Khilaf 14

2053 Kata
Kedua kakiku bergetar tak sanggup menahan beban tubuh sendiri yang makin berat. Kedua dengkulku akhirnya yang menopang tubuhku yang masih tegak lurus setengah berdiri. Wajah lurus menatap dua bayangan hitam berbentuk seperti manusia yang terus bergerak lincah tepat di bawah pohon besar. Perlahan kesadaranku berangsur puluh. Setelah menggosok mata beberapa kali, dengan dibantu cahaya rembulan yang remang-remang, retinaku menangkap dua sosok bayangan manusia. Beberapa detik kemudian otakku mensinkronisasikan dan menyimpulkan jika itu bayangan Andi dan Yudi. Andi sedang berdiri sedikit condong ke depan. Hanya memakai celana panjang yang melorot sampai paha, seolah menantang angin malam yang sangat dingin. Kedua tangannya memegangi pinggul Yudi yang menyatu dengan selangkangannya. Yudi membungkuk dengan kedua tangan bertumpu pada sebuah pohon, menahan tubuhnya yang maju mundur terdorong gerakan Andi di belakangnya. Celana Yudi pun melorot sampai paha, sementara bajunya digulung sampai d**a. Punggung, p****t dan paha Yudi yang sangat putih terlihat sangat jelas. Beberapa saat otakku membandingkan posisi Andi dan Yudi, persis yang pernah dilakukan Egar dan Bi Titin, Sandi dan Bu Haji. Doggy style. Dengan teriakan takbir yang cukup keras tadi, dalam cahaya bulan yang makin lama makin sedikit terang, aku yakin mereka menyadari kehadiranku yang berjarak tak lebih dari lima meter. Mereka bahkan sempat menoleh namun tetap melanjutkan aktifitasnya. Lenguhan, desahan dan erangan mereka justru terdengar makin jelas. Aku baru menyadari, mengapa Andi dan Yudi ngotot mendirikan tenda yang lokasinya di dataran agak tinggi terpisah dari area utama tenda peserta. Walau tadi mereka beralasan demi memudahkan ikut memantau seluruh area perkemahan tanpa harus keluar dari tenda. Sekedar membantu tugas seksi bidang keamanan. Dalam hitungan menit berikutnya, mataku kembali dibuat terbelalak semakin lebar. Mereka berganti posisi. Andi yang menungging, Yudi yang berdiri. Walau tidak terlihat terlalu jelas, namun mataku masih bisa menangkap jika Yudi memasukkan batang kejantanannya pada p****t Andi yang seketika itu juga kulihat Andi mendongak dan melenguh kesakitan. Beberapa detik kemudian, Yudi menggenjot tubuhnya. Posisi mereka sama persis seperti sebelumnya hanya berganti peran. Kini Yudi berperan sebagai penusuk. Sekujur tubuhku semakin merinding, telinga, p****t dan d**a tiba-tiba terasa linu. Si ganteng bengkok yang biasanya mudah on menyaksikan persetubuhan, kali ini bisa terkendali dengan baik, dia bahkan mengerut sekecil-kecilnya. Lenguhan, erangan dan desahan Yudi dan Andi yang bersahutan, terdengar laksana lolongan kesakitan dari lembah penyiksaan. Seluruh bulu roma dan pori-poriku berdiri tegak. Blank! Otak, logika dan hatiku seakan kosong melongpong, hitam pekat tak berfungsi. Ketika Yudi yang berperan sebagai cewek, logikaku masih bisa menerima walau terasa ganjil dan menjijikkan. Gaya hidup Yudi sehari-harinya 81.21 % feminim. Terkadang ada beberapa teman yang memanggilnya neng geulis atau bahkan bencong. Tapi Andi? Oh my God! Gaya hidup kesehariannya 99.19% super macho. Olah raga dan hoby yang ditekuninya benar-benar maskulin. Sepak bola, panjat tebing, balapan dan petualangan alam liar jadi menu sehari-harinya. Mengapa dia berubah feminim saat digenjot seorang dancer boy yang bahkan gerakan tubuhnya lebih gemulai dari ronggeng jaipong. Dengan tenaga yang mulai terkumpul, aku segera bangkit dan bergegas masuk kembali ke tenda. Setelah mengambil kain sarung, segera aku keluar dan berjalan setengah berlari menuju tengah arena. Bergabung dengan beberapa panitia yang masih berkumpul mengelilingi bara api unggun. "Kenapa lu, Ndra? Lihat makhluk astral bukan? Muka sama napas lu berantakan amat?" tanya Heri heran. "Gak tahu, gua dingin banget, Her," balasku sekenanya. "Emang lu gak bawa selimut, Gan?" Noval yang biasa memanggilku Cogan, buka suara. Aku hanya menjawab pertanyaan mereka berikutnya dengan mengangguk dan menggeleng. Konsentrasiku tertuju menyalakan api pada bara yang sudah mulai sedikit redup. Setelah memasukan beberapa potong kayu bakar dan meniupnya berkali-kali, api pun menyala. Sekujur tubuhku terasa basah dengan keringat dingin yang bercampur embun malam yang menyergapku. Sambil tiduran di atas tikar, kami melanjutkan obrolan ngalor ngidul hingga tak terasa semua terbawa ke alam mimpi. Tidur menggeletak berpayungkan langit, berselimut angin yang tidak terlalu menggigit serta api unggun yang sesekali apinya menyala setelah ditiup angin yang cukup kencang. 'Andi, Yudi, terima kasih atas persahabatan kalian, tapi maaf layar tak akan pernah terbuka lagi untuk episode selanjutnya. Tak sampai dua jam terlelap tidur. Namun badanku terasa segar saat dibangunkan. Setelah shalat subuh aku segera mengemasi barang-barang di tenda. Andi dan Yudi masih tidur berpelukan dalam satu selimut. Tampaknya mereka pun masih dalam keadaan bugil. Aku segera pindah ke tenda yang ditempati Heri, Noval, Adrian dan Arif. Walau tendanya lebih kecil, namun lebih aman. Urusan tidur nanti malam bisa dimana saja. Setelah acara Pelantikan Pengurus OSIS, Andi berusaha memepetku. Namun tak sedikit pun celah kuberikan untuknya. Tampaknya dia akan meminta maaf atau mengklarifikasi peristiwa semalam. Yudi tak berani menatapku, bahkan memalingkan muka saat Pengurus Baru dan Pengurus Lama saling bersalaman. Ketika makan siang, Andi tiba-tiba menyelipkan amplop ke saku kemejaku seraya membisikkan pesan dari Yudi, yang ingin bicara empat mata denganku di tempat yang tersembunyi. Amplop yang katanya berisi uang 400 ribu itu, segera aku tarik dari saku kemeja dan kulemparkan pada muka Andi dengan diiringi sumpah serapah mengusirnya dan meminta dia tidak perlu meminta maaf atau menganggapku sebagai teman  untuk selamanya. Entah apa yang merasukiku hingga mendadak super sensi dan tak mampu mengontrol emosi. Ini pertama kalinya aku marah di depan semua orang. Untung saja Heri dan Noval segera menyeretku, membawa masuk ke tenda. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi antara aku dengan Andi seandainya bertemu one by one. Alhamdulillah, mulutku masih terjaga hingga tidak sampai keceplosan membuka aib Andi dan Yudi. Seusai shalat dzuhur aku melaksanakan misi utama yang sudah direncanakan sejak tadi malam. Untuk memberikan kenangan terindah pada Sandi. Sesuai info yang aku dapat semalam, Bu Haji akan kembali ke warungnya sekitar waktu ba'da dzuhur. Dengan gaya santai dan sok bossi, aku mengajak Heri, Noval, Andri dan Arif untuk minum kopi dan makan mie rebus di warung Sandi. Aku tidak menyembunyikan identitas dan tidak ada bagian wajah yang ditutup-tutupi lagi. Sandi terbelalak tak bisa bicara saat aku masuk warung bergabung dengan beberapa teman cewek yang sudah ada di sana. Sikapku tetap wajar, tenang dan tak mencurigakan. Aku juga ikut bercanda sahut sahutan dengan semua. Membiarkan Sandi kelabakan sendiri, berdiri kaku menatapku yang tak acuh. "Kang Sandi, kopi lima, mie lima pakai telor," ucapku seraya tersenyum menatap Sandi yang masih berdiri kaku dengan wajah yang tegang, merah padam. Tanpa mempedulikan Sandi yang sedang salah tingkah tak karuan, aku kembali ngobrol dan bercanda dengan semua teman. Sudut mataku dengan jelas bisa melihat tubuh Sandi yang bergetar saat membuka dan memasukan mie ke dalam panci kecil. Gerakan tangannya persis seperti seseorang yang terkena tremor. "Assalamualaikum." Tiba-tiba suara seorang wanita dewasa menghentikan canda tawa kami. "Waalaikumsalam." Kami menjawab serempak. Tampak seorang wanita berkerudung dan gamis merah muda berdiri sumringah di depan pintu. Aku segera menunduk untuk menghindari tatapan Bu Haji Anna yang baru datang dengan menenteng tas tangan dan keresek hitam ukuran sedang. Bu Haji lalu masuk tanpa memperhatikan para pengunjung warung secara seksama. Aku kembali mengangkat wajah penuh percaya diri, memandangi punggung Bu Haji yang sedang berbicara kecil dengan Sandi. Sejurus kemudian Bu Haji membalikkan badan dengan gerakan sangat cepat. Wajahnya langsung mengarah menatapku. Aku mengangguk sambil tersenyum membalas tatapan horornya. Selama aku hidup, baru kali ini mendapat pemandangan yang benar-benar gila. Perubahan wajah Bu Haji yang sebegitu ekspresif dan dramatis tergambar dalam gerakan slow motion. Retinaku merekam detik demi detik perubahan wajahnya dari tegang, pucat pasi, merah mudah hingga merah padam cenderung gelap. Tubuhnya kaku, mata melotot, mulut menganga lebar. Kantong keresek yang dijinjingnya jatuh ke lantai tanpa disadarinya. Sumpah demi apapun, aku tidak menjebak mereka, aku pun tidak berniat mempermalukan. Aku tetap bersikap wajar dan tak ada seorang pun dari teman-temanku yang tahu siapa dan bagaimana hubungan Sandi dengan Bu Haji. Jika Bu Haji dan Sandi mendadak kaku dan tegang, itu di luar tanggung jawabku. "Eh, Kang Sandi, gimana kopi dan mie rebusnya sudah beres?" tanyaku untuk menyadarkan keterkesimaan Sandi dan Bu Haji. "Eh, i..i...iya ko...kopinya mau saya buat du...du...dulu, Hen," jawab Sandi gugup. "Eh, Ndra emang lu kenal sama si Abang ini?" tanya Hesty salah seorang teman yang sudah lebih dulu berada di warung. "Kenal dong, kan Bu Haji  tetangga gua. Iya gak Bu Haji," ucapku sambil mengangguk pada Bu Haji yang ketegangan wajahnya mulai mengendur. "Wah asyik dong, kita bisa dapat discount nih, hahahaha," timpal Nadia bercanda. "Halah, kebiasaan. Bukannya saling membantu antar sesama. Ini kan simbiosis mutualisme, Kita dapat makanan, Bu Haji dan Kang Sandi dapat sedikit keuntungan. Iya gak Bu Haji!" balasku spontan untuk mencairkan suasana hati Sandi san Bu Haji yang masih tegang. "Oh eh.. i.. iya, gak papa kok Hen. Khusus teman-teman Hendra, ibu gratiskan semua," ucap Bu Haji sambil memaksakan tersenyum. "Hah, serius Bu Haji?" seru Heri tak percaya. Bu Haji kembali mengangguk. Kali ini senyumnya terasa ikhlas dan tulus. "Asiiiiik!!!" Tanpa dikomando, semua teman-teman bersorak kegirangan. Tiba-tiba tanpa dikomando pula, mereka bangkit dari duduk lalu  berhamburan mendatangi Bu Haji dan menciumi tangannya. Laksana cucu yang berlebaran pada neneknya dengan harapan mendapat salam tempel. Suasana warung mendadak riuh rendah dan meriah. Sikap dan wajah Sandi juga Bu Haji kembali semringah dan normal. Bu Haji beberapa kali menyampaikan jika semua teman-temanku bebas mengambil apa saja secara cuma-cuma. Sontak saja tawarann Bu Haji mendapat apresiasi dan tepukkan yang makin memeriahkan suasana. Benar-benar tak menduga akan begini jadinya. Setelah mempersilakan teman-temanku untuk mengambil apapun yang mereka mau, Bu Haji masuk ke kamar dan tak keluar lagi. Setelah selesai menikmati aneka  makanan gratis  sampai kenyang, kami pun berpamitan. Satu per satu teman-temanku  menyalami Sandi seraya mengucapkan terima kasih. Aku pun menyalami Sandi giliran terakhir ketika semua teman-teman sudah berada di luar warung. "Hen!" ucap Sandi dengan suara bergetar. Kedua bola matanya berkaca-kaca. Bibirnya bergetar seperti hendak mengucapkan sesuatu namun tak kuasa. Genggaman tangannya bahkan sangat dingin dan kaku. "Jangan khawatir, saya bukan pecundang! Tapi saya minta tolong jangan libatkan Ajiz dalam urusan kalian," ucapku setengah berbisik. "Ajiz?" pekik Sandi dengan suara yang tercekat dan bergetar. Rona wajahnya mendadak pucat pasi dan kembali tegang. Entah apa yang ada dalam pikirannya hingga dia seperti orang ketakutan mendengar nama Ajiz. "Ya, saya sudah tahu semua tentang kalian. Saya gak tahu apa yang akan terjadi jika Kang Sandi dan Bu Haji maksa melibatkan saudara saya dalam perselingkuhan kalian. Tolong jangan libatkan Ajiz sedikit pun. Terima kasih atas kebaikan kalian pada teman-teman saya, Wassalamualaikum," pungkasku sambil melepaskan genggaman tangan dan berlalu meninggalkannya. Dengan setengah berlari aku mengejar teman-teman yang sudah berjalan cukup jauh meninggalkan warung. Namun ketika akan memasuki area buper. Herlan tiba-tba mencegat dan menarikku ke salah satu tempat yang cukup nyaman untuk duduk bersantai sambil menikmati hamparan hutan yang terbentang luas. "Ndra, sorry gua bukan mau ikut campur. Ini titipan dari si Andi dan Yudi. Mereka sudah pulang duluan dengan alasan kurang enak badan." ucap Herlan sambil menyodorkan amplop putih yang lebih besar dari yang tadi pagi Andi berikan. "Maksuunya apa, Her?" tanyaku seraya menatap Herlan yang wajahnya cukup kalem dan tenang. "Gua gak tahu apa yang terjadi antara kalian. Mereka menitipkan ini buat lu, sebagai ungkapan terima kasih dan permohonan maaf atas segala kesalahannya." "Gua udah memaafkan mereka, Her. Mereka gak melakukan kesalahan berat, itu lebih ke salah paham saja. Semestinya gua yang minta maaf sama Andi." "Si Andi, rencananya akan berhenti sekolah kalau lu gak memaafkannya." "What! Gua udah bilang. Mereka gak perlu minta maaf sama gua, karena gak melakukan kesalahan berat. Kami hanya salah paham, Her. Ngapain si Apoh pake mau berhenti sekolah segala. Gila apa!" bentakku. "Ndra, gua boleh jujur gak sama lu, tapi gua harap lu jangan marah dulu sebelum gua selesai bicara." Herlan bicara sangat hati-hati sambil menatap dua mataku yang memberikan jawaban silakan. "Sebenarnya si Andi, sudah pernah terbuka sama gua, kalau dia sangat su..suka, eh... apa ya namanya.. ehh intinya si Andi menyukai dan mencinta lu, Ndra. Sama seperti kita menyukai atau mencintai cewek. Sorry kalau gua salah ngomong." Kalimat Herlan sedikit terbata-bata "Si Andi? Mencintai gua?" tanyaku tak percaya sambil menunjuk dadaku sendiri. Herlan mengangguk sambil tersenyum. "Her, kalau si Yudi yang menyatakan cinta sama gua, mungkin gua masih bisa tertawa. Tapi si Andi Burnawan, alias Apoh?  Astagfirullah! Dunia apa lagi yang sedang terbolak, Her?" tanyaku seraya mengguncangkan kedua bahu Herlan, berharap dia meralat ucapannya yang salah. "Ndra, di balik sikap si Andi yang super manly dan jantan, sesungguhnya terselip hati yang super pink. Dia bahkan telah mencintai lu sejak kelas satu, hanya gak enak sama si Egar." "Gila! Please hentikan semua omong kosong yang menjijikkan ini, Her, Sorry!" sergahku sambil berlari meninggalkan Herlan yang melongo. Aku kembali bergabung dengan teman-teman yang masih waras. ^^^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN