Pentolan Soeseno di posisi kedua tentu saja Ajiz Purnama Sidiq. Di belakangnya kami selalu memanggilnya si Baper. Dia satu-satunya lelaki paling baper sedunia, setidaknya itu yang aku ketahui. Hal sekecil apapun bisa jadi bumerang dan pemicu bahan keributan jika dirasa menyinggung perasaannya.
Ajiz pelajar salah satu STM swasta yang muridnya hanya sedikit dengan tingkat kenakalan sangat terkenal kemana-mana. Banyak orang mengatakan jika STM tempat Ajiz belajar sebagai sekolah buangan. Mungkin karena kebanyakan muridnya berasal dari siswa-siswa yang sudah tidak diterima di sekolah manapun.
Bukan karena Ajiz terlalu bodah hingga dia memutuskan sekolah yang lebih sering terdengar taurannya dibanding prestasi murid-muridnya. Tapi hanya itu sekolah STM yang lokasinya paling dekat dengan tempat tinggalnya.
Jika dia mendaftar ke STM Negeri, aku yakin bakal diterima, namun sayang lokasinya terlalu jauh, dua kali naik angkot tentu saja berat diongkos.
Ajiz putra sulung pasangan Bapak Rudiantara dengan Ibu Memel. Pak Rudi sudah meninggal dunia lima tahun yang lalu dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Pada masa hidupnya, Pak Rudi merupakan guru olah raga di SMP tempat kami belajar. Saat ini Ajiz tinggal dengan Mama dan adik perempuannya seusia Deblo. Bu Memel masih menjanda dan hidup mengandalkan dari gaji pensiun meninggal dunia suaminya ditambah dagang kecil-kecilan depan rumah. Pak Rudi maupun Bu Memel asli kelahiran Sumedang.
Diantara semua anggota Soeseno, hanya Ajiz yang mampu mengalahkan kecoganan semua anggota Soeseno, termasuk aku dan Enda.
Namun urusan pesona dan daya tarik, aku masih berada dalam posisi tak terkalahkan.
Ajiz relatif tidak disukai banyak orang, terutama para cewek karena kepribadiannya yang super sensi, mudah marah, tertutup dan mulutnya sedikit pedas nan nyinyir.
Ajiz yang relatif jarang bicara, bahkan berani menegur dengan keras dan pedas pada cewek-cewek yang dia anggap tingkahnya norak, berlebihan dan menjengkelkan. Entah apa yang ada dalam pikiran si ganteng dan gagah itu. Banyak sekali hal di dunia ini yang salah di matanya dan tidak sesuai dengan pemikirannya.
Sejatinya semua anggota Soeseno pun tidak terlalu suka dengannya. Namun karena Ajiz sahabat terdekatku bahkan dialah yang mengusulkan nama Soeseno saat pendirinya, maka mau tidak mau semua menerima kehadiran Ajiz dalam geng. Nyaris setiap hari Ajiz bersitegang dengan Enda salah satu member andalanku. Bahkan mereka pernah saling adu jotos gara-gara hal yang sangat sepele.
Tingkat sensitif perasaan Ajiz jauh mengalahkan kesenewenan nenek-nenek bau tanah yang sedang dilanda birahi dan menstruasi. Hanya bapak yang mampu membuat seorang Ajiz menunduk dan meneteskan air mata saat sedang dinasehati. Tak heran, jika dia lebih mirip anak sulung Bapakku.
Hubungan keluarga kami pun sangat baik dan dekat. Walau rumah kami cukup berjauhan namun Deblo dengan Gayatri sangat akrab karena Mama dan Bu Memel pun cukup dekat.
Hampir semua masalah yang diakibatkan kenakalan Ajiz di sekolah, dihandle langsung oleh Bapak. Bu Memel telah menyerahkan segalanya karena dia sendiri sudah kewalahan. Termasuk ongkos sekolah pun kadang merogoh dari kantong Bapak yang mengaku paling memahami kejiwaan Ajiz.
Aku terkadang ingin guling-guling saking iri dan keselnya diperlakukan seperti anak tiri oleh Bapakku sendiri.
Saat ayahnya masih hidup, Ajiz sangat dimanjakan. Dia anak leki-laki yang paling didamba-dambakan oleh Pak Rudi. Apapun yang diinginkan Ajiz pasti akan turutinya.
Setelah ayahnya tiada, kehidupan Ajiz berbalik 179 derajat menjadi lebih buruk dan serba kekurangan.
Mungkin itu salah satu sebab yang membuat pribadi Ajiz sedikit berbeda dengan remaja pria lainnya.
Ajiz bebas untuk numpang tidur, makan dan sebagainya di rumahku. Dia benar-benar sudah dianggap bagian dari anggota keluargaku sendiri.
Aku pun memiliki kebebasan yang sama di rumahnya. Bu Memel sudah menganggapku sebagai anaknya sendiri.
Gayatri bahkan tak malu-malu meminta uang padaku jika ingin jajan, begitupun si Deblo sering memalak Ajiz walau lebih sering dapat zonk!
Dengan wajah mirip salah seorang selebriti Tanah Air serta postur tubuh yang tinggi tegap proporsional, semestinya Ajiz menjadi rebutan banyak cewek.
Namun cowok berbintang Leo yang mahir dalam banyak cabang olah raga dan bela diri itu, sama sekali belum pernah berpacaran dengan manusia dari spesies apapun.
Kalah jauh oleh Herman si playboy Cap Bawang Merah.
Satu-satunya hal yang benar-benar bisa menyatukan aku dan Ajiz secara utuh ialah mancing belut, atau kami biasa menyebutnya 'ngurek'.
Hobi yang sebenarnya sudah sangat aku sukai sejak masih kecil. Hampir semua laki-laki di kampung nenekku sangat menyukai ngurek.
Rasa daging belut sawah yang gurih alami, menjadi menu favorit semua warga kampung. Apalagi Nenek sangat pandai mengolahnya, walau hanya dibakar di tungku namun rasanya masih tersisa di lidah hingga kini.
Jika pulang kampung, hal yang tak mungkin aku lewatkan adalah ngurek.
Ajiz yang pada awalnya tidak kenal dengan dunia sawah, menjadi sangat keranjingan dengan ngurek. Kecintaannya pada belut dan ngurek mengalahkan aku sebagai gurunya.
Hampir setiap sore, dia mengajak ngurek tak perduli cuaca panas, mendung bahkan hujan besar sekalipun.
Sore ini kira-kira jam setengah empat, aku dan Ajiz sudah cukup jauh menyusuri puluhan pematang sawah. Sudah cukup lama juga kami nungging di pematang sawah sambil memasukkan kail dan umpan ke dalam lobang yang diyakini singgasananya Tuan Belut.
Aku hanya memakai celana jeans belel lusuh selutut, sementara Ajiz hanya mengenakan kolor sepak bola. d**a kami dibiarkan terbuka menantang angin dan matahari.
Hasil yang didapat pun melebihi hari-hari yang lalu.
Memang sekarang sedang musim pengolahan sawah pasca panen. Hamparan sawah yang membentang sepanjang mata memandang, tampak seperti lautan lumpur yang terpetak-petak siap untuk ditanami kembali.
Keasyikan ngurek aku dan Ajiz harus terhenti seketika manakala tiba-tiba hujan turun dengan intensitas yang cukup tinggi.
Tak ada gerimis mengundang, padahal kusangkakan panas berpanjangan.
Dalam keadaan tubuh dan celana yang mendadak basah kuyup, kami berlari tunggang langgang mencari tempat berteduh. Tujuan utama, saung sawah Pak Ganjar yang cukup luas dan nyaman.
Pelarian kami menuju saung sawah, harus sedikit tertahan karena melewati kebun jagung yang cukup rapat dan tinggi-tinggi. Kepalang tanggung kami pun berjalan santai sambil menenteng belut hasil pancingan masing-masing.
Hujan semakin deras, namun untungnya tidak disertai angin besar dan halilintar.
Pada jarak kurang lebih tiga meteran dari saung sawah, aku dan Ajiz menahan langkah. Beberapa saat tertegun lalu refleks sama-sama berjongkok tanpa komando.
Kami berjongkok dengan mata sama-sama tertuju pada saung sawah yang berhadapan langsung dengan kebun jagung dan bagian itu tidak ada bilik penghalangnya.
Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Ajiz. Yang jelas mata kami sama-sama terbelalak menangkap sosok seorang ibu yang memakai kaos lengan panjang, rok panjang dan kerudung besar, berusia kira-kira 45-50 tahunan sedang duduk manja dalam pangkuan dan pelukan seorang pemuda yang hanya memakai celana pendek selutut.
Di bawah guyuran hujan yang makin deras, aku dan Ajiz saling bertatapan beberapa saat, sambil menahan napas juga omongan. Beberapa kali pula kami membasuh wajah dengan tangan masing-masing menyingkirkan air hujan yang menghalangi pandangan.
Aku yakin apa yang ada dalam hati Ajiz tak jauh beda dengan yang ada di hatiku, bertanya 'Ada apa dengan Bu Ganjar dan Sandi?'
Aku, Ajiz dan semua warga Legok Asih kenal dan sangat tidak asing lagi dengan Bu Anna atau biasa dipanggil Bu Ganjar.
Wanita yang sudah memiliki beberapa anak dan cucu itu istrinya Pak Ganjar. Seorang pensiunan ABRI yang terkenal punya hektaran sawah dan kebun.
Aku tidak tahu kapan keduanya menunaikan ibadah haji, yang pasti banyak diantara tetangga yang memanggil mereka Bapak atau Ibu Haji.
Sandi, salah seorang pegawai Pak Ganjar yang khusus mengurus kebun atau sawahnya. Aku tidak tahu aslinya dari mana, walau jelas dia orang Sunda karena bicaranya sunda.
Aku sangat kenal lelaki berusia kira-kira 22 tahun itu karena tinggal di rumah Pak Ganjar yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku.
Sesekali Sandi juga suka membeli bubur ayam di rumahku.
Wajah Sandi standar, khas pemuda desa dengan kulit sawo matang yang cenderung gelap. Hidungnya mancung dengan tahi lalat di dagunya. Rambut lurus agak sedikit gondrong.
Kata Mama, Sandi itu mirip dengan Rano Karno muda.
Perawakan Sandi sangat bagus, tidak terlalu gemuk juga tidak kurus. Kekar khas lelaki pekerja berat.
Aku tidak tahu kapan persisnya dia tinggal dan bekerja pada keluarga Pak Ganjar. Mungkin dua atau tiga bulan yang lalu.
Sandi sering ngobrol dengan Bapak. Dia sangat rajin Shalat Maghrib berjamaah juga mengikuti pengajian bapak-bapak dan pemuda setiap malam Kamis.
Mataku kembali fokus memandang saung sawah. Tak peduli dengan wajah Ajiz yang sangat tegang dan makin pucat dalam guyuran hujan. Dia pun terlihat kembali fokus memandangi saung sawah.
Tak satu kalimat pun yang keluar dari mulut kami. Walau sesungguhnya banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk dalam d**a dan kepalaku.
Tampaknya Bu Ganjar dengan Sandi sedang ngobol kecil. Suara hujan yang berisik menimpa dedaunan tidak memungkinkan kami untuk mendengar obrolan mereka.
Namun dari gesture dan bahasa kalbu keduanya tampak sekali mereka sedang sangat bahagia. Laksana sepasang remaja yang baru mengenal cinta. Aku bisa memastikan jika ini bukan kencan pertama mereka.
Sandi sesekali mencium pipi, kepala dan leher Bu Ganjar yang masih terbalut kerudung lebar warna hijau pupus.
Tangan Sandi pun sering meremas-remas p******a Bu Ganjar yang terbungkus kaos ketat lengan panjang warna hijau lumut.
Rok hitam panjang yang dipakai Bu Ganjar sesekali mengembang tertiup angin.
Bu Ganjar menggelinjang pelan saat Sandi melumat mulut dan meremas payudaranya dari belakang. Sesekali tampak keduanya tersenyum dan tertawa cekikikan. Entah apa yang mereka tertawakan. Mungkin juga sedang ngomongin Pak Ganjar yang jauh lebih tua walau postur tubuhnya kekar dan besar.
Sungguh sangat mesra dan romantis pasangan selingkuh beda generasi ini.
Di bawah guyuran hujan yang masih deras dengan angin yang tidak terlalu kencang, aku lihat Ajiz beberapa kali membetulkan posisi rudal di selangakangannya.
Tampaknya dia pun sudah terangsang hebat sama sepertiku.
Sesekali kami saling bertatapan namun tetap tidak mengeluarkan kata-kata.
Andai salah seorang diantara kami ada yang membawa hape, tentu adegan romantis dan super menyejukkan di tengah hujan itu sudah direkam.
Aku yakin akan menjadi super viral jika dimuat di sosial media dengan mension
'Percintaan antara Bu Haji dengan Brondong Tukang Kebunnya, di saung sawah dalam selimut guyuran hujan deras yang syahdu'
"c**i yu Jack!" Tiba-tiba Ajiz berbisik dan aku hanya bisa terbelalak memadang b***************n Ajiz yang super jumbo ternyata sudah keluar dari celana kolornya.
"Bareng?" tanyaku memastikan.
Ajiz menjawab dengan anggukan dan melanjutkan pada bab berikutnya dalam episode Panasnya Saung Sawah