Berciuman dengan seorang pria bukanlah pertama kalinya bagi Jingga. Ya, sekalipun tidak pernah sampai berhubungan badan, tapi Jingga bukan orang polos. Ia pernah beberapa kali ciuman dengan pria yang sempat menjadi pacarnya dan tentunya kini sudah menjadi mantan.
Salah satunya Yogi, mantan terakhirnya sekaligus suami dari wanita hamil yang hari ini mempermalukan Jingga di kafe. Konyol sekali, bukan?
Sumpah demi apa pun Jingga masih tidak menyangka dirinya pernah menjadi selingkuhan suami orang. Yogi benar-benar pandai menyembunyikan statusnya. Kurang ajar!
Namun, terlepas dari itu, untuk pertama kalinya Jingga bersentuhan bibir dengan pria yang bukan berstatus sebagai pacarnya. Bahkan, Bian merupakan pria asing yang baru dikenalnya. Meskipun terbilang tampan, tapi Jingga tidak tertarik untuk mengenal lebih jauh pria itu.
Bukannya apa-apa, baru bertemu saja Bian sudah sangat berani menciumnya. Jingga merasa Bian adalah pria yang sebaiknya dihindari.
Tentang ciuman mereka, Jingga tidak menyesalinya karena secara tidak langsung pria itu sudah mewujudkan sensasi gila yang tidak pernah Jingga rasakan sebelumnya. Sesuatu yang sebenarnya ingin Jingga coba sejak lama, yakni adegan yang pernah ditulisnya dalam n****+.
Ya, sebagai seorang penulis platform, Jingga terkadang menuliskan adegan yang mustahil terjadi padanya di dunia nyata. Hanya saja, Bian mewujudkan itu semua.
Rasanya? Jelas ada perasaan aneh sekaligus deg-degan. Hanya saja, hal itu tidak membuatnya ingin mengenal Bian lebih jauh. Malah Jingga berharap tidak bertemu pria itu lagi. Ia bahkan menolak saat Bian meminta nomor ponselnya.
“Ditolong pria asing lalu berciuman. Seperti imajinasi konyol tapi ini nyata,” gumam Jingga seraya membuka laptopnya, bersikap untuk menulis kelanjutan ceritanya di salah satu platform berbayar. Waktu menulis terbaiknya memang malam hari seperti sekarang.
Saat ini, Jingga memiliki lebih dari sepuluh ribu pengikut di akun menulisnya. Mereka adalah orang-orang loyal yang menjadi pembaca setianya. Di usianya yang kini menginjak 26 tahun, Jingga sudah menamatkan tiga n****+ online dan kini sedang menggarap n****+ keempatnya.
Jingga sebenarnya terlahir dari keluarga kaya, tapi wanita itu memilih tinggal sendiri karena malas dengan aturan keluarga yang terkadang membuatnya kurang nyaman. Jingga juga berulang kali diminta untuk mengisi salah satu posisi di kantor perusahaan milik keluarganya, tapi ia menolak karena passion-nya memang menulis n****+. Ia sedikit pun tidak memiliki minat untuk terjun ke dunia bisnis seperti yang diinginkan keluarganya.
Itu sebabnya Jingga terpaksa melamar ke salah satu perusahaan lain sesuai minatnya agar bisa dijadikan alasan kuat untuk menolak saat keluarganya terutama sang kakek memaksanya belajar berbisnis. Ya, jika Jingga terbukti mampu bekerja di bidang yang ia minati, harapannya sang kakek akan menyerah dan berhenti memintanya bekerja di perusahaan keluarga.
“Kalau interview-nya lancar dan aku diterima. Aku akan berhenti dikejar-kejar kakek lagi,” gumamnya lagi, kali ini sambil membuka file n****+ yang sedang digarapnya selama dua bulan terakhir.
Setelah itu, pikiran Jingga mulai sibuk menyusun alur cerita bersamaan dengan sepuluh jari tangannya menari-nari di atas keyboard laptop. Sampai pada akhirnya, selama hampir dua jam Jingga berhasil mengombinasikan narasi dan dialog hingga beberapa halaman, menjadikannya tersusun rapi dan enak dibaca dalam setiap paragrafnya.
Jingga tersenyum. Ada sensasi bahagia tersendiri saat dirinya berhasil membuat satu chapter yang siap dipublikasikan.
Setelah memublikasikannya, Jingga langsung menutup laptopnya. Ini sudah malam dan sebaiknya Jingga langsung tidur agar besok tidak kesiangan. Ia akan melihat respons atau komentar-komentar para pembaca pada chapter terbarunya besok saja. Sekarang yang terpenting adalah tidur, berharap interview-nya berjalan lancar dan Jingga bisa menjadi bagian dari Sunrise Media, perusahaan penerbitan n****+ yang cukup terkenal di negeri ini.
***
Jingga keluar dari ruang wawancara dengan perasaan lega. Ia sangat optimis akan diterima di Sunrise Media. Jujur, andai tidak dikejar-kejar oleh sang kakek, Jingga lebih memilih menghabiskan waktu di depan laptop di apartemen yang ditinggalinya selama beberapa bulan terakhir ini. Namun, keadaan mengharuskannya memiliki pekerjaan sungguhan. Jingga tidak peduli dengan nominal gajinya, kecil pun bukan masalah karena yang terpenting ia punya status pekerjaan. Apalagi pekerjaan tersebut sesuai bidang yang diminatinya.
Jingga masuk ke mobilnya, tadi ia diberi tahu kalau pengumumannya akan langsung di-share. Entah diterima atau ditolak, Jingga akan tahu tidak lama lagi. Namun, Jingga yakin sepenuhnya kalau ia pasti diterima.
Sebelum menyalakan mobil, Jingga mengecek ponselnya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, ada pesan dari nomor tak dikenal yang Jingga yakini berisi pengumuman hasil wawancara hari ini. Jingga yang tersenyum semangat untuk melihat hasilnya otomatis memudarkan senyumannya setelah membaca kalau dirinya tidak lolos dan otomatis tidak diterima di Sunrise Media. Apa-apaan ini?
“Apa jangan-jangan yang diterima hanya orang dalam? Kalau begitu ngapain bikin rekrutmen yang terbuka untuk umum? Hanya formalitas?” kesal Jingga.
Jingga lebih kesal lagi saat mengingat perkataannya pada sang kakek beberapa waktu lalu. “Aku sebentar lagi resmi bekerja di salah satu perusahaan, tapi jangan tanya perusahaan apa karena nanti kakek tahu sendiri kalau aku udah punya ID card-nya. Jadi, aku anggap ini yang terakhir kalinya kakek menyuruhku bekerja di Tanadiyo Grup.”
“Apakah gara-gara kelewat pede sehingga aku nggak lolos?” gumamnya. “Sial,” lanjutnya.
Jingga lalu mulai mengemudikan mobilnya, meninggalkan area Sunrise Media dengan perasaan kecewa.
Jingga tidak tahu kalau sang kakek turut andil dalam kegagalannya. Kakeknya itu tidak ragu meminta pada petinggi Sunrise Media agar jangan pernah merekrut Jingga sekalipun wanita itu lumayan berkompeten atau masuk dalam kualifikasi.
Ya, kakek Jingga sangat ingin cucunya mewarisi perusahaan. Itu sebabnya ia ingin Jingga mulai fokus belajar berbisnis dari sekarang, yang sayangnya Jingga menolaknya mentah-mentah.
***
Jingga yang masih merasa kesal memutuskan berkunjung ke EL Ice Cream and Bookstore atau biasa disingkat EL ICB. Toko es krim yang merangkap sebagai toko buku milik kerabatnya, Elina.
Jingga bisa mengenal Elina karena sering berbelanja buku pada wanita itu sejak Elina masih menjualnya secara online. Sekarang saat Elina sudah punya offline store di lantai dua yang lantai satunya merupakan kedai es krim milik suaminya, Jingga jadi bisa datang dengan tujuan ganda, yakni membeli es krim sekaligus n****+.
Naik ke lantai dua, Jingga langsung disambut oleh Elina yang sedang mengecek sekaligus menghitung stok buku di rak untuk dicocokkan dengan stok di sistem komputer nantinya. Jingga bisa tahu dari catatan sementara yang Elina bawa.
“Halo,” sapa Elina ramah, yang kemudian memperhatikan penampilan Jingga. “Tunggu, penampilan kamu seperti orang yang baru melamar kerja.”
“Lebih tepatnya baru pulang dari interview yang gagal,” jawab Jingga yang kali ini sudah lebih santai. Sepertinya melihat banyaknya buku-buku di rak membuat mood-nya menjadi lebih baik. Padahal ia tadi sangat kesal dan merasa tidak adil jika ada praktik nepotisme di Sunrise Media.
“Ga, kamu serius masih mau bekerja? Padahal aku yakin uang bulanan dari kakek kamu lebih besar dari keuntungan jualanku perbulan,” kata Elina yang sepertinya sudah selesai dengan aktivitasnya. “Bahkan, kamu juga punya pasif income dari n****+ digital yang pastinya lebih dari cukup untuk jajan setiap hari.”
“Atau … kamu memang bekerja karena kamu ingin ada kegiatan yang lebih bermanfaat? Bukan demi gaji. Tapi kalau gitu kenapa nggak kerja di kantor milik kakek kamu aja?” tambah Elina.
“Mbak Elina, sepertinya aku belum pernah menceritakannya, ya? Jadi gini….” Jingga lalu menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dengan apa adanya.
“Ya ampun. Aku baru tahu ceritanya. Menjadi pewaris konglomerat pasti dambaan banyak orang, tapi mau bagaimana kalau kamu tidak menginginkan posisi itu.”
“Aku tahu pasti siapa pun akan menganggapku bodoh. Bisa-bisanya menghindar dari keberuntungan yang jelas-jelas ada di depan mata,” kata Jingga. “Masalahnya adalah … aku nggak mau mengurusi bisnis dan berbagai intrik di dalamnya. Passion-ku bukan di situ. Aku maunya santai, happy-happy, menjalani hidup tanpa beban. Bukan terjebak di kantor mengurusi bisnis yang sama sekali nggak membuatku tertarik.”
Jingga melanjutkan, “Uang? Jelas aku mau. Aku juga menyukai hidupku yang berkecukupan sejak aku lahir hingga sekarang. Tapi kalau harus mengelola perusahaan … aku nyerah."
Elina menggeleng tak habis pikir.
"Kakekku selalu bilang kalau aku ini sebetulnya berkompeten dalam bisnis, sayangnya aku nggak punya kemauan dan ambisi. Padahal aku sedikit pun nggak tertarik.”
“Itu sebabnya kamu mencari kerja di tempat lain?”
Jingga mengangguk. “Seharusnya kakek nggak bisa memaksaku lagi. Sayang sekali aku gagal menjadi bagian dari Sunrise Media. Padahal aku udah yakin banget bakal diterima. Dasar orang dalam sialan!”
“Oh, jadi kamu melamar di SM. Terus rencana kamu selanjutnya?”
“Aku harus nyari pekerjaan di tempat lain. Tadinya aku mau yang ada hubungannya sama menulis n****+ kayak semacam penerbitan gitu, tapi berhubung sekarang kepepet … magang di EL ICB pun aku mau,” jawab Jingga. “Lagian toko buku, kan, masih ada hubungannya sama n****+. Seharusnya aku melamar ke sini aja,” sambungnya.
Elina tertawa. Ia tahu Jingga sedang bercanda. “Kamu tahu sendiri aku nggak butuh karyawan lagi, apalagi karyawan yang lebih suka santai dan happy-happy.”
Jingga ikut tertawa. “Sial. Aku gagal menjaga image-ku kalau di sini, padahal di Sunrise aku udah memberikan jawaban-jawaban terbaik dan meyakinkan tapi tetap gagal. Seharusnya aku berkenalan dengan orang dalam dulu, pasti lebih mudah.”
Perhatian Jingga lalu tertuju pada tumpukan dus-dus besar di pojok ruangan. Ia melangkah menghampirinya, “Buku apa ini?” tanyanya.
“Teman tapi Khilaf, baru datang hari ini dan itu semua udah ada yang punya, Ga. Itu khusus pemesanan online, tinggal di-packing. Buat stok yang akan dipajang di sini mungkin bakalan tiba besok,” jelas Elina.
“Wow, banyak juga, ya. Padahal di zaman yang udah berubah ini, n****+ online dinilai lebih praktis daripada n****+ fisik, tapi ternyata n****+ fisik masih banyak peminatnya juga. Keren.”
“Jangan salah. Masih banyak pembaca yang lebih suka mengoleksi n****+ fisik, kok.”
Jingga lalu teringat akan sesuatu. “Ini, tuh, Teman tapi Khilaf yang sempat viral itu, kan?”
“Betul.”
“Ya ampun, aku nggak sempat ikut pre-order. Aku mau satu, ya.”
“Tuh kan. Kamu sendiri masih mau beli n****+ fisik, kan?”
“Iya juga, ya. Padahal versi digital juga ada,” balas Jingga. “Pokoknya aku mau satu. Sisain buat aku,” lanjutnya sambil kembali berkeliling untuk melihat-lihat barangkali ada n****+ menarik lainnya.
“Tenang. Aku nggak takut nyetok banyak, kok, kalau pas PO udah kelihatan rame,”jawab Elina sambil memperhatikan Jingga yang sedang melihat-lihat. Kebetulan toko memang sedang tidak terlalu ramai sehingga mereka bisa berinteraksi tanpa hambatan.
“TTK ini terbitan Sunrise, ya?”
“Aluna Publishing, Ga. Bukan Sunrise.”
Jingga langsung menoleh pada Elina. “Aku pikir Sunrise,” balas Jingga. “Aluna ini kelihatannya kayak penerbit kecil ya, tapi n****+-novelnya banyak yang boom.”
“Ah iya, aku baru ingat pernah ajak kamu ke sana," balas Elina. "Dan kamu benar, sekilas memang kayak penerbit kecil. Tapi … n****+-novelnya berkualitas, kok. Malah beberapa ada yang sampai difilm-kan.”
“Kira-kira ada lowongan kerja nggak, ya, di Aluna?” tanya Jingga iseng.
“Kamu mau kerja di Aluna? Sebenarnya aku samar-samar pernah dengar percakapan para staf yang merasa butuh satu orang lagi, tapi aku nggak tahu perempuan atau laki-laki karena nggak menyimak sampai detail.” Elina lalu membuka ponselnya. “Aku cek di IG-nya pun belum ada posting-an loker, kalau kamu serius … aku bisa tanya temanku di sana.”
“Boleh. Tanyakan aja,” ujar Jingga. “Sebelumnya makasih ya, Mbak El. Makasih juga nggak ngomporin aku supaya fokus sama warisan aja.”
Jingga memang sejak awal memanggil Elina dengan sebutan Mbak karena Jingga beberapa tahun lebih muda dari Elina.
“Aku temanmu, tapi aku nggak punya hak buat mengkritisi pilihanmu. Jalan hidupmu itu ranah yang nggak bisa aku campuri.”
Jingga tersenyum.
“Sori, Jingga … kamu habis potong rambut, ya?”
“Udah semingguan, sih. Cuma potong sedikit doang, terutama beresin poni yang ganggu banget kalau lagi nulis,” jelas Jingga. “Mbak pasti baru sadar karena kita baru bertemu lagi. Tapi bagus, kan?”
“Bagus, sih. Cuma aku merasa familier gitu.”
“Seharusnya nggak heran kalau familier karena gaya seperti ini udah umum banget, Mbak.”
“Enggak, Jingga. Tunggu….” Elina lalu membuka ponselnya lagi untuk melihat sesuatu.
“Jingga,” panggil Elina kemudian.
“Hmm?”
“Apa ada kejadian luar biasa yang terjadi sama kamu belakangan ini?”
Jingga mengernyit. “Ada. Lebih tepatnya kemarin. Tapi kenapa tiba-tiba nanya itu?”
“Apa aja?”
“Ada konyolnya dan ada ngeselinnya. Maksudku detail konyolnya rahasia, ya. Sedangkan yang ngeselin sekaligus memalukan adalah … ternyata mantan pacar terakhirku udah punya istri. Gila, kan, aku sempat jadi selingkuhan dia?”
“Jangan bilang kalau istrinya melabrak kamu di restoran? Atau kafe?” tebak Elina.
“Kok tahu?”
“Lalu kamu disiram wajahnya?”
“Tunggu. Kamu tahu dari mana, Mbak?”
“Astaga. Pantesan terasa familier, ternyata memang kamu, Ga.”
“Maksud kamu apa?”
“Video kamu viral, tuh. Coba buka IG.”
“Vi-video apa?” tanya Jingga seraya membuka ponselnya. Jujur, perasaannya tidak enak.
“Judulnya istri sah vs pelakor.”
Astaga … kekonyolan macam apa lagi ini?