Setelah bersitegang dan sedikit terjadi baku hantam antara aku, Egar juga Bi Titin, akhirnya aku bisa keluar dari rumah j*****m itu. Wajah m***m Bi Titin terpaksa harus menerima tamparan keras tangan kiriku. Sementara Egar harus rela pantatnya terkena tendangan. Muka dia pun tersambar tas sekolah yang kuayunkan membabi buta hingga dia terjerembab.
Sungguh beruntung, mereka menyergapku dalam keadaan setengah bugil, sehingga tak berani mengejar sampai ke luar rumah. Setengah berlari aku keluar dengan menjinjing tas sekolah dan sepatu yang tak sempat kupakai.
Sebagai remaja yang sedang berada dalam masa pubertas, tawaran Egar untuk menikmati tubuh pembantunya tentu sangat menggiurkan. Gairah mudaku sangat meletup-letup. Namun nurani dan logikaku yang sesekali masih terbasuh air wudhu, menolak kemaksiatan yang sebegitu nyata dan terencana.
Mendengar kalimat-kalimat vulgar dari mulut wanita yang pernah kuhormati, sungguh sangat menjijikkan dan seakan menjatuhkan harga diriku sendiri. Wanita yang biasanya memberikan pelayanan terbaik padaku sebagai sahabat karib anak majikannya, menjadi sangat rendah martabatnya. Bahkan jika disandingkan dengan p*****r yang terang-terangan jual diri dan menggadaikan kehormatannya.
Dengan dalih apapun, aku belum bisa menerima perbuatan Egar dengan Bi Titin sebagai sebuah kenyataan yang harus dimaklumi.
Sambil menunggu angkot yang akan aku tumpangi, beberapa saat aku duduk termangu pada tembok pembatas jalan sambil merenungi semua perbincangan yang pernah terjadi antara aku dan Egar beberapa waktu lalu. Mungkin saat awal-awal kami mulai saling terbuka tentang kondisi keluarga masing-masing.
Egar kerap kali mengatakan dirinya contoh nyata dari korban soft broken home. Kehancuran rumah tangga orang tua yang belum benar-benar hancur. Mereka masih tinggal satu atap namun memiliki kehidupannya masing-masing. Secara hukum mereka masih berstatus suami istri. Namun secara batin sudah berpisah.
Bagi Egar bisa merasakan keharmonisan keluarga, merupakan barang mahal. Bisa bersenda gurau bersama kedua orang tuanya nyaris menjadi hal yang mustahil. Uang dan kemewahan yang kini benar-benar menjadi orang tua Egar.
"Bokap gua punya banyak cewek simpanan, Jack. Beberapa kali gua memergoki bokap sedang ngamar di rumah. Mata kepala gua sendiri bahkan pernah melihat bokap bersetubuh dengan salah seorang pengurus partainya di ruang keluarga. Mereka gak tahu kalau gua ada di rumah." Suara Egar sedikit bergetar.
"Kan di rumah ada Bi Titin. Masa sih bokap lu seberani itu?" tanyaku setelah rasa terkejut sedikit berkurang.
"Bi Titin, dikasih duit cepe terus disuruh belanja ke Hongkong atau suruh pulang ke rumahnya, gua yakin jingkrak-jingkrak kegirangan. Dan sudah pasti semua rahasia bokap terjamin keamanannya," jawab Egar tak bertenaga.
Curahan hati Egar tentang papanya, tidak sepenuhnya aku percayai. Sepertinya ada yang salah dengan cerita sahabat tajirku ini. Bisa jadi itu hanya halusinasi pelampiasan kekecewaan hatinya atas ketidak pedulikan papanya pada keadaan keluarganya.
Papa yang merasa sudah cukup sebagai ayah yang baik ketika mampu menghadiahi anak-anaknya dengan kemewahan.
Aku jarang berjumpa dengan Pak Sonny. Namun kesan yang kudapat cukup positif. Pak Sonny sosok pengusaha sukses yang kharismatik dan religius. Pakaian dan tutur katanya sangat agamis. Selain memiliki beberapa perusahaan, beliau juga pengurus penting di salah satu partai politik yang nuansa keagamaannya sangat kental.
Pak Sonny jarang ada di rumah. Segudang aktivitas tidak memungkinkan dia bisa bersantai dengan keluarga sesuka hatinya. Rasanya sangat keterlaluan jika Pak Sonny benar-benar berbuat m***m di rumahnya sendiri. Terlalu gegabah dan sangat berisiko.
Mungkinkah Egar hanya mencari pembenaran atas kelakuan bejatnya sendiri?
"Nyokap lu gak tahu kalau bokap lu punya selingkuhan?" tanyaku iseng.
Jika memang benar Pak Sonny memiliki banyak wanita simpanan, tak mungkin istrinya tidak tahu sama sekali. Walau mereka jarang bersama, namun curiga dan sejenisnya pasti ada. Menurut teori Fahmi, jangankan sudah menjadi suami istri, masih berstatus pacaran pun, jika salah satu selingkuh pasti akan terasa. Naluri orang yang punya pasangan lebih tajam dari siletnya Fenny Mawar.
"Susah gua ngomongnya, Jack," balas Egar seraya menatap kosong langit yang siang itu tampak kelam.
Aku pun terdiam menunggu jawaban selanjutnya. Egar selalu tak bisa dipaksa bercerita jika dia memang tak ingin menceritakannya.
"Sebenarnya gua belum pernah memergokinya. Tapi menurut Bi Titin, saat gua libur di Australi, hampir seminggu nyokap ada di rumah ditemani brondong. Bahkan pernah membawa dua brondong sekaligus. Waktu itu Bi Titin juga diminta libur hampir seminggu." Egar menunduk menatap rumput yang diinjaknya.
Sejujurnya aku lebih percaya cerita tentang Bu Sonny. Secara kasat mata, Mamanya Egar terkesan lebih genit walau selalu memakai pakaian tertutup. Beberapa kali aku memiliki pengalaman yang sedikit mengejutkan.
Pada suatu malam dia pernah mencolek pahaku saat mengajak makan di rumahnya. Awalnya aku menduga itu tidak sengaja. Namun pada lain kesempatan, beliau kembali mengulangi bahkan lebih berani dari sebelumnya. Sengaja menyentuh selangkanganku yang hanya memakai celana renang.
Di halaman belang rumah Egar, terdapat kolam renang yang tidak terlalu luas. Sore itu aku dan Egar berenang seperti hari-hari yang lalu. Lantaran merasa haus, aku mengambil air mineral di lemari es yang ada di dapur. Bi Titin tidak masuk kerja, maka aku pun masuk ke dapur dengan hanya memakai celana renang warna biru menyala yang super ketat. Swimpack yang dibelikan Egar yang khusus aku pakai saat berenang di rumahnya.
Ketika sedang membungkuk mengambil botol minuman di kulkas, aku dikejutkan oleh Bu Sonny berdiri di sampingku. Dia menegurku basa-basi dan dengan sangat sadar aku merasakan jika tangan disentuh pada bagian paling menonjol dari selangkanganku. Hanya sekilas nyaris seperti tidak sengaja, namun sukses membuat pikiranku kacau berantakan.
Aku segera kembali ke kolam renang dengan terburu-buru. Perasaan campur aduk antara kaget, malu dan deg-degan tak karuan. Anehnya Bu Sonny sama sekali tidak meminta maaf atau pun terlihat terkejut. Dia justru tersenyum seraya memandangku yang panik.
Sejak saat itu aku lebih berhati-hati jika sedang berada di rumah Egar yang kebetulan ada Bu Sonny. Sampai saat ini hanya aku dan Tuhan yang tahu cerita memalukan sekaligus mengejutkan itu.
"Bi Titin atau lu, kenal gak sama brondong-brondong itu?" tanyaku mulai penasaran.
"Jangankan Bi Titin, lu aja kenal sama dia. Si Fagih Aceh, kelas 3 IPS?" jawab Egar masih tak bertenaga.
Aku tidak terlalu mengenal Faqih. Namun semua siswa yang pernah shalat Jum'at di mushola sekolah, pasti mengenalnya. Dia termasuk siswa famous yang sering jadi sorotan dan perbincangan banyak siswi. Faqih tidak memilik prestasi yang menonjol selain pernah menjadi Ketua OSIS yang paling ganteng sepanjang sejarah SMA-ku, katanya.
Tak bisa dipungkiri, saat ini Faqih layak diposisikan sebagai siswa paling ganteng di sekolah. Lelaki berdarah Aceh-Arab itu memiliki wajah ganteng dilengkapi sifat kalem dan kharismatik. Postur tubuhnya yang tinggi tegap laksana mahasiswa STPDN menjadi pelengkap pesonanya yang akan melelehkan banyak hati wanita, termasuk Bu Sonny.
"Lu yakin, Faqih?" tanyaku sedikit sangsi.
"Dari hasil rekaman Bi Titin, dia lah yang waktu itu tiap malam menemani tidur nyokap. Tapi sepertinya sekarang udah enggak lagi. Gua pernah minta bantuan ajudan bokap untuk menegur dan mengancamnya. Satpam kompleks pun sudah gua kasih fotonya. Agar melarang jika dia ada keluyuran ke kompleks gua. Gak tahu kalau mereka ketemuan di luar." Egar bicara panjang lebar, namun dengan nada yang masih tetap kurang b*******h.
Sejujurnya aku sedikit percaya jika Bu Sonny punya simpanan brondong. Tetapi jika brondong simpannya Faqih, aku sangat meragukannya.
Fagih dikenal sebagai siswa yang relatif taat beribadah dan aktif dalam kegiatan kerohanian sekolah. Dia juga masih aktif memberikan kuliah tujuh menit, setiap menjelang shalat Jumat. 93,11 % Guru dan siswa tidak akan percaya jika Fagih benar-benar menjadi brondong simpanan tante kesepian.
Hidup memang penuh misteri. Orang-orang yang berpenampilan sangat religius, terpelajar dan selalu mendengung-dengungkan khotbah revolusi mental dan akhlaq, dalam kenyataannya jauh dari yang disebut berakhlak. Sebaliknya mereka yang berpenampilan biasa dan bersahaja, justru lebih ikhlas mengejawantahkan syariat agama dalam segala sendi kehidupannya.
"Gua sering marah dan frustrasi dengan keadaan keluarga gua, Jack. Untung saja ada Bi Titin yang bisa ngertiin gua dan ngajarin gua cara menikmati kesendirian. Gua benar-benar bisa merasakan cinta dan kasih sayang yang seutuhnya dari dia. Walau gua sendiri gak menduga jika ternyata akan berlanjut pada hubungan terlarang."
Aku kembali terdiam, tak tahu harus berkata apa.
"Sekarang lu tahu, mengapa gua begitu betah di rumah lu. Bukan karena bubur ayam buatan nyokap lu enak banget. Bukan pula hanya ramahnya Bapak dan ade-ade lu. Tapi gua sangat menikmati rasa cemburu pada seluruh sisi kehidupan keluarga lu yang sangat sederhana namun bahagia." Egar menatapku yang sedikit bingung. Baru kali ini aku mendengar ada orang kaya yang cemburu pada kehidupan keluarga orang sederhana,
"Gar, lu udah terbiasa hidup bergelimang harta, bahkan sejak lu masih berbentuk s****a. Gua yakin definisi bahagia antara lu dan gua pasti jauh berbeda."
"Bahagia sama aja, Jack. Intinya happy."
"Lu hanya melihat kehidupan keluarga gua, dari sudut seorang anak yang haus kasih sayang orang tua. Lu menduga, kami bahagia hanya karena bisa bercanda ria. Percayalah, jauh di lubuk hati, gua pun sering cemburu dengan kehidupan lu yang mewah, serba mudah dan serba ada," tegasku seraya balas menatap dua bola mata Egar yang sedikit berkaca-kaca.
"Justru itu yang gua rindukan. Bercanda ria dengan seluruh anggota keluarga. Seperti yang sering kalian pertontonkan sama gua, Jack."
"Sob, hidup tak hanya sekedar canda ria. Lu gak pernah tahu bagaimana rasanya lidah kelu tak bisa bicara saat akan meminta uang untuk keperluan sekolah, pada seorang bapak yang sekujur tubuhnya masih bermandikan keringat baru pulang jualan keliling."
"Gua tahu, Jack!"
"Lu gak akan pernah tahu bagaimana terlukanya hati, saat harus berhadapan dengan kenyataan bokap pulang dagang dengan wajah sedikit mendung karena jualannya tidak selaris hari-hari yang lalu. Adik gua menyambutnya dengan rengekkan dan tangisan yang susah dihentikan karena tak sabar ingin segera memiliki sepeda seperti anak tetangga."
Orang tua yang mana yang tidak ingin membahagiakan anaknya. Jangankan hanya sebuah sepeda yang harganya hanya puluhan ribu. Monas, Pulau Bali atau Gunung Salak andai dijual pasti akan mereka belikan untuk anak-anaknya. Namun mendapatkan uang untuk membeli semua itu, tidak bisa dengan simsalabim.
"Lu gak akan pernah melihat, bagaimana pontang pantingnya orang tua lu di awal bulan yang harus mengatur keuangan secara cermat untuk bayar kontrakan rumah, bayar sekolah anak-anaknya serta kebutuhan lainnya. Belum lagi jika ada keluarga yang sakit, sementara tak punya tabungan."
"Tapi, setidaknya gua lihat kalian justru lebih bahagia, lebih bebas dan hidup santai karena memang target kalian pun tidak muluk. Gua sangat ingin hidup dalam suasana damai seperti itu, Jack. Percayalah bergelimang harta bukan jaminan untuk bahagia."
Tak kusangka dan tak kuduga, ternyata Egar mengambil banyak cara untuk meraih bahagia sesuai definisinya. Termasuk melacurkan diri dalam hubungan-hubungan yang tidak sehat dengan banyak tante-tante hanya demi membunuh sepi dan melampiaskan dendamnya pada keadaan.
Semoga ada jalan lain yang akan ditemukan Egar untuk menggapai bahagia seperti yang dia inginkan.
^^^