah ganteng ya?" Aku makin kepo.
"Keperkasaan demi kepuasan. Jangan salah, Hen. Zaman sekarang banyak lelaki yang berpenampilan gagah, wajah tampan, body macho bak binaragawan, tapi hatinya pink. Para tante penggila kejantan pasti gak mau tertipu dengan model begituan. Makanya mereka lebih memilih tipe-tipe kek Renald gitu. Badboy yang berpenampilan bersih, macho. Walau dia tidak seganteng lu, tapi aura kejantanannya sangat nyata." Wiryawan benar-benar sudah pantas menjadi pengamat bidang permesuman online.
Wiryawan salah seorang pengurus OSIS yang membidangi Informatika dan Kreatifitas Digital, termasuk mengurusi majalah dinding, digital dan sejenisnya. Tentu saja dia banyak menguasai hal-hal yang berkaitan dengan dunia digital dan medsos.
Dia juga sudah masuk dalam jajaran blogger muda yang berpenghasilan lumayan. Wajar, dia seorang kutu buku yang sangat akut. Buku setebal lemari pun akan dengan cepat dilahapnya.
Jika ngobrol dengan Wiryawan, aku kadang kepikiran untuk mencoba dunia blog. Namun sayang, saat ini memiliki laptop hanyalah sebatas angan belaka bagiku. Padahal menurut dia aku sudah memiliki modal dasar yang bagus.
Pernah dua kali juara menulis puisi dalam acara Peringatan Maulid Nabi dan Hari Pahlawan. Pernah jadi juara harapan dalam lomba karya tulis cerpen remaja antar SMA se-kabupaten.
Tinggal diasah dengan keberanian mencoba dan memperbanyak jam terbang.
"Hen, lu lebih dekat dengan si Egar, masa sih sampai gak tahu kelakuan nyokapnya?" Edo yang sejak tadi asik dengan jus alpukatnya, angkat bicara.
Aku hanya mengedikkan bahu sambil menaikan kedua alis. Blank!
"Jangan tertipu dengan tampilan luar. Zaman sekarang banyak juga wanita yang berpakaian syar'i bukan karena Allah. Tapi sekedar modis and trend. Anggap saja nyokap si Egar pun demikian. Berpakaian tertutup hanya trend atau malah sekedar pencitraan politis. Seluruh auratnya terjaga ketat. Siapa yang bisa menjamin hati dan syahwatnya? hehehe." Edo yang tak jelas passionnya dimana, tiba-tiba menjadi pemerhati mode yang nyaris baik.
"Para koruptor dan penjahat lainnya aja, kadang langsung berpeci atau berjilbab setelah tertangkap KPK. Pencitraan banget kan?" tambah Edo.
Luar biasa ngobrol dengan para cendekiawan muda ini. Otakku tidak akan terlalu ngeres jika selalu dicekoki topik pembicaraan yang sangat berbobot dan menarik dibanding dengan pembahasan Bupati dan Sekwilda Belang - Buka paha tinggi dan sekitar wilayah d**a, bemper juga s**********n.
"Hen, pulang sekolah tolong anter si Apoch buat hunting sekalian booking lokasi buat Perjusami bulan depan. Kata si Hasan rumah lu dekat Kaki Gunung Salak, bener kan?" Firman sang Ketua OSIS terpilih, tiba-tiba memotong obrolanku dengan Edo.
"Ready, komandan!" balasku sambil berdiri dan melakukan penghormatan layaknya pada tiang bendera. Dengan tinggi hampir 180 cm, dia menjadi siswa terjangkung di sekolah.
Firman hampir saja menjadi rivalku dalam pemilihan ketua OSIS kemarin. Banyak yang menjagokanku, namun aku tidak bersedia dicalonkan karena pertimbangan rumah yang jauh dari sekolah serta punya kesibukan lain.
Beberapa teman memprediksi, jika kemenangan Firman karena aku tidak ikut kontelasi.
Apoch atau Andi Burnawan, satu-satunya siswa sekolahku yang beragama Konghucu.
Dia keturunan Thinghoa namun kebanyakan teman-temannya beragam Islam.
Andi fasih mengucapkan syahadat bahkan nyaris hapal Surat Al-Fatihah, walau tidak terlalu fasih. Aktif dalam kepengurusan OSIS dan sangat menggemari petualangan alam bebas.
Setelah pulang sekolah aku, Andi, Ade dan Wandi langsung meluncur menuju lokasi yang direncanakan akan jadi tempat kemping acara serah terima kepengurusan OSIS. Andi membonceng Ade, sementara aku dibonceng Wandi.
Sebenarnya aku maupun Andi sudah sangat familiar dengan Bumi Perkemahan yang sangat luas itu, dan bisa dibooking dadakan. Namun Firman ingin memastikan dan membookingnya jauh-jauh hari agar mendapat lokasi yang stategis.
"Hen, udah berapa kali menikmati threesome bareng si Egar?" tanya Wandi tiba-tiba.
"Threesome? Jenis makanan apa, Bro?" tanyaku keheranan.
"Hehehe, ngesek bertiga bareng si Egar dan Bi Titin," jawab Wandi enteng.
Deg! Jantungku serasa berhenti berdetak untuk beberapa jenak. Sungguh ini sebuah pertanyaan yang benar-benar tak pernah terduga.
"Maksudnya?" Aku mengeraskan suara. Walau sudah memasuki kawasan yang relatif sepi, namun knalpot motor Wandi bisa mentulikan telinga orang budek sekalipun.
Wandi tidak menjawab. Namun aku sangat yakin dia meragukan ucapanku. Bisa jadi dia mendugaku berpura-pura polos dan menutup-nutupi apa yang terjadi antara aku, Egar dan Bi Titin.
Sikap diam Wandi makin membuatku penasaran.
Ketika Andi dan Ade menghubungi pengurus bumi perkemahan untuk berkoordinasi, aku mengajak Wandi nongkrong di salah satu warung pinggir jalan.
Sambil menikmati rokok dan secangkir kopi hitam berdua, aku melanjutkan pertanyaan yang tadi belum terjawab sebagai pengobat rasa penasaran.
Selama ini aku fokus pada cerita Bu Sonny dengan segala petualangannya. Tak pernah sekalipun menanyakan tentang Egar pada siapapun.
Setelah bersumpah atas nama Allah, jika aku benar-benar tidak tahu apa maksud threesome yang disampaikan Wandi. Aku juga bersumpah tidak pernah berbuat aneh, kecuali melihat adegan m***m antara Egar dan Bi Titin.
Akhirnya Wandi mau menjelaskan sebuah misteri yang benar-benar membuat jantungku nyaris meloncat kabur dari dalam d**a.
Egar memiliki orientasi seks yang sangat kompleks. Selain hobi bersetubuh dengan wanita yang sudah bersuami, dia juga sangat suka menyaksikan secara langsung orang lain bersetubuh.
Yang lebih mengerikan lagi, Egar juga tidak keberatan ikut main bersama, bahkan dia mau mengisap b***************n Wandi yang sudah dipakai menusuk kewanitaan Bi Titin.
"Si Egar jeruk makan jeruk?" tanyaku dengan suara yang bergetar.
"Sepertinya begitu, tapi tidak specialis mengisap pisang berurat, mungkin fantasinya aja begitu, gua sendiri gak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Kalau lagi ngegenjot Bi Tititn, brutal dan jantan banget. Tapi masalah dia juga suka ngisep kejantanan, itu yang gua gak ngerti, hehehe." Wandi memberi penjelasan yang ngambang.
Wandi melanjutkan ceritanya. Dia pernah mengajak teman dari kampungnya untuk bersama-sama menggenjot Bi Tititn. Egar sibuk mengisapi kejantanan Wandi dan kejantanan temannya itu setelah selesai menggenjot Bi Tititn. Egar mengoral batang-batang jantan itu sambil menggenjot Bi Titin.
Sungguh perbuatan yang sangat tidak masuk akal. Binatang pun tidak pernah bersikap demikian.
Speechless dan tak tahu lagi harus bicara apa. Bukan hanya tak masuk akal tapi sangat menjijikkan.
"Kok elu mau sih? Apakah lu juga jeruk makan kedongdong, Wan?" tanyaku heran.
"Hehehe, gua normal Sob. Mau gimana lagi, lumayan dapat duit sejuta. Itu sama dengan gua nambung setahun full kalau pengen punya duit sebanyak itu. Lagian yang ada di otak gua kan tubuh seksi pembokatnya, bukan dioral sama si Egar, hehehe."
"Anjiiir!"
"Gua kira lu udah biasa main gituan sama mereka, hehehe." Wandi menepuk pundakku sambil terkekeh.
"Hahaha, kayanya gua masih waras, Bro!" sangkalku.
Yang tak habis pikir lagi, mengapa Egar memilih Wandi sebagai partnernya dan berani membayar semahal itu. Masih banyak siswa yang penampilan wajah serta postur tubuhnya yang jauh lebih menarik. Wandi sama sekali tidak termasuk dalam jajaran siswa yang istimewa. Dia tidak banyak dikenal karena terlalu biasa-biasa.
Sejak kapan Egar dekat dengan Wandi. Selama aku mengenalnya, belum pernah melihat mereka ngobrol atau bahkan sekedar say hallo saat bertemu di sekolah.
Aku menduga Egar tidak mengenal Wandi, secara sang Cucu Sultan sangat membatasi pergaulannya di sekolah.
"Bisa jadi, bukan cuma gua sama teman gua yang pernah diajak ke rumah si Egar. Gua yakin si Arul atau si Burhan, malah sudah lebih dulu. Waktu kelas satu mereka kan akrab juga sama si Egar." Wandi menambahkan praduganya.
Sudahlah! Aku tak mau peduli dengan apapun pertimbangan Egar memilih Wandi atau siapapun yang jadi partner gilanya itu. Yang pasti tekadku semakin kuat untuk tidak kembali masuk dalam kehidupan Egar secara mendalam.
Cukup kenal saja namun tidak akrab. Tak peduli kehilangan semua fasilitasnya. Lebih baik aku habiskan waktu untuk belajar atau menjalin kembali kebersamaan dengan Soesono yang nyaris terbengkalai.
Walau enam personelnya sangat ajaib tapi masih memiliki tingkat kewarasan yang masuk akal dibandingkan keganjilan seorang Egar.
"Ndra, sumpah gua nyesel dengan segala yang terjadi antara itu. Gua bener-bener gak nyaman dengan keadaan kita sekarang." Setelah hampir satu bulan, Egar membuka kembali kran komunikasinya. Namun entah mengapa hatiku sudah benar-benar tertutup.
Ada Tiga alasan kuat yang membuatku hilang simpati pada sahabat tajir nan royal ini. Pertama, harga diriku telah direndahkan dan dilecehkan karena hampir saja diperkosa oleh Bi Titin yang c***l dan binal atas perintahnya.
Kedua, Kebaikan Egar selama ini pada siapapun rupanya tidak sepenuhnya tulus. Apa yang pernah dia berikan mengandung unsur jebakan dan tipuan untuk tujuan lain. Ada panu di balik ketiak.
Ketiga, Aku benar-benar tak mengerti sekaligus tak mungkin menerima perilaku seks Egar yang sangat tidak bermoral dan di luar norma kewajaran manusia berotak waras.
Ditilik dari sisi budaya dan hukum manapun yang ada di Indonesia, itu sudah sangat melampui batas.
'Jangan pernah berteman dengan seorang penjual minyak wangi, jika kamu tidak ingin kecipratan harumnya. Jangan pernah membuat cerita di w*****d jika belum siap menghadapi emak-emak yang bawelnya sudah pada level karet tujuh.' Pesan Bapak beberapa tahun yang lalu.
Yes, aku harus terus melanjutkan hidup seperti yang seharusnya.
Benarkah bisa demikian, sedangkan godaan semakin lama semakin menggiurkan. Ada kisah mendebarkan saat kemping bersama teman-teman sekolahku. tunggu saja...
^^^