Khilaf 13

2146 Kata
Ingin Segera Pulang! Itulah sugesti yang menari-nari di segenap jiwaku. Ingin segera bertemu Ajiz untuk menginterogasinya. Dia wajib memberikan penjelasan dan menghentikan semua petualangan berbahayanya dengan istri Pak Ganjar. Ajiz wajib menjaga nama baik keluarganya juga keluargaku karena semua orang tahu dia sudah dianggap anak di keluargaku. Tak bisa aku bayangkan bagaimana histerisnya Bu Memel jika tahu uang yang diberikan Ajiz bukan dari kontrak bermain dengan salah satu club sepak bola. Aku juga tidak bisa membayangkan betapa merah padamnya wajah Bapak, jika terpaksa harus mengurusi perkara Ajiz yang berbenturan dengan Pak Ganjar. Orang yang paling berpengaruh dan dihormati di lingkungan kami. Kegalauan dan kegundahanku sedikit terobati dengan datangnya semua peserta perjusami di lokasi. Mereka langsung mendirikan tenda dan sebagainya. Sementara kami yang sudah ada di lokasi sejak pagi, boleh ikut membantu atau pun istirahat santai sambil menonton kesibukan dan keseruan peserta lain. Kemping kali ini berbeda dengan kegiatan pramuka yang biasanya. Tidak banyak kegiatan yang terlalu menyita waktu. Acara intinya hanya Pelantikan Pengurus OSIS periode tahun ini, yang akan dilaksanakan jam 10 besok pagi. Selebihnya hanya refreshing, bergembira sambil menjalin keakraban antara pengurus. Kepala Sekolah dan beberapa guru bahkan akan datang besok pagi saat acara pelantikan dan setelahnya mereka akan kembali pulang. Hanya beberapa guru pembimbing yang akan mengikuti kegiatan sampai tuntas. Aku terbangun dari tidur kira-kira jam setengah lima sore. Penyakit lamaku kembali kambuh, selalu lalai melaksanakan kewajiban lima waktu jika jauh dengan Bapak. Shalat Jum'at terlewat dan kini Ashar pun sepertinya akan melayang. Terlalu asik menikmati suasana perkemahan yang ramai dan seru. Aku menempati satu tenda dengan Andi dan Yudi Bule. Yudi siswa kelas tiga, Pengurus OSIS lama bidang Apresiasi dan Daya kreasi Seni. Aku tidak terlalu kenal dengannya, kecuali sebagai lelaki yang mampu membawakan segala jenis tarian yang aneh-aneh dan ribet. Bertulang lunak, aktif, kreatif, jarang bicara kecuali benar-benar penting dan sama sekali tidak alay seperti Inces. Yudi asli Sunda kelahiran Bogor. Kulitnya lebih putih dari Andi Tionghoa, tak salah bila semua orang memanggil Bule. Walau berbeda angkatan Yudi dan Andi sangat akrab. Selain karena bertetangga, orang tua mereka pun sama-sama pedagang elektronik di Mall Jambu Tiga. Udara sore di kaki gunung terasa mulai menusuk tulang. Membuat siapapun malas untuk mandi, apalagi airnya seperti baru dikeluarkan dari lemari pendingin. Namun ketika Andi dan Yudi mengajak mandi si sungai, jiwa anak kampung dalam diriku langsung meronta. Semangatku untuk mandi meningkat 11,31 %. Ketika masih tinggal dengan Nenek, sungai menjadi kamar mandi utamaku. Jika pulang kampung pun aku masih tetap mandi di sungai walau tidak bugil lagi. Padahal hampir semua warga kampung terbiasa mandi bugil di sungai. Area pemandian laki-laki dan perempuan dewasa terpisah, namun tetap masih bisa saling intip dari jarak yang tidak terlalu jauh. Banyak tercipta kisah seru dan panas yang berawal dari mandi di kali. Andi si Tionghoa yang lebih merasa sebagai Sunda, terkenal super cuek dan gaul. Dengan santainya membuka seluruh pakaian saat baru tiba di bibir sungai. Lokasi pemandian yang relatif dan terlindung, memang bisa membuat siapapun merasa aman dan nyaman. Sudah beberapa kali aku melihat Andi dalam keadaan bugil. Namun tetap saja selalu tertawa geli ketika mendapati batang kejantanannya yang imut tertutup kulit hingga menutupi ujung kepalanya. Apalagi jika dalam keadaan mengkerut kulupnya sangat terlihat nyata. Terbayang kejantanan anak-anak balita di kampungku. Mengikuti jejak Andi yang cuek bebek, aku pun tanpa ragu membugilkan diri dan berjalan mengitari bibir sungai dan sekitarnya. Aku pun meloncat loncat dari batu besar ke batu lainnya dalam keadaan telanjang. Sementara Yudi masih duduk santai di salah satu batu besar sambil menatap layar ponselnya. Dia selalu memalingkan muka, tak berani memandang kami yang bugil surigil. "Gila! gede amat punya lu, Bro!" seru Andi saat aku berdiri di sampingnya yang duduk di atas batu. Andi memang baru pertama melihatku dalam keadaan bugil. "Makanya punya lu disunat, biar cepet gede, hehehe," ejekku santai. "Gila sumpah ini keren banget, Bro! Oh iya, lu mau bisnis gak?" tanya Andi dengan mata yang sangat anteng meneliti sekujur tubuh bugilku dengan seksama. "Bisnis apaan?" tanyaku antusias dengan tetap berdiri dan memandangi air sungai yang mengalir super jernih di sekelilingku. "Jadi simpanan tante-tante, lu mau gak?" tanya Andi tanpa beban dan dosa. Sontak aku menundukkan kepala menatapnya yang tengadah dengan tatapan heran dan terkejut. "Apa lu bilang?" tanyaku tak percaya. Andi bangkit dari duduknya, lalu berdiri berhadap-hadapan dengaku. "Serius Bro, baru kali ini gua liat barang lu. Keren abis! Gua yakin banyak tante yang berani bayar mahal, buat barang lu yang keren ini, apalagi kalau mainnya jago." Andi bicara super serius dan entah apa yang dia maksudkan. Pletak! Sebuah jitakkan manja namun cukup keras mendarat di jidatnya. "Serius, Bro!" ucap Andi sambil memegangi jidatnya, "Lu bener-bener masuk kategori most wanted tante. Wajah ganteng, body ramping, barang mantap pula! Segini masih molor, gimana kalau ngeceng, hehehe," lanjutnya dengan mata yang tetap tertuju pada si ganteng yang tidak terlihat bengkok saat sedang loyo. "Ah, tokay lu!" balasku sambil menepiskan tangannya yang hendak menyentuh si ganteng nan imut. "Serius, Bro! Kalau lu minat gua bisa bantu! Tinggal sebutin mau p*****t berapa sekali kencan. Satu juta, dua juta atau lebih. Gua yakin banyak tante girang tajir melintir yang minat sama lu, Bro!" Andi bicara makin berapi-api. "Astagfirullah," ucapku sambil mengusap wajah sendiri. "Eh, Apoh gobrog! Lu sebenarnya siswa, gigolo apa g***o?" tanyaku dengan mata yang melototnya makin besar. "Hehehe, galak amat, sohib gua!" Andi cengengesan. "Bro, gua bukan gigolo apalagi g***o. Tapi ada beberapa sohib gua yang begitu. Mereka lumayan bisa hidup mapan. Padahal segalanya jauh di bawah lu," lanjut Andi dengan sedikit menurunkan intonasi suaranya. Aku hanya bisa menghela napas panjang dengan perasaan sedikit kesal. Ucapan Andi tak jauh beda dengan Egar yang sama-sama beracun. "Muka, body dan batang mereka sangat standar. Modalnya cuma gaul and sedikit keberanian. Gua yakin, kalau lu minat, pasti kelasnya akan sangat berbeda. Gua jamin itu!" Mulut Andi terus mengeluarkan racun berbisa hingga berbusa-busa. "Mata lu sipit!" sergahku seraya turun dari batu, lalu menceburkan diri di air sungai yang sebening hatiku namun dinginnya 'Masya Kini'. Aku fokus bersabun dan bersampo tanpa menggubris mulut Andi yang terus ngoceh tiada henti walau sama sekali tidak aku ladeni. Setelah sekujur badan terasa bersih dan segar, aku segera naik dan mengeringkan badan dengan handuk. Lalu memakai kembali seluruh pakaian dan bergegas pergi. "Yud, Poh, gua duluan ya, bye...!" teriakku sambil berjalan setengah berlari meninggalkan mereka yang masih betah berlama-lama di sungai. Yudi bahkan masih berpakaian lengkap. Otakku kembali berputar memikirkan tiga manusia ajaib. Mudah-mudahan malam ini bisa bertemu Ajiz. Apapun yang terjadi kami harus bicara empat mata. Sebelum magrib, aku mengajak Rully bekerja sama untuk mengintai kembali warung Sandi, siapa tahu Ajiz sudah kembali. Penyamaran yang sama hanya berbeda peran wanitanya. Aku tidak sudi meminta bantuan kembali pada Selvy yang kini mintanya meraba, melihat dan mencium si ganteng yang tadi sudah dia nodai. Tuman! Selvy terkenal nakal dan gosipnya dia sering dibooking Om-o*******g. Namun Rully pun tidak kalah keren aktingnya. Dia mampu merayu Sandi hingga memberikan nomor hapenya. Padahal Sandi sedang sibuk melayani beberapa pembeli. Ajiz maupun Bu Haji tidak ada di warung, entah sedang kemana mereka. Rully tidak banyak bertanya. Dia  tidak tahu jika aku kenal dengan Purnama, Sandi juga Bu Haji. Dia hanya tahu Sandi adalah buronan warga kampungku. Aku mulai pandai berbohong, belajar dari siapakah? Berbekal nomor kontak yang didapat Rully, aku mulai melancarkan aksi, berkenalan dengan dengan Sandi mengaku sebagai Tante Mirna dari Jakarta yang sedang berlibur di kawasan itu. Pada awalnya Sandi sok jaim dan pura-pula polos. Namun lama kelamaan mulai keluar aslinya dan merespon hangat chattingku yang banyak membicarakan rupiah. Sandi mengajak video call, namun aku tolak dengan alasan sedang bersama suami. Chat modus dan rayuan gombal terhenti saat semua peserta yang beragama Islam wajib melaksanakan shalat Maghrib berjamaah. Setelah itu dilanjutkan makan malam bersama hingga shalat Isya. Lalu dilanjutkan dengan renungan suci dan memanjatkan doa yang dipimpin oleh Faqih. Brondong alim yang berprofesi ganda sebagai pemuas mamanya Egar dan tante kesepian lainnya. Sebenarnya aku sudah lama berniat untuk mendekati Faqih, siapa tahu dia keceplosan bercerita tentang hubungan terlarangnya dengan Bu Sonny. Namun sang Casanova tampaknya selalu menghindar bahkan terkesan membenciku. Mungkin dia menduga aku dan Egar masih bersahabat kental. Seusai acara renungan suci dilanjutkan api unggun dan acara bebas. Aku pun segera melanjutkan chatting mesra dan menggoda dengan Sandi yang banyak aku tiru dari gayanya Selvy saat dia sering mengirim chat m***m walau tak pernah aku layani. Sandi pasti tidak menyadari jika aku berada di tempat yang sepi dan gelap, kurang lebih dua puluh meter di depan warungnya. Di lokasi itulah aku berperan menjadi Tante Mirna dan mengawasi segala aktifitas yang terjadi di warung Sandi sambil terus mengirimi dia chat mesra dan sedikit m***m. Rupanya Sandi seorang pemuda yang cerdas-cerdas bodoh. Percaya begitu saja dengan rayuan Tante Mirna yang tertarik padanya karena sudah melihat dia saat di warung tadi sore. Sandi pun mulai kegegeran dan percaya diri saat aku menyebut dan memuji ciri-ciri fisiknya. Dari panjangnya komunikasi, aku bisa bisa menyimpulkan jika Sandi lebih pembohong dari Bu Haji. Dia benar-benar cerdas menyembunyikan identitasnya di balik sikap alim dan santun dengan wajah lugu dan ndeso. Sandi siap berkencan dengan bayaran yang dia tawarkan. Dia bahkan mengatakan bisa dimana saja, termasuk di warungnya jika keadaan memungkinkan. Aku pun iseng meminta dia mengirimkan foto seksinya. Mataku nyaris meloncat dari sarangnya ketika Sandi benar-benar mengirimkan foto bugilnya yang sedang tiduran di kamar hotel kelas menengah. Foto lama yang mungkin biasa dijadikan sebagai sarana promosi diri. b***************n yang sedang digenggamnya terlihat gemuk dan tebal namun tidak sepanjang si gantengku. Setelah mendapat banyak info dan tubuhku mulai tak kuat menahan dingin, aku segera menyetujui harga yang ditawarkan dan memintanya untuk menutup warung dan bersiap-siap karena setengah jam kemudian aku akan mendatanginya untuk berkencan. Sandi sangat antusias dan memberikan jaminan keamanan dan kepuasan karena sudah pernah menerima kencan di rumah warungnya itu. Fix! Sandi gigolo profesional yang telah berhasil memperdaya banyak mangsa termasuk Bu Haji Anna, istri majikannya. Dia juga ternyata penipu yang mudah ditipu. Setelah Sandi terlihat bersiap-siap menutup warungnya, aku segera kembali ke bumi perkemahan. Saat sedang berjalan, aku menghapus semua chat dan foto kirimannya serta memblokir nomornya. Biarlah dia menunggu Tante Mirna dan nanti akan marah-marah sendiri karena tante girangnya tak kunjung datang serta tidak bisa dihubunginya lagi. Good bye Sandi! 'Gua gak sudi kenal lagi dengan pendusta! Tapi sebelum melupakan lu, gua punya sesuatu dulu. Tunggu aja besok, gua gak akan menjebak atau mempermalukan lu, tapi gua yakin setelah itu lu gak mungkin bisa melupakan Hendra Irawan Bin Warta Sanjaya, cogan paling lembut hatinya se-Asia Tenggara.' Pukul 01.32 WIB, aku tiba di kawasan bumi perkemahan. Keadaannya relatif sepi, hanya ada beberapa gelintir umat yang masih setia bercengkerama dengan sisa bara api unggun. Tenda yang berjumlah 24 unit, hampir seluruhnya sudah gelap. Tampaknya hampir semua peserta sedang melindungi diri masing-masing dari gigitan angin malam yang makin menusuk kalbu. Setelah menghabiskan sebatang rokok, meminum beberapa teguk kopi dan ngobrol santai dengan beberapa panitia bagian keamanan yang berjaga, aku pun memohon diri untuk pulang ke tenda. Ngantuk mulai menyerang dan gigitan angin sudah mulai menusuk sum-sum tulang belakang menembus jaket tebal yang kupakai. Tendaku sudah gelap. Sepertinya Andi dan Yudi pun sudah berselancar dalam mimpi. Namun ketika masuk, tenda justru dalam keadaannya kosong. Mungkin mereka sedang ke warung atau masih nongkrong di tempat lain. Andi tidak betah tinggal di tenda, dia bahkan mungkin tidur bertendakan alam terbuka sambil menikmati bintang yang berkelip serta bulan yang tersenyum walau bukan purnama. Aku merebahkan diri berselimut kain tebal milik Yudi. Terlentang merenungi segala yang sudah dilihat, dirasa, didengar dan dialami akhir-akhir ini. Sungguh sangat mengherankan mengapa begitu sering indera ini menyaksikan hal-hal yang sangat mengejutkan, menjijikkan bahkan menggairahkan. Godaan bertubi-tubi datang silih berganti tanpa bisa aku hindari. Beberapa menit berikutnya, aku bangkit dari tiduran. Udara yang sangat dingin terus memaksa si ganteng untuk membuang isi kantong kemih. Setelah sampai di belakang sebuah pohon besar, dengan tanpa permisi aku langsung menarik ritsleting dan mengeluarkan kepala dan sebagian batang si bengkok untuk menumpahkan air kencing yang terus mendesak. Ketika sudah selesai mengeluarkan kencing, tubuhku sedikit bergidik dan bulu kudukku mendadak merinding dan berdiri. Aku memetik daun kecil untuk melap ujung kepala si bengkok sambil memandangi beberapa pohon besar yang tak jauh dari tempatku berdiri ngangkang. "Allahu Akbaaaaaar!" Teriakanku spontan dan sekeras yang aku mampu. Maksud hati untuk meloncat mundur dan lari menyembunyikan diri dalam tenda. Namun apalah daya kedua kakiku terpatri pada tanah yang aku pijak. Bulu kudung seluruhnya berdiri tegak, sekujur tubuhku terasa tebal dan meremang. Dada dan jantung panas berdebar hebat, pikiran kacau tak karuan. Mulut menganga serta kedua bola mataku terbelalak tak mampu dikedipkan walau sebentar. 'Ya Allah, makhluk jenis apakah ini?' tanyaku dalam hati sambil membacakan doa-doa tolak bala dan berbagai ayat suci yang hapal. Astagfirullah! Selama aku memiliki dua mata, baru kali ini melihat sesuatu yang sangat ganjil dan super mengerikan seperti ini. "Kuatkanlah hambamu ini, ya Allah..." Suaraku mendesah dalam getaran hebat dan sekujur tubuhku mendadak lemas tak bertenaga.. ^^^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN